Saya tidak sedang berseloroh. Asumsi saya didasari data dari Morgan Stanley yang dimuat oleh Financial Times sebagaimana disinggung Burhanuddin Muhtadi di podcast Asumsi Bersuara, yang menunjukkan bahwa sejak tahun 50-an, hanya 41 negara yang pertumbuhan ekonominya secara konsisten berada di angka 7% ke atas. Dan 81% adalah negara yang otoriter. Imbasnya, argumen -- argumen para aktivis anti korupsi bahwa agenda anti korupsi sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dapat dibantah dengan mudah.
Tentu tugas para aktivis ini menjadi semakin berat jika seandainya Pak Jokowi membaca data tersebut, dan saya yakin dia membacanya, atau minimal mendengar.
Para aktivis bisa berbusa-busa meneriakkan jargon-jargon anti korupsi, namun data di atas pastinya lebih mudah tertanam dan diterima oleh Pak Jokowi mengingat betapa beliau begitu mempriotitaskan pertumbuhan ekonomi di tahun-tahun terakhirnya ini.
Mungkin yang perlu dilakukan para aktivis saat ini adalah coba mencabut pandangan Jokowi akan 'oli pembangunan' di atas dan menggantinya dengan pembuktian konkret bahwa agenda anti korupsi dapat menunjang pertumbuhan ekonomi.
Tidak diprioritaskannya agenda anti korupsi dan HAM selain dipengaruhi hal-hal di atas, tampaknya Pak Jokowi juga ingin meninggalkan 'monumen' sebelum dia benar-benar meninggalkan istana. Monumen atau kenang-kenangan dapat berwujud jalan tol, kenaikan pertumbuhan ekonomi, atau wali kota Solo, ehe.
"Lah, bukannya kalau bisa menyelesaikan kasus HAM dan korupsi bisa jadi 'monumen' juga?" Tentu bisa. Namun isu ekonomi dan investasi lebih gampang 'gol', karena di parlemen pasti banyak yang cinta akan isu ini. Dan jika dibandingkan dengan penegakan HAM dan pemberantasan korupsi, tentu perihal ekonomi lebih memuat banyak kepentingan.
Terlepas hal tersebut, kenaikan pertumbuhan ekonomi rasanya punya tempat tersendiri di hati Pak Jokowi. Maklum, target beliau di 2014 tidak tanggung-tanggung, pertumbuhan ekonomi ditargetkan 7% dalam 5 tahun pertamanya. Dan ternyata tidak tercapai.
Saya bukan ingin mengatakan perekonomian di era Jokowi jelek. Yang perlu disoroti adalah pengaruh janji yang membebani dalam pengaturan skala prioritas beliau di periode ke-2 nya ini. Saya ragu beliau benar-benar dapat menutup kuping saat banyak orang merundung atas tidak tercapainya target beliau. Hal ini yang membuat beliau selalu berusaha menarik investor-investor asing ke Indonesia.
Tidak salah memang jika Jokowi sangat bergairah menggenjot perekonomian. Dan tidak salah pula beliau menyisipkan janji penyelesaian kasus HAM maupun pemberantasan korupsi demi mengamankan kursi. Memang begitulah kontestasi berjalan. Khususnya di politik, kamu akan aman jika kamu pandai jualan. Tidak hanya Jokowi, namun kebanyakan (tidak semua) politisi meyakini hal itu.
Tidak perlu larut dalam kekecewaan saat ini, kita semua masih punya jatah kecewa masing-masing untuk dipakai. Kita perlu berjibaku untuk mempengaruhi Pak Jokowi dan disaat yang sama tetaplah berharap. Karena sampai kapanpun, di tanah ini orang harus pandai berharap.
KPK sudah lemah, tidak usah bohong. Maka sekarang kerjakan apa saja untuk membuktikan bagaimana korupsi dan lemahnya pemberantasannya cepat atau lambat akan menggerogoti banyak aspek.