Manusia telah masuk dalam pusaran  neoliberalisme. Secara cepat dan pasti, manusia menuju titik pusaran yang akan membinasakan peradaban mereka sendiri. Ini merupakan kondisi yang tak terelakkan. Lebih dari sekadar realita, ini adalah keniscayaan.
Bius materialisme, hedonisme, konsumerisme, dan instanisme telah merenggut kesadaran manusia sebagai manusia. Dewasa ini, yang ada adalah manusia-manusia mabuk. Insan-insan ambigu yang penuh pengingkaran.
Materi begitu didewakan melampaui Tuhan. Uang serta kekayaan menjadi ukuran dalam memandang antarmanusia. Harga diri dilihat dari popularitas, jabatan, dan tampang luaran.
Nafsu telah menguasai seluruh usaha manusia dalam meraih hidup yang sia-sia. Rasa puas tiada batas. Begitu gahar memperbudak manusia. Seolah, tiada lagi resistansi terhadap kehendak.
Pemborosan serta eksploitasi dilakukan dengan sengaja tanpa mengenal kata bijaksana. Ruang-ruang kehidupan dipenuhi barang koleksi. Segala sesuatu dianggap materi yang bisa dijual dan dibeli. Pemerasan, perbudakan, bahkan hak asasi ditempatkan sebagai suatu permainan.
Manusia cenderung malas berproses. Segala sesuatu dikehendaki terwujud dengan sim salabim. Otak dibiarkan tertidur. Pikiran sengaja ditelantarkan. Nalar dimuseumkan. Kreativitas dan kekritisan cukup ditata pada rak-rak masa lalu. Semua itu dianggap usang dan sudah berlalu.
Sudah saatnya, manusia mengosongkan diri. Menguras jiwa, hati, dan pikir dari tendensi kemurtadan. Menempatkan diri secara tepat sebagai sang ciptaan. Menyadari kedinaan. Meninggikan kerendahan hati. Membuka ruang kehidupan seluas-luasnya demi kemurahan kasih Tuhan.
Hanya pengosongan diri yang bisa memurnikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H