Mohon tunggu...
Dionisius Riandika
Dionisius Riandika Mohon Tunggu... Guru - Seorang Educator, Hipnomotivator, Hipnoterapis, Trainer, Penulis

Lahir di Kota Ambarawa, Kabupaten Semarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Imamat

12 November 2024   10:13 Diperbarui: 12 November 2024   11:55 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Luna menangis deras di dadaku. Tinjunya bertubi-tubi menghujani tubuhku. Setelah meraung, ia memelukku erat sambil melabuhkan isak. Kubalas dengan dekapan tak kalah lekat. Kami mematung dan masing-masing mencoba melerai rasa yang mendung.

Sesaat, kami menikmati kebersamaan dalam waktu yang mengalun lambat. Ada perih dan sedih yang berkelindan dalam perasaan. Memori roman bersamanya perlahan memenuhi ruang hati. Aku hampir kembali terlena. Namun, kenangan demi kenangan itu memudar pelan-pelan. Meninggalkanku dalam sendiri yang tegar.

"Aku tetap mencintaimu, Luna," kataku lirih sambil menatap rembulan bulat berwarna mentega yang mengambang tepat di hadapanku. Luna diam. Wajahnya sempurna terbenam di dadaku yang kembali basah oleh air matanya. "Ikhlaskan aku menanggapi panggilan suci ini." Dari bibirku kalimat itu meluncur bersamaan dengan air mataku yang mengucur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun