Mohon tunggu...
Murdiono Mokoginta
Murdiono Mokoginta Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan/ Penulis Artikel/ Kolomnis

Penulis yang fokus pada riset-riset sejarah lokal terutama di wilayah Bolaang Mongondow Raya, Sulawesi Utara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tolatan dalam Romantika dan Tragedi

25 Januari 2025   20:29 Diperbarui: 25 Januari 2025   20:45 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Pantai di Bolaang Mongondow Tahun 1917 (Sumber: Walter Kaudren/collections.amvk.se)

Bodia'pa tolatan, dandi bo kokoyowan atau pogirup don iko tolatan adalah di antara lirik lagu yang dinyanyikan oleh Chairul A. Luli dan Jodi Mamonto dalam lagu mereka yang berjudul Lima don Notaong dan Kon Bonawang...

Kata tolatan dalam tiap lirik lagu, puisi, atau apa saja yang berhubungan dengan sastra Mongondow memang terdengar romantis dan syahdu. Pada kata ini seperti ada memori yang hidup dalam ingatan yang penuh dengan kisah gembira dan pilu.

Meski begitu tolatan memang hidup kian lama dalam sanubari masyarakat Bolaang Mongondow. Tolatan hidup dalam memori kolektifitas kita yang tidak hanya berkaitan dengan kisah romantika dan menambah dalam lirik dari gubahan lagu cinta. Jauh dari itu tolatan seringkali membawa kisah pilu, tragis, dan tragedi seperti sebuah suratan takdir yang bersinggungan abadi dengan alam Bolaang Mongondow.

Tolatan adalah nama arah mata angin yang menujuk arah selatan. Seringkali orang Mongondow mengartikan arah selatan dengan nama tolatan. Menurut Saad Mokoagow (2015: 190) tolatan dalam bahasa Mongondow dapat diartikan = selatan; tompot tolatan = angin Selatan. Sementara itu menurut Chairun Mokoginta, orang Mongondow juga mengenal empat penjuru mata angin atau dalam bahasa Mongondow disebut opat no ponulukan yakni silangan (timur), toyopan (barat), tombayan (utara), dan tontongan (selatan). Ini adalah di antara bahasa Mongondow lama yang menyebut tentang empat penjuru mata angin.

Soal tolatan sendiri lebih umum dikenal karena selalu tertulis dalam lirik-lirik lagu sebagaimana yang disebut di atas. Tolatan yang merujuk pada angin selatan selalu membawa kisah-kisah yang berkaitan dengan kesedihan sebagaimana pemaknaan yang digunakan pada tiap lirik lagu-lagu Mongondow yang bernuansa sedih. Ini tentu menarik untuk ditelisik lebih mendalam karena berkaitan langsung dengan kehidupan kita sehari-hari antara Tuhan, manusia, dan alam sebagai ruang kita hidup.

Pantai Tobayagan di Pesisir Selatan (Pante Selatan) Bolaang Mongondow (Sumber: Dok. Murdiono Mokoginta)
Pantai Tobayagan di Pesisir Selatan (Pante Selatan) Bolaang Mongondow (Sumber: Dok. Murdiono Mokoginta)

Beberapa sejarah tercatat tragedi-tragedi yang disebabkan oleh tolatan ini. Misalnya tentang kisah berpindahnya Negeri Bolaang yang mula-mula berada di sekitaran Gunung Lombagin di Masa Loloda Mokoagow. Buaya yang sering memangsa penduduk memaksa mereka mengeser negeri tersebut ke dekat anak Sungai Inobonto sebelah utara Gunung Lombagin. Sayangnya beberapa puluh tahun masyarakat tinggal di sana tanpa rasa aman karena tolatan seringkali menghancurkan dan meluluh-lantakan rumah-rumah penduduk hingga tidak tersisa. 

Tolatan pula yang memaksa penduduk memindahkan Negeri Bolaang dari anak Sungai Inobonto ke wilayah saat ini antara tahun 1819-1820. Beberapa tahun kemudian pada pertengahan abad ke-19, tolatan kembali memporak-porandakan beberapa wilayah di Negeri Bolaang dan Sumoit dengan menghancurkan rumah-rumah penduduk yang hanya terbuat dari gubuk yang rapuh. Mesjid Bolaang juga dirusak oleh angin ini pada tahun 1865.

Penduduk Bolango yang berpindah pada tahun 1802-1803 dari Negeri Gorontalo ke Bangka juga tidak luput dari ganasnya tolatan. Gangguan buaya dan angin selatan membuat mereka harus berpindah ke Negeri Uki pada tahun 1849 karena rumah-rumah mereka di Negeri Bangka juga hancur lebur diterpa tolatan yang ganas ini.

Orang tua-tua juga banyak menceritakan tentang tragedi yang dibawa oleh angin ini di Pedalaman Mongondow yang secara geografis berada di ketinggian. Mereka merekam dalam ingatan bahwa sejak dahulu tolatan selalu menghancurkan rumah-rumah penduduk, menumbangkan pepohonan, dan menciptakan ketakutan bagi orang-orang. Rentang Oktober-April membawa duka dan bencana alam tidak hanya di Bolaang Mongondow, tetapi hampir semua wilayah Indonesia. Periode ini disebut sebagai pogirupan in tompot tolatan atau bertiupnya angin selatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun