Dewasa ini permasalahan yang melibatkan masyarakat adat kembali ramai terjadi di negeri ini. Seperti konflik yang melibatkan masyarakat adat Iwaro dengan perusahaan sawit PT Permata Putra Mandiri. Masalah ini terjadi karena pihak perusahaan hanya memberikan ganti rugi terhadap pohon yang besar. Namun  kerusakan flora,fauna,serta tempat keramat belum termasuk sehingga masyarakat adat Iwaro merasa dirugikan akan hal itu.
Tidak berhenti sampai disitu negara juga mengambil andil dalam melakukan deskriminasi terhadap masayarakat adat. Contohnya adalah tindak kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat Pubabu di Nusa Tenggara Timur ketika berhadapan dengan pihak Pemprov akibat konflik lahan. Hal ini dilatarbelakangi oleh penggusuran rumah-rumah yang berada diatas tanah adat.
Penggusuran tersebut dibarengi dengan tindak kekerasan serta intimidasi dari pihak aparat. Hal itu menimbulkan trauma bagi keluarga masyarakat adat Pubabu khususnya perempuan dan anak-anak.
Terakhir adalah konflik yang terjadi antara masyarakat adat Sunda Wiwitan dan pemerintah daerah kuningan,Jawa Barat. Konflik bermula akibat penyegelan terhadap makam yang dianggap sebagai tugu oleh Satpol PP. Seperti yang dilansir oleh bbc.com, Kepala Satpol PP Kuningan,Indra  Purwantono berpendapat bahwa bangunan  tersebut masuk dalam kategori tugu dan bukan gedung. Beliau merujuk kepada Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2019 mengenai  penyelenggaraan izin mendirikan bangunan. Bangunan bukan gedung berupa konstruksi monument,tugu,dan patung harus memiliki IMB.
Tidak ada perlindungan hukum yang pasti terhadap masyarakat adat membuat keberadaan mereka menjadi termarjinalkan. Walaupun Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat tahun ini sudah masuk dalam program legisasi nasional di DPR. Â Terdapat pertimbangan akan pentingya peraturan ini untuk kebaikan masyarakat adat. Pertama dalam Pasal 18B ayat(2) dan 28(I) ayat (3) UUD 1945 yang mengakui kedudukan masyarakat adat belum dapat dioptimalkan penerapannya.
Selain tidak mempunyai kapasitas untuk menguasai sesuatu hak milik juga mereka tidak dapat berpekara di pengadilan. Kedua adalah dengan tidak adanya kedudukan hukum yang pasti hak-hak masyarakat adat akan mudah untuk dikriminalisasi. Hak dasar pada bidang pendidikan,kebudayaan,pelayanan kesehatan,serta sosial ekonomi sangat penting adanya. Salah satu contoh yang dapat dicermati ketika masyarakat adat tidak memiliki hak konstitusional. Penguasaan akan pengolahan tanah adat dapat dengan mudah jatuh kepada pemilik modal  dengan mengatasnamakan pembangunan ekonomi (JawahirThontowi,2013).
Upaya marginalisasi akan terus berlanjut dalam pada era globalisasi seperti ini. Saat arus serta perputaran modal begitu masif tanpa ada sesuatu hal yang membatasi. Maka lambat laun akan berdampak kepada masyarakat adat yang umumnya hidup pada wilayah dengan sumber daya alam melimpah. Seperti yang dijelaskan dalam jurnal  Masyarakat&Budaya ditulis oleh John Haba berjudul Realitas Masyarakat Adat di Indonesia:Sebuah Refleksi.
Pada jurnal tersebut dijelaskan bahwa ekspolitasi berkedok  pembangunan yang menyebabkan tergusurnya masyarakat adat. Dalam prakteknya layaknya lingkaran setan yang tidak ada habisnya karena permintaan pasar dengan otonomi daerah adalah perpaduan apik. Seperti gayung yang bersambut pemerintah daerah sendiri pasti membutuhkan dana guna pembangunan.
Sumber daya alam merupakan salah satu sumber penghasilan yang dapat menghasilkan dan siap dieksploitasi. Sebagaimana pemerintah pusat melalui kementriannya dapat mengeluarkan ijin skala besar begitu juga dengan pemerintah daerah. Dengan menggunakan wewenangnya pemerintah daerah dapat mengeluarkan peraturan daerah yang umumnya mengutamakan pembangunan dan melupakan hak kelompok minoritas. Hal yang dapat menjadi patokan untuk mengetahui keberpihakan pemerintah dengan masyarakat adat adalah pada isu kepemilikan.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya,hak milik merupakan bagian vital dari eksistensi masyarakat adat. Hak milik tidak hanya terdiri dari aspek tunggal saja tetapi juga sekumpulan hak. Untuk mewujudkan hal itu bagi masyarakat adat diperlukan perlakuan setara tidak hanya berkutat kepada pemerintah dan pemilik modal saja.