Setiap kali teman-temanmu pulang melaut, aku akan selalu bertanya, "Apakah kau jumpa suamiku di lautan sana?" mereka semua menggeleng. Lalu mendekatiku. Menepuk-nepuk pundakku. Seolah mengatakan, "Ikhlaskan suamimu." Tentu saja aku tak mau. Karena, kau bilang hanya akan pergi semalam. Hanya semalam. Hanya semalam.
Air mataku mengalir kini. Senja tua meninggalkanku. Malam datang begitu cepat. Bayiku menggelinjang. Kuelus supaya tenang. Tapi, makin kuat ia menggelinjang. Dususul rasa mulas. Barangkali ini waktunya. Kuusap air mataku. Kutegakkan tubuhku. Kuhirup angin laut. Kuembuskan pelan. Menunggu beberapa waktu. Gelinjangnya makin hebat.
"Tunggulah sebentar lagi, Nak. Barangkali ayahmu pulang."
Kupejamkan mata. Menahan tangis. Sesak sekali rasanya. Ingin, di saat membuka mata nanti kau sudah ada di depanku, suamiku. Aku ingin memelukmu. Menamparmu. Memukulmu. Menciumimu sehabis-habisnya. Aku ingin kau menggendongku. Membawaku ke bidan. Aku ingin kau yang membaringkanku di ranjang. Aku ingin kau menggenggam tanganku dan menemaniku hingga aku menunauikan tugasku sebagai seorang istri. Sebagai seorang ibu.
***
"Bayi kita sudah lahir. Sempurna. Sangat cantik. Sepertimu. Tangisnya keras sekali. Dia pasti menjadi gadis kuat sepertimu," katamu sambil memeluk pinggangku.
"Lihat matanya. Setajam matamu. Mata sang pelaut. Dia akan menjadi gadis tangguh sepertimu," sahutku.
"Terima kasih sudah pulang," kataku.
"Terima kasih sudah setia menungguku," balasmu.
Aku menyandarkan kepala di dadamu yang hangat. Kaubelai lembut rambutku. Kita sama-sama melihat bayi kita digendong dan dipeluk sang bidan. Tak jauh dari tempat kita berdiri. Di ranjang, tubuhku terbaring tenang. Bibirku tersenyum. Cantik sekali. Kukagumi parasku sendiri. Mataku terpejam sempurna. Tanpa air mata. Tertidur lega.
Aku telah menunaikan tugasku sebagai seorang ibu. Menjaga dan melahirkan bayi kita. Aku telah melunasi tugasku sebagai istrimu. Setia sampai akhir. Pintaku. Jangan pernah pergi lagi. Temani aku menikmati senja yang abadi.