Mohon tunggu...
Dion Ginanto
Dion Ginanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru, Peneliti, Penulis, dan Pengamat Pendidikan

Dion Ginanto received his undergraduate degree in TESOL (Teaching English as a Second Language) from Jambi University. He was awarded “MAWAPRESNAS” (the best student award by the Ministry of Education and Culture) in 2006. He was also an AIYEP-er 2007/2008 (Australia Indonesia Youth Exchange Program). In 2009, he joined to the short course training of the KAPLAN TKT program in New Zealand. Currently, he is doing his master at Michigan State University (MA, K-12 Educational Administration). He has published his first book entitled: “Jadi Pendidik Kreatif dan Inspiratif: Cara Mengobati 10 Penyakit Profesional. He works at SMA N 1 Batanghari, Jambi, as a teacher. He also teaches at Islamic State University Jambi, and IAIN Batanghari Jambi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Diskriminasi Pendidikan atas Nama Agama

22 Februari 2019   10:32 Diperbarui: 21 Oktober 2020   22:06 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya tidak salah, namun privilege terkadang disalah gunakan. Sehingga timbul kesan diskriminasi terhadap siswa Muslim terhadap Non-Muslim, atau Non-Muslim terhadap Muslim. Begitu juga dengan yang di Bali, atas nama keseragaman, siswi disarankan untuk tidak mengenakan hijab. Padahal, mengenakan hijab adalah bagian dari praktek ibadah umat Islam.

Bukankah dasar negara kita adalah PANCASILA. Bahwa setiap warga negara harus mendapatkan keadilan sosial. Diskriminasi atas nama agama jika dibiarkan akan menjadi bongkahan es yang lama kelamaan akan membesar dan membesar yang akan membahayakan persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. 

Apalagi yang mendapat perlakuan tidak sama adalah generasi muda yang kelak akan memegang estafet pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia. Lantas, akankah mereka dapat memimpin dengan adil, jika di dalam memori mereka tertanam suatu praktek kesenjangan yang tidak akan pernah hilang dari memori mereka.

Lalu masih perlukah siswa SMA berdoa di pagi hari dengan suara keras seperti siswa Sekolah Dasar, padahal sudah barang tentu seluruh siswa hafal dengan surat Al-fatihah? Atau haruskah membaca doa pada saat upacara bendera dengan bahasa Arab tanpa translasi bahasa Indonesia? 

Kemudian, tidakkah pemerintah peka untuk juga mengangkat guru Agama Non-Muslim, setidaknya satu guru di satu kabupaten? Atau haruskah sekolah melarang siswa memakai jilbab demi keseragaman? Jika Bhineka Tunggal Ika masih menjadi motto pemersatu Bangsa, haruskah dengan mengatas namakan agama kita perlakukan beda generasi muda Indonesia?

Pendidikan karakter hendaknya mencakup pada pemberian hak yang sama pada seluruh entitas di sekolah. Mayoritas tak perlu melulu menuntut privilege yang lebih. Sebagai mayoritas; guru, kepala sekolah, dan siswa harus bahu membahu agar siswa minoritas tidak merasa ditinggalkan. 

Sebagai mayoritas guru dan siswa harus dapat bahu membahu agar hak minoritas terpenuhi. Revolusi mental hendakanya bukan hanya sekedar retorika, namun harus dapat diejawantahkan dalam kehidupan terutama pada kehidupan sekolah yang dinamis. 

Hal ini penting, agar bola salju diskiriminasi atas nama agama tak lagi membesar dan mengoyak persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Terakhir, siswa berhak mendapat pengajaran Agama dari guru yang se-Agama dengan mereka. Sebagaimana yang disebutkan oleh Parker (2010), bahwa harus ada guru Muslim untuk siswa Muslim, guru Hindu untuk siswa Hindu, guru Katolik untuk siswa Katolik, dll.

Telah dimuat di Koran Lokal SR28JambiNews

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun