Mohon tunggu...
Dion Ginanto
Dion Ginanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru, Peneliti, Penulis, dan Pengamat Pendidikan

Dion Ginanto received his undergraduate degree in TESOL (Teaching English as a Second Language) from Jambi University. He was awarded “MAWAPRESNAS” (the best student award by the Ministry of Education and Culture) in 2006. He was also an AIYEP-er 2007/2008 (Australia Indonesia Youth Exchange Program). In 2009, he joined to the short course training of the KAPLAN TKT program in New Zealand. Currently, he is doing his master at Michigan State University (MA, K-12 Educational Administration). He has published his first book entitled: “Jadi Pendidik Kreatif dan Inspiratif: Cara Mengobati 10 Penyakit Profesional. He works at SMA N 1 Batanghari, Jambi, as a teacher. He also teaches at Islamic State University Jambi, and IAIN Batanghari Jambi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kurikulum Merdeka, Merdeka dari Kriteria Ketuntasan Minimal

19 Februari 2022   12:52 Diperbarui: 20 Februari 2022   07:31 7772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2. KKM Menggerogoti Idealisme 

"Ya sudah, apa boleh buat, kita naikkan saja jadi 75." Begitulah kalimat-kalimat yang sering bermunculan ketika rapat kenaikan kelas. Sejatinya guru sudah memberikan nilai sesuai dengan hasil yang dicapai oleh siswa tertentu.

Tetapi pada rapat kenaikan kelas, atas pertimbangan tertentu maka angka rendah tersebut disepakati untuk dikatrol. Untuk diketahui, jika ada empat mata pelajaran yang tidak tuntas atau di bawah nilai KKM, maka siswa tersebut tidak dapat naik kelas.

Memang dilematis urusan KKM ini. Pada beberapa kasus, sekolah memaksakan diri untuk mematok nilai KKM yang tinggi untuk gengsi dan prestise. Padahal dari segi resources, intake, infrastruktur, dan guru belum begitu mendukung. Alasan utama tentu untuk nama baik sekolah, dan untuk membantu nilai agar mencukupi penghitungan kelulusan di akhir jenjang pendidikan.

3. KKM Menciptakan Kebanggan Semu 

Siswa, orang tua, dan guru terkesan bangga dengan angka-angka raport siswa tinggi. Sangat berbeda pada era pendidikan dahulu, di mana nilai raport lebih bervariasi karena ada warna merahnya. Namun sekarang, sangat jarang dijumpai nilai rapor yang berangka 50, bahkan 60 sekalipun.

Nilai KKM yang terkesan dipaksakan oleh tingkat satuan pendidikan tentu berpengaruh buruk bagi proses belajar mengajar. Guru tidak memperoleh kemerdekaan mengajar karena harus mengejar target KKM dengan berbagai cara.

Siswapun merasa terbebani, karena belajar tidak mendapatkan dukungan untuk penguasaan kompetensi yang menjadi hak mereka. Terkadang siswa juga tidak memahami apa manfaat yang mereka pelajari. Mereka mengejar konten, bukan mengejar kompetensi.

Memang betul di satu sisi, orang tua dan siswa menjadi bangga dengan nilai-nilai pada raport mereka. Namun di sisi lain, angka-angka yang mereka dapatkan hanyalah semu, karena tidak merepresentasikan penguasaan konten yang mereka pelajari.

Lalu Bagaimana? 

Dari beberapa alasan di atas, maka sudah saatnya kita mengatakan sayonara untuk KKM. Jika selama ini satuan pendidikan cenderung lebih mengutamakan assessment of learning (asesmen yang dilakukan pada akhir semester) melalui ujian akhir atau ujian tengah semester. Ke depan assessment as learning (penilaian sesaat setelah pelajaran selesai) dan assessment for learning (asesmen dalam bentuk penilaian ulang, perbaikan nilai, atau remedial) harus juga menjadi prioritas utama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun