Mohon tunggu...
Dion Ginanto
Dion Ginanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru, Peneliti, Penulis, dan Pengamat Pendidikan

Dion Ginanto received his undergraduate degree in TESOL (Teaching English as a Second Language) from Jambi University. He was awarded “MAWAPRESNAS” (the best student award by the Ministry of Education and Culture) in 2006. He was also an AIYEP-er 2007/2008 (Australia Indonesia Youth Exchange Program). In 2009, he joined to the short course training of the KAPLAN TKT program in New Zealand. Currently, he is doing his master at Michigan State University (MA, K-12 Educational Administration). He has published his first book entitled: “Jadi Pendidik Kreatif dan Inspiratif: Cara Mengobati 10 Penyakit Profesional. He works at SMA N 1 Batanghari, Jambi, as a teacher. He also teaches at Islamic State University Jambi, and IAIN Batanghari Jambi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Belajar: Apakah Benar Sudah Merdeka? (Pelajaran dari Suara Pelajar)

18 Agustus 2020   07:51 Diperbarui: 18 Agustus 2020   07:43 1836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"...kendala jaringan internet, karna tidak semua anak tinggal di tempat yang ada jaringan internet yang bagus. Ketiga, tidak semua anak memiliki hp dan kuota." (Doni, nama samaran). Tidak sedikit siswa kami yang mengembalikan survey mengeluhkan banyaknya biaya yang harus mereka keluarkan untuk sekedar mengikuti kelas online. 

Bukan hanya itu, sudah harganya mahal, sinyal internet sering pula hilang timbul.  Setiap hari, Senin s.d Jumat mereka harus "On" dari pukul 7.30 s.d pukul 12.00, tentu menggunakan aplikasi yang bervariasi mulai dari WhastApp, Youtube, Google Classroom, Google Meet, Quiziz, Ruang Guru, Zoom, dsb. Tentu, pulsa yang dibutuhkan tidaklah sedikit.

Belum lagi di sore dan malam hari, siswa dituntut untuk aktif mencari sumber referensi yang juga menggunakan pulsa internet. Kebijakan pusat baru sekedar memberikan kebebasan dalam menggunakan dana BOS untuk PJJ. Namun, dari berbagai informasi yang saya peroleh dari media masa dan sosial media, dana BOS sudah terkuras untuk biaya operasional sekolah dan gaji guru. 

Andaipun uang itu harus dibagi pada siswa dan guru, pasti tidak akan mencukupi dan malah akan memunculkan polemik dikemudian hari. Sebelum pemerintah mampu menggandeng BUMN telekomunikasi untuk memberikan diskon khusus untuk guru dan siswa selama PJJ, maka kemerdekaan dalam merdeka belajar akan sulit diwujudkan.

Tugas menumpuk, kadang tidak dikoreksi

Jasmine (nama samara) menuliskan bahwa 90% pembelajaran online adalah berbentuk tugas, sementara hanya 10% saja guru yang mengajar dengan membuat materi yang interaktif. Parahnya lagi, banyak siswa yang mengungkapkan bahwa guru hanya sekedar memberikan tugas tanpa mengembalikan feedback kepada siswa. 

Bayangkan jika di suatu sekolah, setiap siswa mempunyai 14 mata pelajaran, dan setiap mata pelajaran memberikan tugas kepada siswa; maka dapat kita bayangkan betapa tertekannya siswa-siswa kita. Bahkan saya sering mendengar keluhan dari siswa bahwa ada beberapa oknum guru, baru pertemuan pertama, langsung memberikan tugas/PR. 

Padahal mereka belum berdiskusi tentang silabus dan topik pelajaran. Tentu hasil survey dari siswa yang mayoritas mengeluhkan pembelajaran daring tidak efektif dikarenakan guru hanya memberikan tugas, dapat menjadi cambuk tersendiri bagi kami para guru. Tentu, juga koreksi dan masukan untuk program merdeka belajar.

Pembelajaran yang Non-Student Centered

"Kendala dari belajar online menurut saya yaitu kurangnya pembelajaran tatap muka jarak jauh, yang sebenarnya sangat membantu untuk dapat mempelajari lebih dalam lagi tentang materi tersebut" (Sari, nama samara). 

Pembelajaran satu arah dengan menggunakan WA atau google classroom dengan guru memberikan ringkasan materi, kemudian memberikan tugas terkesan kembali pada pengajaran konvensional yang berpusat pada guru. Padahal generasi milenial/generasi Z yang hidup di abad 21 membutuhkan kecakapan hidup yang kritis, inovatif, dan kolaboratif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun