Kaum terpelajar bilang bahwa Indonesia dijadikan bulan-bulanan Negara Maju. Sebelum jadi Indonesia dulu, kekayaan Nusantara disedot habis-habisan oleh bangsa-bangsa Eropa. Disedotnya terang-terangan, di depan mata manusia Bangsa ini. Lebih tragis, nenek moyang kita dulu menjadi budak di negeri sendiri. Tanah air sendiri, kekayaan alam sendiri, keringat sendiri, tapi hasilnya untuk para Tuan Besar. Usut punya usut, nenek moyang kita dulu kalah teknologi, terutama alat perang, dengan Bangsa Eropa. Akhirnya, setelah melakukan perlawanan, nenek moyang kita menyerah di bawah kebesaran meriam dan bedil kompeni. Meskipun kalah, paling tidak mereka sudah melakukan perlawanan. Itulah kehormatan. Setelah Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, kaum terpelajar tetap menyimpulkan, Bangsa Indonesia masih menjadi bulan-bulanan Negara Maju. Mulai dari elit, sampai rakyat jelata paling mlarat di kampung pun, terkena imbas akal-akalan Negara Maju. Elit kita keblinger yang namanya demokrasi. Denger-denger demokrasi itu sistem politik paling Maknyus se-jagad raya. Adalah Amerika Serikat negara yang suka promosi demokrasi kemana-mana. Terakhir dia promosi ke Irak sama Afganistan. Mau promosi ke Iran sama Korut, tapi belum dapet ijin dari Cina.  Kalau ngomong masalah demokrasi, yang paling sumringah ya para elit politik kita. Dikit-dikit demokrasi, dikit-dikit demokrasi. Demokrasi kok dikit dikit. Akhirnya mereka keblinger, tiap hari kerjaannya debat atau plesir ke luar negeri, sampai lupa dengan tanggung jawab sebagai pemimpin, mengayomi rakyat.  Selain elit, kaum terpelajar kita juga banyak yang jadi bulan-bulanan Negara Maju. Coba perhatikan, berapa banyak sekolah yang mengejar standar internasional atau world class university? Mereka pikir bisa menyalip Negara Maju dengan cara bandwagoning? Suatu kebodohan yang cukup berkelas internasional menurut saya. Sampai kiamat Kubra pun, kita tidak akan bisa memiliki kualitas yang sama, dengan mengikuti cara mereka. Jika saja kita sadar bahwa standarisasi itu memang sengaja mereka ciptakan agar kita tunduk kepada aturan mereka, atau istilah Foucault, normalisasi. Kenapa kita tidak berlomba-lomba mengejar standar pendidikan berstandar lokal, atau lebih spesifik lagi bermahzab Mbah Marijan yang berbasis pada kearifan lokal? Para kaum terpelajar kita memang benar-benar telah keblinger Cinta Laura atau Agnes Monica.Bagaimana dengan masyarakat di lapisan bawah? Tidak usah ditanya lagi, mereka adalah korban paling mengenaskan. Bagaimana tidak, setiap hari, setiap jam, setiap menit dan detik, mereka selalu dijadikan bulan-bulanan kaum Kapitalis. Bangun tidur, yang terbersit di kepala mereka adalah bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan. Jika mereka sedikit beruntung – dengan telah memiliki pekerjaan – mereka akan memikirkan HP jenis terbaru, motor keluaran terbaru, belanja di Mall, sampai krim pemutih wajah. Anak-anak SMP sudah biasa dengan film indie buatan Ariel di HP qwerty made in China milik mereka. Lebih parah lagi mereka mempraktekkannya. Saya khawatir praktek tersebut termasuk dalam kurikulum standar internasional yang dikejar-kejar para kepala sekolah atau rektor di sini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H