Tentu ini suatu terobosan yang apik, terobosan yang luar biasa meski sebenarnya tuntutan honor K2 yang menuntut diangkat sebagai PNS sesuai janji-janji pemerintah belum dapat diwujudkan. PPPK tentu pantut diapresiasi, karena setidaknya kesejahteraan guru dapat terbantu. Paling tidak, jurang gaji antara guru pagawai negeri dan guru non-pegawai negeri akan sedikit terpangkas.
Namun ternyata, seiring berjalannya waktu, PPPK menuai perlawanan dari pemerintah daerah. Perseteruan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat kembali terjadi. Setelah beberapa bulan yang lalu kita disuguhkan perseteruan tentang gaji 14 untuk PNS, kini kita kembali dipaparkan perseteruan tentang pengangkatan guru PPPK.
Perlawanan pemerintah daerah ini bukan tanpa alasan, karena pemerintah pusat terkesan melempar batu sembunyi tangan. Ibarat peribahasa awak yang payak membelah ruyung, orang lain yang beroleh sagunya.
Pemerintah pusat dalam hal ini telah membuat suatu keputusan yang memberatkan daerah, namun tanpa melibatkan daerah. Rakyat sudah terlanjur tahu. Berita telah tersebat ke mana-mana. Rakyat terlanjur memuji pemerintah, namun ternyata pemerintah pusat hanya sekedar dalam tataran membuat kebijakan.
Namun pelaksana dan pemikul beban kebijakan tersebut adalah pemerintah daerah yang tak tahu menahu, alih-alih dilibatkan dalam pembuatan kebijakan tersebut. Permitah kota Jambi, kabupaten Batanghari, serta banyak kabupaten/kota di Indonesia, secara terbuka memberikan perlawanan apabila gaji guru PPPK ini dibebankan pada anggaran daerah.
Polemik PPPK hingga saat ini belum menemukan titik temu. Pemerintah daerah tentunya tidak akan bersedia memberikan APBD yang telah disahkan. Akan sangat sulit mengkotak-katik anggaran yang telah berjalan. Itupun APDB mereka selama ini telah dianggarkan untuk mensukseskan program-program pemerintah pusat, seperti 5% untuk BPJS kesehatan, 10% untuk Alokasi Dana Desa, dan 25% untuk anggaran infrastruktur (Harian Jambione, 28 Januari 2019).
Tentu dari APBD ini yang mendapat kredit adalah pemerintah pusat, namun yang bonyok adalah pemerintah daerah. Kalau ditambah lagi dengan PPPK tentu PEMDA akan semakin susah bernafas. Program-program daerah yang telah disusun oleh kepala deaerah terancam tidak terlaksana.
Lalu bagaiamana menyikapi hal ini? Sebagai pengamat dan praktisi pendidikan, penulis mempunyai beberapa solusi:
- PPPK harus bersumber dari APBN. Hal ini dikarenakan pemerintah sejak awal tidak melibatkan pemeritah daerah dalam pengambilan kebijakan ini, maka pemerintah pusat harus bertanggungjawab dengan apa yang telah mereka putuskan. Pemerinah daerah sudah terlalu banyak mensuport pelaksanaan program-program pemerintah pusat.
- Kembalikan pengelolaan guru pada pemerintah pusat, seperti halnya di era orde baru. Hal ini dikarenakan, Indonesia tidak sedang kekurangan guru. Yang terjadi adalah Indonesia sedang terjadi ketidak merataan guru. Del Granado et al (2007) menyebutkan apabila guru dapat didistribusikan dengan rata, Indonesia akan menjadi satu dari negara dunia dengan perbandingan siswa/guru yang paling ideal yakni 1:16. Atau dengan kata lain satu guru mengajar 16 siswa.
Tapi sekali lagi, karena distribusi guru saat ini dikelola oleh pemerintah daerah, maka sistem pemerataan guru tak dapat diatur secara sitemik dan tersentral. Guru dengan sangat mudahnya mengajukan pindah tugas karena kenal dekat dengan pejabat daerah. Akibatnya, guru menumpuk di kota, sementara sekolah di pelosok kekurangan guru.
- Perguruan Tinggi dalam hal ini Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan diharapkan tak mengobral kursi calon mahasiswa baru dengan begitu mudahnya. Batasi pelamar, naikkan passing grade, sehingga input dari calon guru adalah mereka yang benar-benar mempunyai tekad tinggi untuk menjadi pengajar dan pendidik.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!