Untuk memperdalam materi terkait cultural defense dan contra flow, saya akan memberi contoh suku Baduy di Provinsi Banten yang banyak dikenal orang tertutup terhadap pengaruh budaya-budaya dari luar. Padahal tidak semua dari mereka menutup diri dari masuknya budaya luar tersebut. Maka dari itu, suku Baduy terbagi dua, Baduy dalam dan Baduy luar. Orang secara garis besar memahami Baduy dalam sangat tertutup dan Baduy luar lebih terbuka. Mari kita telisik lebih jauh secara singkat lewat contoh kasus. Â
Kurang lebih lima bulan lalu, suku Baduy di Kabupaten Lebak, Banten meminta kepada Presiden Joko Widodo agar menghapus mereka sebagai salah satu destinasi wisata Indonesia karena dinilai membawa banyak dampak negatif dari luar. Contoh perilaku wisatawan yang dianggap menganggu, seperti mengambil foto sembarangan dan mencorat-coret tempat-tempat di kawasan tempat tinggal suku Baduy. Mereka juga meminta kepada pemerintah untuk menghapus semua foto suku Baduy dari Google sekaligus berharap satelit Google tidak lagi menyorot ke sana, terutama wilayah Baduy dalam (Intan, 2020, paragraf 5-6). Menurut kepercayaan serta keyakinan suku Baduy, mengambil foto-foto di sana dapat mencemari kesakralan budaya mereka.
Tindakan ini dapat dikatakan sebagai sebuah contra flow dengan perlawanan terhadap pengaruh budaya luar yang masuk. Sebelum 'protes' itu dilayangkan, mereka, terutama dari pihak Baduy luar, mengambil langkah cultural defense dengan tetap menerima kunjungan wisatawan. Seperti sudah dijelaskan di paragraf pertama, Baduy luar lebih terbuka terhadap pengaruh hal-hal yang berbau modern asalkan tidak bertentangan dengan adat istiadat mereka.Â
Barang-barang seperti telepon genggam, televisi, dan bahkan alas kaki sudah akrab dengan kehidupan mereka. Hal itu tidak ditemukan di Baduy dalam yang cenderung contra flow terhadap apapun pengaruh yang mencoba masuk. Namun jika keseimbagan hidup mulai terusik oleh pengaruh-pengaruh negatif, Baduy luar pun tidak segan mengambil langkah berani seperti yang dilakukan pada bulan Juli 2020 lalu.
Desakan suku Baduy tersebut tentu membuat kita ingin tahu kebijakan-kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, terhadap kelompok-kelompok seperti mereka. Di tingkat Kabupaten Lebak yang didiami suku Baduy, saat ini memiliki dua Peraturan Daerah (Perda) yang menjadi payung hukum perlindungan terhadap masyarakat adat seperti mereka.Â
Landasan hukum yang menyangkut suku Baduy tertuang dalam Perda Kabupaten Lebak No.32/2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Perda ini lahir dari desakan masyarakat Baduy karena masifnya pengaruh dari luar kelompok mereka, terutama terkait kerusakan dan perubahan lingkungan tempat tinggalnya (Muhlisin, 2017, halaman 39).
Fenomena pada masyarakat suku Baduy dewasa ini lagi-lagi membuka mata kita bahwa masyarakat adat seperti mereka butuh perlindungan serta pengakuan terhadap keberedaannya. Perlindungan dan pengakuan dalam artian menyangkut penghormatan terhadap adat istiadat mereka menjadi poin penting karena akan berpengaruh kepada aspek-aspek lain, seperti sosial serta lingkungan. Jika melihat suku Baduy, melindungi privasi mereka merupakan implementasi perlindungan itu, baik oleh masyarakat lain di daerah tersebut atau pemerintah daerah setempat.
Mereka tidak sepenuhnya eksklusif, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, Baduy luar masih bisa menerima pengaruh atau perubahan dari luar selama tidak berbenturan dengan norma dan istiadat mereka. Artinya masyarakat Baduy luar memiliki cultural defence yang tangguh. Perubahan ini terjadi seiring perkembangan zaman, dalam rangka untuk menyesuaikan dengan derap roda kehidupan dan memenuhi kebutuhan masyarakat adat Baduy, maka diberlakukan toleransi terhadap perubahan yang berasal dari luar masyarakat Baduy (Febrina, 2013, halaman 4).Â
Tentu menjadi tanggung jawab bersama untuk tetap menjaga kesakralan budaya mereka di tengah makin masifnya pengaruh dari luar, terutama pada bidang pariwisata, karena banyak masyarakat yang ingin tahu lebih dalam tentang suku Baduy dan berinisiatif mendatangi wilayah mereka. Data Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Lebak, Banten menunjukkan pada tahun 2011 saja tercatat 6.469 pengunjung menyambangi kampung adat Baduy (Febrina, 2013, halaman 1). Artinya masyarakat adat Baduy menjadi objek yang menarik, baik sebagai komoditi pariwisata maupun penelitian.
Jika dilihat dari sudut pandang para pemangku kebijakan, fakta ini seharusnya menjadi evaluasi untuk merancang kebijakan sosial, terutama terkait perlindungan serta hukum, yang lebih berpihak kepada mereka sebagai masyarakat adat yang menjadi salah satu kekayaan budaya Indonesia.Â
Apalagi dengan adanya "gejolak" kecil pada Juli 2020 lalu, sebenarnya menjadi alarm dari mereka kepada pemerintah. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf, menilai permintaan Suku Baduy agar dihapus dari destinasi wisata merupakan sikap kekecewaan terhadap pemerintah. "Poinnya surat tersebut adalah keputusasaan masyarakat Baduy yang merasa ditinggalkan oleh pemerintah. Hanya dibuka sebagai destinasi wisata, tetapi tidak diurus," kata Dede (Irfan, 2020, paragraf 1 dan 3). Jika tidak sekarang, kapan lagi? Menunggu masyarakat adat seperti mereka dengan segala kekhasan serta keunikannya perlahan punah dan hanya akan menjadi cerita bagi anak cucu kita?