Cinta itu membebaskan. Cinta sejati itu membebaskan. Simplisitas cinta memungkinkan orang mengalami kebebasan manusiawi yang mendalam. Ia tidak dicekam oleh ketakutan. Tidak didominasi oleh ketidakmungkinan. Cinta sejati membawa orang terbang di ketinggian kontemplasi kebenaran. Cinta itu membebaskan, karena orang tidak berada di dalam keterbatasan diri. Ia karena cinta, mentrasendensi diri, menyebrangi menjadi manusia baru sama sekali.[8]
 Cinta itu membebaskan karena dalam kebebasannya dia mampu memberikan kepada sesamanya eksistensi kedirianya secara total, bahkan dia mengorbankan nyawanya sendiri untuk orang yang dia cintai. Sebab, konsekuensi dari cinta yang sejati adalah pengorbanan itu sendiri. Inilah satu jenis kebebasan yang seringkali kita jumpai dalam keseharian kehidupan kita. Kebebasan cinta juga bisa hadir dalam sikap keragu-raguan kita setiap hari. Dalam tulisannya, Armada Riyanto, CM, mengatakan "keragua-raguan adalah juga ekspresi kebebasan" (MM 155). Maka, untuk pencapaian cinta sejati yang membebaskan, saya mesti memiliki keraguan dengan kekuatan cinta sendiri. Saya mesti selalu bertanya kepada diri saya sendiri. Kebebasan cinta seperti apakah yang telah saya berikan kepada Tuhan dan sesama saya? Apakah itu berasal dari ketulusan hati untuk mencintai sehingga mencapai pembebasan, atau malah justru karena cinta yang mendalam saya justru mengikat orang lain dan membuat hidupnya menjadi tidak bebas? Maka, pertama-tama saya mesti menjadi diri saya sendiri dalam mencintai sehingga mencapai kebebasan yang sejati.
Dalam kehidupan bersama sehari-hari, cinta yang membebaskan muncul dalam sikap, perilaku dan sifat saya, terutama dalam sikap memberi dan membagi kepada sesama dengan yang lainnya. Dalam buku Relasionalitas, Armada Riyanto CM, mengatakan:
Cinta itu terdiri dari sikap memberi. Cinta itu bukan perbuatan menikmati, mengambil atau mengurangi sesuatu. Dan, logika cinta itu luar biasa, semakin memberi semakin kelimpahan. Inilah kebenaran tentang cinta itu, yaitu cinta berupa aktivitas berbagi. Cinta itu membagikan atau memberi dirinya sendiri.[9]
Pemberian adalah merupakan suatu ekspresi dari cinta yang membebaskan. Sebab, dengan memberi saya melepaskan segala keterikatan saya dari rasa kepemilikan saya, rasa ego pribadi saya, tetapi mau membagikannya dengan sesama saya yang lainnya (Liyan). Dan pemberian yang paling pertama dan utama adalah pemberian diri saya sendiri. Pengorbanan yang total. Sebab, inilah pengorbanan terbesar tentang cinta yang, membebaskan itu. "cinta itu relasional antara Aku dan Liyan, dalam maksud relasi cinta tidak pernah sepihak, tidak pernah berkisah pada diri sendiri" (Relasionalitas 373). Maka, saya mesti sekuat tenaga menghindari keegoisan diri dan tidak mencari kenikmatan pribadi semata. Sebab itulah yang dinamakan kebebasan sejati. Dan kebebasan sejati itu adalah kebahagiaan yang sempurna.
Kekuatan dari cinta yang membebaskan adalah juga terwudjud dalam sikap saya ketika saya mampu mengampuni semua orang yang berbuat jahat terhadap saya. Sebab, ketika saya mampu mengampuni musuh saya dan memberikan cinta yang tulus padanya, saat itulah saya sungguh mengalami pembebasan dari rasa dendam dan mampu mencapai kebahagiaan yang sejati. Dalam buku Mencari Makna Hidup, Viktor E. Frankl, menulis:
Cinta merupakan satu-satunya cara manusia memahami manusia lain sampai pada pribadinya yang paling mendalam. Tidak ada orang yang sepenuhnya menyadari esensi manusia lain tanpa mencintai orang tersebut. Melalui cinta, dia bisa melihat karakter, kelebihan, dan kekurangan dari orang yang dia cintai; bahkan dia bisa melihat potensi orang tersebut yang belum dan masih harus diwudjudkan. Selain itu, dengan cinta, orang yang mencintai dapat membantu orang yang dia cintai untuk mewudjudkan semua potensi tersebut. Dengan membuat orang yang dia cintai menyadari apa yang bisa dan seharusnya dia lakukan, dia bisa membantunya untuk mewudjudkan semua potensi tersebut.[10]
 Puncak dari cinta yang membebaskan ini adalah persatuan yang intim dan personal antara manusia dengan Tuhannya, Sang Cinta itu sendiri. Dalam kebebasan cinta yang mendalam dan utuh, manusia membangun relasi yang mendalam dengan Sang Cinta itu sendiri, yang telah menjadikan cinta sebagai suatu kebebasan yang universal. Pembangunan relasional yang intim dan personal itu diwudjudnyatakan manusia dalam relasinya dengan sesamanya (Liyan) dalam sikap hidup hariannya. Manusia juga membangun itu dalam doa, meditasi, ekaristi dan juga hidup kontemplatif yang intens. Tuhan itu sungguh hadir dalam setiap pribadi yang saya jumpai dan dalam segala hal dalam kehidupan saya. Dalam injil saya dapat menemukan orang-orang yang mengalami kebebasan oleh karena kekuatan cinta. Rasul Paulus setelah mengejar dan menganiyaya jemaat Allah, mengalami cinta Allah yang melimpah serta memperoleh rahmat pertobatan. Begitupula dengan Maria dari Magdala yang dibebaskan Tuhan dari dosa besarnya. Ini semua tidak lain adalah karena rahmat dan cinta Allah yang besar dan memilki kekuatan untuk membebaskannya.
KesimpulanÂ
 Akhirnya saya dapat sampai pada kesimpulan bahwa cinta itu sungguh mampu membawa kita untuk menjadi pribad-pribadi yang bebas dan cinta itu membebaskan. Cinta membebaskan dalam artian bahwa bila saya sungguh mencintai saya mesti melepaskan segala keterikatan saya pada segal macam yang menghambat kebebasan saya. Saya mesti bebas dari keterikatan harta benda, relasi, dan terlebih khusus segala ego dan keinginan pribadi saya. Saya mesti lebih mengarahkan eksistensi kedirian saya pada tujuan akhir peziarahan hidup saya, yakni persatuan yang intim dan personal dengan Tuhan Sang Cinta. Untuk memperoleh pencapaian persatuan yang intim dan mendalam ini, saya mesti memulainya sejak saat ini, disini. Dalam tindak tanduk keseharian hidup saya, saya mesti lebih terarah pada cinta yang membebaskan ini. Dengan sikap berbagi kepada sesama saya yang berkekurangan serta mereka yang menderita, saya mewudjudnyatakan cinta sejati yang membebaskan itu.
Puncak pencapaian yang sempurna dari cinta yang membebaskan ini adalah persatuan yang personal dengan Tuhan. Banyak para orang kudus telah mencapai persatuan yang indah ini. Semua ini tidak lain adalah hanya karena kekuatan dan dorongan cinta yang menggelora dalam hatinya. Tuhan senantiasa setia menanti bagi kita yang mau mencarinya. Dalam kasih dan cinta-Nya yang luhur selalu ada kebebasan bagi kita anak-anak-Nya. Maka, sebagai pribadi manusia yang mencinta, kita mesti mulai menanam dan menghidupi rasa cinta kita sejak saat ini, di dalam dunia ini.