Ada juga desas desus bahwa sebaiknya guru honorer tidak mendapatkan gaji dari iuran komite, agar harkat dan martabat mereka lebih terangkat. Pasalnya, sempat terdengar dari beberapa guru; ada oknum siswa dan oknum wali murid yang berkata "tuh, guru bisa beli baju baru karna kami yang menggaji."
Saya pun shock, sebegitu rendahnya jabatan seorang guru honorer di sekolah negeri yang bergantung pada gaji dari wali murid dan siswa. Di samping itu, masyarakat sudah terlanjur termakan janji-janji kampanye kepala daerah yang selalu memberikan rayuan manis pendidikan gratis.
Akibatnya, ketika ada iuran-iuran komite, atau sumbangan dari orang tua, yang seharusnya menurut Undang-undang adalah sah, akan selalu mendapat cibiran, terutama dari oknum LSM nakal dan oknum wartawan gadungan.
Oleh karena itu, Mas Menteri harus turun tangan dan melakukan dialog dengan guru-guru honorer di daerah. Karena, pasti mas Menteri tidak akan tega dan akan sangat meresa bersalah ketika mengetahui ada guru yang hampir empat bulan belum menerima gaji.
Mas Menteri, peruntukan dana BOS yang dapat diambil maksimal 50% ini tentu akan menimbulkan kebingungan tersendiri. Karena, hal ini akan berimbas pada pemotongan kegiatan-kegiatan Profesional Development guru, kegiatan pembibitan dan pengembangan minat dan bakat siswa, serta dana operasiolal sekolah.
Dari Dana Bos yang terdahulu saja masih dirasa kurang, kali ini diambil maksimal 50% untuk pembayaran gaji guru; niscaya, kegiatan positif yang dapat menunjang peningkatan kualitas guru, tenaga pendidik, dan SDM bangsa akan terancam mandeg.
Mas Menteri, saya tidak sepenuhnya menyalahkan ide untuk pemangkasan tenaga honorer. Karena APBN kita untuk gaji pegawai sangat membebani.
Namun, bukankah ketika kita menutup keran tenaga honorer; kita juga harus menutup atau memberhentikan sementara penerimaan mahasiswa baru di kampus FKIP seluruh Indonesia?
Trend di negara kita masiswa FKIP semakin tahun semakin bertambah, namun peluang untuk menjadi guru sangatlah sulit. Kini, mencuat isu ditengah-tengah masyarakat, bahwa guru honorer harus dibatasi dan bahkan dipangkas.
Dari Laman SekolahDasar.net, Mantan Mendikbud, Bapak Muhadjir Effendy melaporkan setiap tahun LPTK (Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan) meluluskan 350 ribu calon guru.
Sementara yang dapat terserap menjadi guru adalah maksimal 150 ribu. Sehingga ada kelebihan 200 ribu calon guru yang tidak dapat terserap. Lalu dikemanakan para lulusan professional ini? Jika menjadi tenaga honorer tak memungkinkan lagi, lalu pekerjaan apa yang cocok untuk mereka?