Sebenarnya tidak salah, namun privilege terkadang disalah gunakan. Sehingga timbul kesan diskriminasi terhadap siswa Muslim terhadap Non-Muslim, atau Non-Muslim terhadap Muslim. Begitu juga dengan yang di Bali, atas nama keseragaman, siswi disarankan untuk tidak mengenakan hijab. Padahal, mengenakan hijab adalah bagian dari praktek ibadah umat Islam.
Bukankah dasar negara kita adalah PANCASILA. Bahwa setiap warga negara harus mendapatkan keadilan sosial. Diskriminasi atas nama agama jika dibiarkan akan menjadi bongkahan es yang lama kelamaan akan membesar dan membesar yang akan membahayakan persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia.
Apalagi yang mendapat perlakuan tidak sama adalah generasi muda yang kelak akan memegang estafet pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia. Lantas, akankah mereka dapat memimpin dengan adil, jika di dalam memori mereka tertanam suatu praktek kesenjangan yang tidak akan pernah hilang dari memori mereka.
Lalu masih perlukah siswa SMA berdoa di pagi hari dengan suara keras seperti siswa Sekolah Dasar, padahal sudah barang tentu seluruh siswa hafal dengan surat Al-fatihah? Atau haruskah membaca doa pada saat upacara bendera dengan bahasa Arab tanpa translasi bahasa Indonesia?
Kemudian, tidakkah pemerintah peka untuk juga mengangkat guru Agama Non-Muslim, setidaknya satu guru di satu kabupaten? Atau haruskah sekolah melarang siswa memakai jilbab demi keseragaman? Jika Bhineka Tunggal Ika masih menjadi motto pemersatu Bangsa, haruskah dengan mengatas namakan agama kita perlakukan beda generasi muda Indonesia?
Pendidikan karakter hendaknya mencakup pada pemberian hak yang sama pada seluruh entitas di sekolah. Mayoritas tak perlu melulu menuntut privilege yang lebih. Sebagai mayoritas; guru, kepala sekolah, dan siswa harus bahu membahu agar siswa minoritas tidak merasa ditinggalkan.
Sebagai mayoritas guru dan siswa harus dapat bahu membahu agar hak minoritas terpenuhi. Revolusi mental hendakanya bukan hanya sekedar retorika, namun harus dapat diejawantahkan dalam kehidupan terutama pada kehidupan sekolah yang dinamis.
Hal ini penting, agar bola salju diskiriminasi atas nama agama tak lagi membesar dan mengoyak persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Terakhir, siswa berhak mendapat pengajaran Agama dari guru yang se-Agama dengan mereka. Sebagaimana yang disebutkan oleh Parker (2010), bahwa harus ada guru Muslim untuk siswa Muslim, guru Hindu untuk siswa Hindu, guru Katolik untuk siswa Katolik, dll.
Telah dimuat di Koran Lokal SR28JambiNews
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H