Dengan mengabungkan berbagai peristiwa menjadi kesatuan HUT Kota Kotamobagu, maka masa lalu dan masa kini Kotamobagu akan dibaca secara holistik bukan parsial serta memiliki nilai bukan semata seremonial belaka...
Tanah tempat kita berpijak, alam tempat kita berlindung, dan air yang kita minum dari tanah Kota Kotamobagu menjadi saksi kehidupan dari berbagai romantika masa lalu dan masa kini yang tidak lekang oleh waktu. Kotamobagu yang lahir pada tahun 1910 sebagai Ibu Kota 5 Negara Serikat Kerajaan Bolaang Mongondow, Bintauna, Kaidipang, Bolaang Itang, dan Bolango Uki melahirkan banyak tokoh dan pejuang dalam sejarah. Mereka hidup dan mengisi catatan-catatan historis yang akan selalu dikenang hingga Kota Kotamobagu mencapai usia yang ke-115 tahun.
Jauh sebelum tahun 2007 ketika berubah status menjadi Kotamadya berdasarkan UU No. 4 Tahun 2007, Kota Kotamobagu lahir berdasarkan Besluit van den Gouverneur-General van Nederlandsch-Indie van 29 September 1910 di mana tahun 1910 inilah yang dijadikan titik awal lahirnya entitas dan nama Kotamobagu yang kita kenal.
Pada masa itu status Kotamobagu lebih tinggi daripada saat ini yang hanya menjadi satu kotamadya di Indonesia. Tahun 1910 sejajar dengan Batavia yang kini menjadi Jakarta, Kotamobagu adalah ibu kota 5 negara kerajaan yang disebutkan di atas. Barulah Indonesia merdeka tahun 1945 dan kerajaan Bolaang Mongondow bubar pada tahun 1950, status Kotamobagu turun dari ibu kota negara menjadi setingkat kelurahan/desa di Negara Indonesia, status yang kontras dengan kondisi ketika dia lahir sejak tahun 1910.
Usaha untuk membawa lagi perhitungan hari jadi Kota Kotamobagu pada usia aslinya yang ke 115 tahun sejatinya untuk membuka mata dan pikiran kita semua bahwa sejak dahulu di Negeri Bolaang Mongondow telah ada sebuah kota yang lahir dan hidup di tengah Pedalaman Mongondow. Kesadaran ini membuat kita bangun dari tidur panjang bahwa selama ini banyak sejarah yang telah kita lewati bak seorang yang mengalami amnesia kelampauan.
Kita menyadari bahwa perubahan status menjadi kotamadya tahun 2007 di masa Indonesia modern tidak akan menghapus fakta sejarah itu, bahwa negeri kita telah lama lahir bahkan sebelum Negara Indonesia ada, dan kita akan selalu menghargai tanah dan sejarah Kotamobagu sebagai warisan abadi para leluhur dan anak cucu kita ke depan. Membawa Kotamobagu tahun 1910 ke masa kini adalah hutang sejarah karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan para pahlawannya.
Susanto Zuhdi (2014: 285) dalam bukunya Nasionalisme, Laut, dan Sejarah menulis bahwa penetapan "Hari Jadi" atau "Hari Lahir" kota pada akhirnya adalah soal kesepakatan atau konsensus juga. Sebab penetapannya dilakukan dengan suatu keputusan politik oleh pemerintah daerah kemudian diundangkan (perda). Akan tetapi, landasan historis atau arkeologis tidak boleh diabaikan. Memahami hal ini maka penetapan HUT Kota Kotamobagu menjadi 115 tahun dengan dasar patokan 19 Januari 1910 adalah tepat dan memenuhi standar pendekatan sejarah.
Tanggal 19 sendiri diambil dari Peristiwa Merah Putih yang terjadi pada tanggal 19 Desember 1945 yang menjadi penanda awal integrasi Indonesia ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanggal 19 juga akan selalu mengingatkan kita tentang perlawanan rakyat yang terjadi di wilayah Pontodon dan sekitarnya pada 19 Agustus 1902 untuk melawan pemerintah Kolonial Belanda. Momentum tanggal 19 diambil agar HUT Kotamobagu memiliki muatan heroisme perjuangan dan simbol keberanian yang lahir dari tumpah darah masyarakat Kotamobagu untuk menjadi bagian Indonesia merdeka.
Penetapan bulan Januari sendiri diambil dari UU No. 4 tahun 2007 di mana Kota Kotamobagu ditetapkan menjadi kotamadya pada tanggal 2 Januari 2007. Bulan Januari adalah bulan HUT Kota Kotamobagu sehingga momentum ini tidak bisa dipisahkan dalam sejarah lahir dan terbentuknya Kota Kotamobagu saat ini yang memiliki benang merah masa lalu dan masa kini. Bulan Januari diperingati untuk mengenang dan menghargai peran tokoh-tokoh pemekaran kita yang akan selalu abadi dalam tinta sejarah. Para tokoh pemekaran adalah pejuang-pejuang daerah masa kini yang menjadi teladan dan inspirasi angkatan muda.
Pada bulan Januari ini juga pejuang legendaris Sadaha Yambat dari Pedalaman Mongondow (Passi-Lolayan) memimpin perjuangan melawan VOC pada Januari 1750 hingga berhasil memulangkan Raja Salomon Manoppo dari Tanjung Harapan Afrika Selatan kembali ke negerinya. Menariknya hingga VOC bubar, mereka tidak bisa membalas kekalahan mereka dari kegigihan pejuang Pedalaman Mongondow (Kotamobagu). Kotamobagu masa lalu dan masa kini adalah sebuah kesatuan sejarah yang tidak bisa dipisahkan sebagaimana ciri sejarah itu sendiri yang selalu berkesinambungan.
Tahun 1910 diambil dari tahun di mana nama Kotamobagu pertamakali ditemukan dalam catatan tertulis. Angka Tahun 1910 muncul dalam dokumen Besluit van den Gouverneur-General van Nederlandsch-Indie van 29 September 1910. Besluit ini menegaskan tentang pemindahan Ibu Kota Afdeeling Bolaang Mongondow dari Kota Baru yang berada di wilayah kaki Gunung Sia' ke Kotamobagu yang kemudian menjadi cikal bakal Kecamatan Kotamobagu pada dekade 80an dan Kota Kotamobagu tahun 2007.
Gagasan pengabungan beberapa babakan waktu dan peristiwa menjadi satu kesatuan "tanggal, bulan, tahun" yang tunggal sebagai dasar penetapan HUT Kota Kotamobagu 19 Januari 1910 adalah hal yang lumrah dalam perspektif sejarah. Kita meminjam pendekatan sejarawan Inggris Bernard Lewis dalam karyanya "Sejarah: Diingat, Ditemukan Kembali, Ditemu-ciptakan".Â
Gagasan HUT Kota Kotamobagu yang mengunakan mengabungkan beberapa babakan waktu dan peristiwa memiliki relevansi dengan konsep "sejarah yang ditemu-ciptakan (invented history)" dalam karya Lewis di atas. Menurut Lewis (2009: 12) sejarah yang ditemu-ciptakan (invented history) adalah berupa sejarah yang diciptakan untuk kepentingan tertentu.
Gagasan HUT Kota Kotamobagu yang diambil dari beberapa peristiwa sengaja digabungkan agar sejarah Kota Kotamobagu tidak dirayakan hanya seremonial belaka, akan tetapi memiliki bobot sejarah yang lahir dan tumbuh sejak pertama Kotamobagu lahir hingga kini dipersiapkan sebagai ibu kota Provinsi Bolaang Mongondow Raya (BMR). Dengan mengabungkan berbagai peristiwa menjadi kesatuan HUT Kota Kotamobagu maka masa lalu dan masa kini Kotamobagu akan dibaca secara holistik bukan parsial serta memiliki nilai bukan semata seremonial belaka.
*Penulis adalah peneliti sejarah lokal Bolaang Mongondow Raya (BMR) di Sulawesi Utara. Menulis Buku Perlawanan Rakyat di Pedalaman Mongondow Tahun 1902 (Penerbit Ombak, 2024).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI