Tujuh hari sudah saya berada di Wisma Atlet. Waktu terasa begitu panjang untuk dilalui. Tidak banyak kegiatan yang dapat dilakukan disini. Sesudah berolahraga dan berjemur, seluruh pasien akan kembali ke kamarnya masing-masing.
Para pasien baru akan berjumpa satu dengan yang lainnya ketika ada pesan di whatsapp grup yang memberitahukan bahwa makan pagi, siang atau malam sudah siap.
Ketika asyik berselancar di dunia maya, terdengar bunyi di hp yang menandakan ada pesan masuk. “Assalamualaikum, selamat siang bapak/ibu. Merapat ke poli yuk untuk ambil makan siang sambil ditensi dan ambil obat“, itulah pesan singkat yang muncul di whatsapp grup pasien lantai 18.
Pesan hangat seperti itu selalu hadir menyapa kami (pasien Covid-19) baik di kala pagi, siang maupun malam hari.
Siang ini, saya tidak bergegas menuju poli. Saya menunggu sejenak di kamar tidur. Sekitar setengah jam sesudahnya, saya baru menuju ruang poli. Terlihat hanya dua pasien yang masih mengantri ketika saya sampai di poli.
Saya sengaja datang terakhir karena siang ini saya memiliki janji dengan perawat (baca ners) Toni untuk mengobrol, dan ini baru bisa dilakukan setelah dia menyelesaikan tugasnya.
Toni baru saja menyelesaikan tugasnya memeriksa tensi dan memberikan obat kepada pasien ketika saya menyapanya.
“Saya ingin membantu ekonomi keluarga. Kondisi keuangan keluarga kami sedang tidak baik. Sebagai anak pertama saya terpanggil untuk meringankan beban keluarga. Adik saya dua, yang satu masih kuliah dan satunya lagi masih sekolah. Mereka masih membutuhkan banyak biaya,“ tutur Toni yang berasal dari Jakarta kepada saya ketika ditanyakan mengapa dia tertarik bekerja di Wisma Atlet.
Lebih lanjut, Toni menceritakan bahwa sebelum dia bergabung di Wisma Atlet, dia bekerja di Klinik Astra Pulogadung sebagai ners kontrak.
Setelah kontrak kerjanya berakhir, Toni lalu mencari pekerjaan lain, tetapi hasilnya nihil.
“Saya hampir putus asa mencari pekerjaan. Hingga suatu hari, saya membaca status whatsapp temen yang menginfokan bahwa Kemenkes lagi mencari ners untuk ditempatkan di Wisma Atlet. Lalu saya mengirim lamaran via WA. Dua hari kemudian saya dihubungi oleh Kemenkes untuk datang ke Wisma Atlet untuk menjalani tes,” cerita Toni tentang bagaimana dia dapat memperoleh pekerjaan sebagai ners di Wisma Atlet.
Selain alasan ekonomi, Toni yang menyelesaikan pendidikannya di Akademi Keperawatan Harum Jakarta menyatakan bahwa rasa kemanusiaan juga melatarbelakangi mengapa dia mau bergabung di Wisma Atlet. “Saya terpanggil untuk membantu karena mendengar info terbatasnya tenaga ners di Wisma Atlet, sedangkan pasien yang harus ditangani semakin banyak.“
Ia menuturkan bahwa sejak diberlakukannya era kenormalan atau new normal, jumlah pasien yang dirawat di Wisma Atlet semakin banyak.
“Per hari ini pasien yang dirawat di lantai 18 mencapai 47 orang. Sekarang, setiap ruangan pasti ditempati oleh dua orang. Dulu sebelum berlakunya new normal, jumlah pasien tidak sebanyak itu,“ papar Toni yang bertekad akan terus berkerja di Wisma Atlet selama tenaganya masih diperlukan.
Toni menceritakan sebagian besar pasien yang dirawat di Wisma Atlet adalah pasien tanpa gejala. “Untuk pasien gejala ringan, diberi obat yang sudah ditentukan dan vitamin, lalu sesudah 7 hari, dilakukan tes swab. Jika negatif boleh pulang” jelas Toni anak pertama dari tiga bersaudara.
Ia lalu menceritakan bahwa pasien yang memiliki riwayat penyakit bawaan akan mendapatkan treatment khusus. “Pasien penderita diabetes akan diukur gula darahnya secara rutin dan mendapatkan pengawasan khusus, termasuk asupan makanannya,” ungkap Toni kepada saya ketika saya menanyakan bagaimana penanganan pasien yang memiliki riwayat penyakit gula.
Ketika saya dan Toni asyik berbicara, tiba-tiba rekan Toni sesama ners datang menghampiri kami. Saya persilahkan dia untuk bergabung bersama kami. Silvia begitu sapaan ners perempuan yang baru join dengan kami. Usianya masih begitu belia, 22 tahun, asli Rangkas Bitung.
Silvia sebelum terjun sebagai tenaga medis di Wisma Atlet adalah ners di RS. Polri Kramat Jati, Jakarta. Silvia menceritakan bahwa dia datang ke Wisma Atlet karena penugasan dari tempatnya bekerja.
Dia bersama 50 rekannya yang terdiri dari ners, dokter, dan polisi (yang berprofesi sebagai ners) adalah gelombang ketujuh dari RS. Polri yang ditugaskan untuk mengabdi di Wisma Atlet.
Silvia akan bertugas selama tiga bulan di Wisma Atlet. “Saya tiba di Wisma Atlet pada bulan Juni. Tinggal satu bulan lagi saya bekerja disini. Sesudah itu, saya akan kembali bertugas di RS. Polri, Setelah saya selesai bertugas disini, posisi saya akan digantikan oleh petugas lainnya dari RS. Polri, ” jelas Silvia yang sudah bekerja selama dua tahun di RS. Polri.
“Senang berada disini. Bisa ketemu banyak teman dari seluruh Indonesia. Tapi kerjanya ekstra keras. Beda dengan RS. Polri. Disini kami harus melayani hampir 47 pasien setiap harinya. Benar-benar cape kerja disini. Belum lagi pada awal datang, kami harus mengambil makanan dan minuman buat para pasien. Cape banget lah,“ tandas Silvia ketika ditanyakan kesannya selama bekerja di Wisma Atlet.
Selain rasa senang bisa mengenal rekan-rekan ners dari seluruh pelosok tanah air, Silvia menegaskan bahwa dia memiliki perasaan takut tertular virus Covid-19.
“Takutlah. Sudah pasti itu. Setiap hari kita bertemu dengan pasien positif. Tapi mau gimana lagi, namanya saja tugas, ya harus dijalankan,“ ujar Silvia anak kedua dari empat bersaudara dengan nada sedikit lemah.
Namun, kekhwatiran dia berangsur-angsur hilang sebab Silvia mengungkapkan bahwa di RS. Polri pun dia bertugas merawat pasien positif Covid-19 walau dengan jumlah pasien yang jauh lebih sedikit.
Saat ini, Silvia mengaku tidak tahu apakah dirinya tertular Covid-19 atau tidak. Dia baru akan mengetahui dirinya positif ketika masa tugasnya berakhir nanti. Silvia menjelaskan bahwa seluruh petugas medis yang telah mengakhiri masa tugasnya di Wisma Atlet akan menjalani tes swab.
Jika ada yang positif, maka mereka langsung dikarantina di Wisma Atlet. Jika hasil tes swab negatif, mereka diperbolehkan pulang ke tempat masing-masing. Meskipun begitu, Silvia mengakui bahwa hingga hari ini, dia belum mendengar ada ners yang terpapar virus Covid-19 selama bertugas di Wisma Atlet. Alhamdullilah!
Ia menegaskan hal terberat bekerja di Wisma Atlet selain melawan rasa takut tertular Covid-19 adalah kangen rumah dan orang tua.
“Sudah dua bulan saya disini dan tidak pernah pulang. Belum lagi nanti sesudah dari sini harus karantina selama dua minggu setelah hasil tes swab keluar,“ papar Silvia yang merupakan alumni dari Akademi Keperawatan Yatna Yuana Rangkas Bitung, dimana lokasi rumah orang tuanya juga terletak pada kota yang sama.
Menjadi ners di saat wabah mengganas bagi sebagian ners berarti mempertaruhkan nyawa. Ners adalah “penjaga gawang“ dalam memerangi pademik Covid-19 yang bekerja tanpa mengenal waktu dan istirahat.
Merekalah orang terdepan yang berhadapan langsung dengan pasien positif. Memberi obat, mengukur tensi, mengukur suhu badan, memberikan konsultasi (jika diperlukan) adalah tugas sehari-hari yang harus mereka jalani.
Maka tidak heran banyak anggota keluarga yang tidak mengizinkan anaknya bekerja sebagai ners di Wisma Atlet. Namun demi nama kemanusian mereka memutuskan untuk tetap bergabung di Wisma Atlet. Salah satunya adalah kisah ners Duma yang berasal dari Samosir, Sumatera Utara yang juga saya jumpai di ruang poli lantai 18.
“Orang tua tidak mengizinkan ketika saya mau bekerja di Wisma Atlet. Mereka khwatir saya akan tertular virus Covid-19,“ cerita Duma dengan nada datar.
Duma adalah ners yang memiliki banyak pengalaman kerja.Dia pernah berkerja di RS. Elisabeth Medan, RS di Batam, dan RS. Bethsaida Gading Serpong. Namun nasib tidak memihak kepadanya. Masa pademik membuat dia kehilangan pekerjaan di RS. Bethsaida. Kontrak kerjanya tidak diperpanjang, sehingga dia harus mencari pekerjaan lain.
Berbekal info dari rekan sejawatnya, Duma mendapatkan kabar bahwa Kemenkes sedang membutuhkan ners yang akan ditempatkan di Wisma Atlet. Lalu dia mengirim lamaran ke Kemenkes meski pada awalnya dia memiliki rasa takut untuk melamar pekerjaan tersebut. Namun dia kikis rasa takut itu. Dia ingin tunjukkan kepada keluarganya bahwa pilihannya mengabdi di Wisma Atlet adalah pilihan tepat.
Duma menceritakan bahwa siksaan terberat bagi dia saat ini bukan lagi masalah pekerjaan, melainkan APD yang dia gunakan.
“APD yang digunakan cukup menyiksa. Nafas menjadi tidak leluasa. Belum lagi harus menahan untuk tidak makan dan minum. Tapi siksaan yang paling berat adalah menahan buang air. Saya harus menggunakan APD selama 8 jam,” papar Duma.
Dia juga menerangkan bahwa ners di Wisma Atlet harus bertugas selama 24 jam yang terbagi menjadi tiga shift, yaitu shift pagi (08.00 – 16.00), shift sore (16.00 – 23.00) dan shift malam (23.00 – 08.00).
Selama bertugas, mereka hanya dibekali dengan satu set APD. Mereka harus tetap memakai APD tersebut dari awal bertugas sampai selesai masa shift mereka.
Saya dapat merasakan betapa tersiksanya para ners ketika mereka menggunakan APD. Berjam-jam mereka harus bertahan dalam pengapnya alat pelindung diri. Para ners wajib menggunakan APD lengkap agar tidak terjangkit virus Covid-19.
Ners seperti Duma, Silvia dan Toni masih harus menambahkan beberapa pengaman pada APD yang dikenakannya. Saat mereka memakai masker N-95, mereka harus menambahkan plester pada sela-sela antara masker dengan kulit wajah supaya lebih rapat. Tersiksa, sudah pasti. Tapi mereka melakukan itu semua untuk kami para pasien positif Covid-19.
Untuk mencegah semakin banyaknya masyarakat yang tertular Covid-19, mereka bertiga berpesan agar masyarakat tetap mematuhi protokol kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah meski nantinya virus Covid-19 sudah mereda. Masyarakat disarankan untuk tidak lengah.
“Hindari tempat-tempat keramaian, cobalah tinggal di rumah dan terapkanlah social distancing. Harus rajin mencuci tangan. Jika masyarakat dapat mematuhi protokol kesehatan tersebut, insya Allah pasien Covid-19 akan berkurang,” pesan Silvia mewakili kedua rekannya dengan semangat.
Guys kalau memang kita mencintai dan menghargai para ners yang saat ini berada di garda terdepan dalam memerangi virus Covid-19, sudah sepatutnya kita mengikuti pesan yang disampaikan oleh ketiga ners tersebut.
Mereka sudah bersedia bertempur di garda terdepan, saatnya kita juga berperang melawan virus Covid-19 dengan mematuhi protokol kesehatan yang sudah ditetapkan pemerintah. Dengan begitu, saya yakin badai pasti akan segera berlalu. Kita bisa, guys!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H