Di mata saya, rak CD di mana ke-1000 album itu nantinya disusun, adalah sebuah mesin waktu yang akan membawa tiap individu yang terlibat ke satu titik tertentu ketika sebuah album mengubah mereka, menjadi bagian diri mereka, menjadi sesuatu yang mereka berhalakan sedemikian rupa. Mereka akan dibawa kembali ke kejadian dan peristiwa aktual yang pernah mereka alami, termasuk segala emosi dan juga, jika ada, substansi-substansi adiktif yang terlibat saat itu. Orang menamakan ini memori, tapi saya lebih setuju dengan Einstein. Yang anda alami itu, saudara-saudara, adalah lompatan kuantum.
Jadi, apa sebenarnya tujuan Burn Your Idol ini, selain membawa kita menembus waktu secara acak sebelum John bertemu Yoko, ketika Marylin Manson masih seorang udik bertampang culun dari antah berantah Amerika, ketika flanel kotak-kotak hanya dipakai para lumberjack-rednecks alih-alih trademark band-band berlirik murung, ketika Slank masih diperhamba bandana, ketika San Fransisco adalah ibukota para hippies, ketika Sex Pistols mengajak semua orang untuk tidak mempercayai mereka yang ber-ibukota di San Fransisco, ketika Michael Jackson, walau masih negro tapi sudah pedofil, ketika Iwan Fals, begitu tingginya nggélék, ia makan telék, ketika androgini ala Bowie adalah the next big thing dan The Stooges masih berdiri, ketika kesangaran Riot Grrl! beralih jadi ke-seksian Girl Power!, ketika siapapun yang diacu Regina Spektor dalam That Time baru OD satu kali, ketika bicycle pants merah muda Axl belum terlalu gay untuk dipakai, ketika Hunter S. Thompson tengah berbagi acid dengan para personel Jefferson Airplane, ketika...
....Wok The Rock muda–sama hitam, sama ompong, tato lebih sedikit–mendengarkan kaset metal-nya yang kesekian...ketika kemudian sebuah kaset rekaman bermutu buruk, atau sebuah artikel lecek sebuah majalah kemudian membawanya ke subkultur skinhead/punkrock, dan kembali lagi ke ruang pamer tempat rak itu terdisplay?
Biarlah itu ditulis Wok sendiri.
Apapun itu nantinya, Burn Your Idol adalah sarana bagi Wok the Rock untuk bersenang-senang dengan naluri kreatif yang ia miliki. Tidak ada yang lebih mengasyikkan daripada mengkompilasi musik, kemudian mentransendenkannya menjadi sebuah art project, bagi seseorang yang telah demikian besar menginvestasikan waktunya untuk musik dan kebetulan menyukai pencapaian-pencapaian kreatif hasil interaksinya dengan lingkungan seni itu sendiri. Bagi seseorang yang menyukai musik, menguasai sejarahnya, menghabiskan sepanjang waktu bangunnya dengan mendengarkan musik, mengisi sisanya dengan mengunduh lagu (tetapi tidak secanggih itu dalam karir bermusiknya, no offense, Wok), Burn Your Idol adalah sebuah karya yang logis.
***
PS: Untuk berpartisipasi atau mengetahui lebih jauh mengenai Burn Your Idol, kunjungi www.burnyouridol.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H