Ketika Presiden Ben Ali terusir dari Tunisia, saya cuek. Ketika Husni Mubarak didemo habis-habisan saya masih juga acuh tak acuh. Menurut saya, intrik di dalam negeri masih lebih mengasyikan untuk diikuti daripada krisis di kedua negara tersebut. Bahwa kemudian bara yang berkobar itu kemudian menyebar ke negara anggota Arab League lainnya, saya tidak bisa abai lagi. Sesuatu sedang terjadi, dan apapun itu, sangat menarik untuk ditulis.
Viva La Revolucion!
Dari 22 anggota Liga Arab (Arab League), nama yang sedikit terdengar seperti sebuah perkumpulan sepak bola, total ada 17 negara (plus Iran) yang terkena dampak "Arab Spring," gimmick media untuk gelombang revolusi ini. Selain dua negara yang selalu berada dalam situasi genting akut (Palestina dan Irak) dan dua lainnya yang selalu dalam masa penyembuhan dari perang saudara yang panjang (Lebanon dan Somalia), negara-negara seperti Uni Emirat Arab, Saudi Arabia, Maroko dan beberapa negara lain yang entah di bagian mana peta posisinya (Mauritania, Djibouti dll), pun tidak luput dari gelombang demonstrasi. Jika Muamar Khaddafi, major domo Libya yang bertahan dari hegemoni sembilan Presiden Amerika termasuk Obama (sebuah prestasi yang hanya bisa dikalahkan oleh Castro, sebelas) bisa digoyang rakyatnya sendiri, maka tidak ada hal mustahil lagi yang bisa terjadi.
Revolusi selalu meminta korban dan jumlahnya selalu berbanding lurus dengan tingkat kewarasan pihak yang direvolusi. Makin sinting seorang pemimpin negara/diktator, akan makin banyak pula korban yang jatuh. Dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa Muamar Khadaffi adalah orang sinting sejati.
Ya. Libya kini berada dalam suatu situasi yang sangat pas bagi Stallone untuk inspirasi plot Rambo V. Jika tidak ada tindakan istimewa diambil, perang saudara skala penuh yang sebelumnya pernah mencabik-cabik Lebanon dan Somalia hanyalah masalah waktu sebelum terjadi di Libya.
Motif dan Ke Depan-nya
Secara dipukul rata, faktor ekonomi adalah penyebab utama. Inflasi dan ketidak-sediaan lapangan kerja (mungkin akibat resesi global) ketika digabungkan dengan masa kekuasaan yang lama adalah kombinasi mematikan bagi setiap pemimpin negara (ingat Suharto?), disusul dengan ketidak-adilan dan sistem pemerintahan yang represif.
Terus terang, saya kurang tertarik dengan bagian ini. Revolusi tidak butuh motif, bahkan ketika motif itu sendiri tersedia dalam jumlah banyak. Bagi saya, rasa bosan karena dipimpin orang yang sama selama puluhan tahun sudah menjadi motif yang cukup untuk mengibarkan revolusi. Dan kadang dua orang cukup untuk mengibarkan revolusi, seperti yang terjadi di Mesir.
Khaled Saeed dan Wael Ghonim adalah dua nama yang tanpa mereka revolusi Mesir mustahil berkibar. Khaled Saeed adalah seorang pemuda yang kebetulan berada di tempat dan waktu yang salah: Dihajar sampai mati oleh reserse Mesir entah karena alasan apa. Foto post-mortem dan kasusnya kemudian menjadi sensasi di dunia maya, thanks to Wael Ghonim, Head Marketing regional Google yang khusus membuat Facebook Fan Page mengenai kasus tersebut. Wael Ghonim kemudian diculik dan disiksa (oleh otoritas Mesir, bukan oleh Google) karena membuat Facebook Fan Page yang dimaksud. Semua itu+common sense= Revolusi.
Yang lebih menarik buat saya adalah: What's next? Setelah revolusi rampung lalu apa? Setelah Mubarak lengser siapa yang akan naik ke tampuk pimpinan Mesir? Setelah tentara dan milisi oposisi di Libya menang, lalu apa? Begitu juga jika misalnya kaum Syiah berhasil melengserkan hegemoni Sunni di Bahrain. Apa? Careful of what you wish for. Ini adalah titik terpenting dan justru di titik inilah biasanya anti-klimaks terjadi. Saya rasa semua demonstran di tahun 1998 sepakat dengan kalimat barusan. Toh mereka tidak sekedar menggulingkan Suharto hanya untuk digantikan oleh... BJ Habibie. An anti-climactic, major turn-off. No offense, Pak Habibie, terlepas dari ketidak setujuan saya dengan banyak hasil kepemimpinan anda, bahkan jika anda adalah pemimpin yang baik, saya tetap tidak bisa menerima dipimpin oleh presiden yang amat sangat culun tampangnya.
Vox Populi, Vox Dei