Mohon tunggu...
Dion Wicaksono
Dion Wicaksono Mohon Tunggu... -

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Arab's Democracy

2 April 2011   01:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:12 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara rakyat, suara Tuhan. Titah sudah dijatuhkan, "Anda harus turun!" Masalahnya, maukan pemimpin mereka mendengar? Mendengar itu Ben Ali memilih kabur, Mubarak mengulur-ulur waktu sebelum akhirnya mundur sementara pemegang status quo negara-negara lain buru-buru mengumumkan bahwa mereka tidak akan mencalonkan diri lagi pada pemilu berikutnya. Si Sinting Khaddafi tentu saja tidak. Bagi seseorang yang membual dirinya adalah [sic] "Pemimpin tertinggi negara-negara Arab, Raja Diraja Afrika dan Imam tertinggi Umat Muslim," mendengar kemauan rakyatnya adalah hal terakhir yang akan dilakukan toh jika itu berarti ia harus meng-all hell break lose-kan negaranya.

"We use Facebook to schedule the protests, Twitter to coordinate, and YouTube to tell the world." ujar seorang aktivis Mesir di akun Twitter-nya. Bahkan "Suara Tuhan" tidak bisa menolak kedahsyatan situs jejaring sosial. Jika benar para demonstran di negara-negara Arab dan Afrika Utara secara kolektif akan dianugerahi Nobel Perdamaian 2011 sebagaimana tengah diwacanakan, maka pendapat saya, proper thanks perlu diberikan pada Facebook, Twitter dan Google (lewat YouTube) karena, tanpa mereka, tidak akan ada perubahan situasi geopolitik Timur Tengah dan Afrika Utara.

Teori Konspirasi

Sebuah pergerakan yang jujur sekalipun tidak bisa melepaskan diri dari para oportunis yang mendompleng untuk tujuannya sendiri. Dari sekian banyak pihak, Israel jelas punya motif. Saya kira tidak ada negara lain yang lebih senang melihat negara-negara Arab ter-disintegrasi daripada Israel. Tapi itu hanyalah perspektif di permukaan. Kenyataannya, Israel terlihat sama terkejutnya dengan para pemimpin yang direvolusi itu sendiri. Buat saya jelas. Sebelum Israel bisa bertepuk tangan dan bersuit-suit senang, mereka harus merasa pasti bahwa siapapun yang kemudian memegang pemerintahan negara-negara yang dilanda demonstarsi adalah dari pihak-pihak yang: 1) tidak akan mengusik keberadaan mereka (negara Israel) lebih dari para pendahulunya, 2) peduli setan dengan Palestina, persis seperti pendahulunya.

Jika saya salah, dan Israel terbukti sebagai pihak yang ikut bermain dalam demokrasi ala Arab ini, maka bisa dipastikan, bahwa mereka tengah melakukan gambling 1:1 yang mana hasilnya bisa saja lebih merugikan mereka sendiri, which is so unlike them. Di fase ini, mengatakan bahwa Israel terlibat adalah sama dengan mengatakan Khaddafi adalah Elvis.

Akhir Sebuah Era (Dan Tulisan Ini)

Dengan pengimplementasian konsep rakyat kuasa di Timur Tengah dan Afrika Utara, berakhir sudah pola penumbangan rezim oleh rezim lain, yang lazim terjadi di sana. Paling tidak, begitulah cara Mubarak dan Khaddafi sampai ke tahtanya masing-masing. Dunia boleh senang terhadap perubahan ini, tapi sedikit dosis kecurigaan perlu dipertahankan. Bagaimanapun keseimbangan geopolitik di sana telah berubah dan kekosongan yang tercipta di sana-sini siap dieksploitasi menjadi sumber masalah baru. Sampai hal itu terjadi, dan karena saya juga sudah malas meneruskan tulisan ini, maka cukuplah, sebagai penutup, untuk mengatakan:

Sic semper tyrannis!

*) Tulisan ini dibuat awal Maret 2011, sebelum perkembangan yang sekarang (terutama di Libya). Harap maklum, sekedar mem-post ulang di sini setelah sebelumnya saya post di note FB, saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun