Luna menangis deras di dadaku. Tinjunya bertubi-tubi menghujani tubuhku. Setelah meraung, ia memelukku erat sambil melabuhkan isak. Kubalas dengan dekapan tak kalah lekat. Kami mematung dan masing-masing mencoba melerai rasa yang mendung.
Sesaat, kami menikmati kebersamaan dalam waktu yang mengalun lambat. Ada perih dan sedih yang berkelindan dalam perasaan. Memori roman bersamanya perlahan memenuhi ruang hati. Aku hampir kembali terlena. Namun, kenangan demi kenangan itu memudar pelan-pelan. Meninggalkanku dalam sendiri yang tegar.
"Aku tetap mencintaimu, Luna," kataku lirih sambil menatap rembulan bulat berwarna mentega yang mengambang tepat di hadapanku. Luna diam. Wajahnya sempurna terbenam di dadaku yang kembali basah oleh air matanya. "Ikhlaskan aku menanggapi panggilan suci ini." Dari bibirku kalimat itu meluncur bersamaan dengan air mataku yang mengucur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H