Mohon tunggu...
Murdiono Mokoginta
Murdiono Mokoginta Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan/ Penulis Artikel/ Kolomnis

Penulis yang fokus pada riset-riset sejarah lokal terutama di wilayah Bolaang Mongondow Raya, Sulawesi Utara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Mongongingulu" dalam Memori Kolektifitas Orang Bolaang Mongondow

9 Januari 2025   10:09 Diperbarui: 9 Januari 2025   12:59 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di antara yang terekam dalam memori kolektifitas orang Bolaang Mongondow adalah istilah "Banselang/Mongongingulu" atau "mengambil kepala/mencari kepala untuk diambil" oleh seseorang yang mempunyai maksud dan niat tertentu sesuai peruntukannya.

Tua-tua kita bercerita bahwa ada orang-orang tertentu (penjahat) yang mencari anak-anak kecil atau bahkan juga orang dewasa hingga ke pelosok-pelosok desa kemudian dibius hingga pingsan.

Setelah dalam kondisi tidak sadarkan diri, mereka kemudian dibawa ke suatu tempat untuk disembelih dan diambil kepalanya untuk dikubur bersama pondasi pembangunan jembatan atau gedung-gedung tertentu agar bangunan konstruksi yang dibuat lebih kuat dan mampu bertahan hingga ratusan tahun.

Di Bolaang Mongondow isu ini menyebar pada dekade-dekade 80-90an bahkan pada milenium tahun 2000an membuat orang-orang panik terutama orang tua yang takut terhadap keamanan anak-anak mereka. Beberapa orang tua bahkan menjaga anak-anak mereka hingga ke sekolah karena takut bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Pada masa itu, mobil hardtop dan jenis super kijang yang lewat di desa-desa distigma merupakan mobil para mongongingulu untuk mencari orang-orang yang mereka jadikan target kejahatan tersebut. Anak-anak banyak yang kabur ketika melihat mobil ini lewat di jalanan desa.

Beberapa orang tua dan pemerintah bahkan melakukan sweeping terhadap beberapa jenis mobil tersebut walau banyak yang salah sasaran.

Hingga kini belum ada pelaku yang ditemukan meski isu-isu seperti ini masih terus hidup dan menyebar di tengah-tengah masyarakat kita bahkan hingga era digital dan informasi berkembang pesat di masa kini.

Isu banselang terlepas benar atau tidaknya, menarik untuk dilihat dalam kajian sejarah sosial khususnya di Bolaang Mongondow. Beberapa daerah-daerah di Indonesia tentu juga memiliki cerita atau kisah seperti ini. Sebuah cerita tentang sekelompok orang yang mencuri kepala-kepala anak-anak untuk dijadikan persembahan ilmu hitam, atau tumbal pembangunan projek-projek bangunan tertentu agar memiliki kekuatan yang tentu secara ilmiah tidak memiliki bukti.

Di Bolaang Mongondow istilah yang lebih tua dari "Banselang/Mongongingulu" adalah "Modakop" sebagaimana dalam catatan Moh. Dilapanga 'Serpihan-Serpihan Fakta Dan Peristiwa Di Bolaang Mongondow Tanah Leluhurku (2012)' bahwa di masa lalu sekitar abad ke-15 di Bolaang Mongondow bajak laut Mangindano menjadi masalah yang mengganggu kehidupan masyarakat kita masa itu.

Mereka menangkap orang-orang di pesisir untuk dijadikan budak untuk dijual dan beberapa lainnya dibunuh dengan cara yang keji dengan dipotong kepala lalu dibuang di pantai untuk membunuh mental orang-orang ketika itu.

Istilah modakop tersebut hingga kini di beberapa perkampungan di pesisir, utamanya di wilayah pantai selatan Bolaang Mongondow masih terekam dalam memori kolektifitas mereka.

Mododakop diartikan sebagai sekumpulan bajak laut yang membuat keresahan terhadap orang-orang pesisir, nelayan, dan digambarkan selalu mencuri kepala-kepala orang-orang yang mereka bunuh untuk dijadikan aksesoris kapal-kapal bajak laut agar terlihat menyeramkan dan menyiutkan mental orang-orang yang melihat aksi-aksi kejam mereka.

Sejarah yang kelam dari masa lalu kemudian terpatri dalam ingatan orang-orang yang hidup di masa kini. Mungkin telah berubah bentuk lebih modern sesuai dengan zaman di mana hal ini hidup di masyarakat.

Kalau dahulu tragedi pembunuhan/pemenggalan kepala dilakukan oleh bajak laut yang naik di kapal-kapal yang menyeramkan, maka kini berubah menjadi sekumpulan penjahat-penjahat yang naik mobil hardtop atau super kijang.

Kalau dulu kepala dijadikan aksesoris hiasan kapal, atau tumbal untuk mendapatkan ilmu dan kekuatan supranatural oleh bajak laut, maka di masa kini kepala itu katanya dijadikan sebagai penguat konstruksi bangunan/gedung agar bertahan hingga ratusan tahun.

Saat isu "Banselang/Mongongingulu" menyebar pada kondisi dan waktu tertentu di kalangan masyarakat, sayangnya tidak pernah ada pelaku atau bukti-bukti kejahatan tersebut yang ditemukan (ditangkap).

Isu selalu menyebar bahwa di suatu desa telah terjadi penculikan anak atau ditemukan mayat tanpa kepala, tapi saat polisi turun ke tempat kejadian perkara (TKP) informasi itu ternyata hanya hoax atau kabar burung yang menyebar dengan cepat dibawa angin lalu.

Orang tua mengambil keuntungan dengan menjadikan "Banselang/Mongongingulu" untuk menakut-nakuti anak-anak mereka yang sering keluyuran. Karena isu ini anak-anak juga kadang takut keluar rumah bermain dengan teman-teman sebaya karena isu penculikan. Hal ini terjadi biasanya pada musim-musim penghujan atau saat musim layang-layang di mana banyak anak memenuhi ruang publik untuk bermain.

Pertama orang tua membuat cerita ini agar anak-anak mereka tidak bermain saat musim penghujan karena takut sakit atau hanyut disungai.

Kedua, di musim layang-layang orang tua kelabakan melarang anak-anak mereka yang bermain siang-siang di tengah terik matahari karena takut sakit dan mengganggu istirahat siang orang-orang tua di kampung.

Bagaimanapun "Banselang/Mongongingulu" telah menjadi cerita legenda di Bolaang Mongondow terlepas benar adanya dan masih hidup dalam memori kolektifitas kita hingga kini.

*Penulis adalah peneliti sejarah lokal Bolaang Mongondow Raya (BMR) di Sulawesi Utara. Menulis Buku Perlawanan Rakyat di Pedalaman Mongondow Tahun 1902 (Penerbit Ombak, 2024).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun