Mohon tunggu...
Didin Zainudin
Didin Zainudin Mohon Tunggu... Freelancer - Didin manusia biasa yang maunya berkarya yang gak biasa.

mencoba memberi manfaat dan inspirasi bagi kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Cerita Haji Pandemi

1 November 2023   21:51 Diperbarui: 1 November 2023   22:00 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Minggu berikutnya kita akan ke Arafah. Masih sekitar 6 hari lagi. Jamaah bebas melakukan ibadah di Haram atau di hotel atau di sekitar hotel. Di dalam hotel di lantai S ada masjid/mushola. Sementara di seberang hotel juga ada masjid. Jamaahnya orang Kazakstan dan Nigeria (Afrika). Kebetulan masjidnya, memang dekat dengan hotel kedua negara tersebut. Jamaah kalo mau setiap hari ke Harom naik bis Sholawat juga bisa. Bis beroperasi hampir 24 jam. sehari menjelang keberangkatan ke Arafah, jamaah haji diminta tidak ke masjidil harom dulu supaya tidak capek. Ini juga karena bis sholawat sudah tidak beroperasi (libur). Namun kami meski tak ada bis, kami tetap ingin ke Harom. Akhirnya kami bertiga naik taksi. 5 riyal per orang.  Taksi berhenti kira-kira 800 m sebelum Harom. Karena memang dilarang masuk. Kita lanjutkan dengan jalan kaki. Meski banyak bis yang tidak beroperasi tapi Masjidil Haram tetap ramai. 

Arafah aku datang

Pagi hari jam 8 an jamaah haji dijemput, untuk diantar ke Arafah (kalo gak salah tanggal 7 Juli). Kita tiba di Arafah masih jam 9 an. Wukufnya masih keesokan harinya. Sengaja berangkat sehari sebelumnya, supaya jangan terjadi penumpukan traffic, yang dalam waktu yang bersamaan datang jutaan manusia dari berbagai sudut Arafah. Jamaah langsung masuk ke tenda yang sudah disediakan. Satu tenda menampung sekitar 160 orang. Wukuf itu artinya berdiam diri. Disini memang kegiatan kita hanya berdoa, dan dizikir.

Tiba waktu wukuf, sesudah sholat dhuhur, ada khotbah Arafah. Mendengarkan ceramah. Sore setelah waktu ashar hingga menjelang maghrib, kita berdoa di luar tenda, atau di tanah terbuka. Memohon ampun, berdoa atas hajat kita, berdzikir, sholawat, berdoa dan berdoa.

Kerikil yang gedean.

Malam hari jam 10 an kami berangkat ke Muzdalifah dengan bis besar. Rombongan haji di drop di sebuah lapangan terbuka yang sangat luas. Jarak antara Arafah ke Muzdalifah mungkin sekitar 20 - 30 menit dengan bis. Turun dari bis kita diberi kantong kecil yang berisi batu kerikil. Ini yang nanti akan dipakai untuk melempar Jumroh. Di Muzdalifah kita bermalam (mabit), untuk keesokannya berangkat ke Mina. Batu di dalam kantong ternyata terlalu kecil. Kami seleksi dulu, mana yang bisa dipakai mana yang tidak. Tapi akhirnya kami memutuskan untuk mencari kerikil yang lain yang banyak bertebaran di sekitar Muzdalifah. Di dekat toilet juga banyak. Kami kumpulkan kerikil agak lebih besar (sebesar ujung jari) ke dalam botol bekas air mineral. Kerikil yang terlalu kecil apalagi dengan dengan berat yang ringan, agak mengkhawatirkan kalo buat melempar jumroh, gak akan sampai atau mengenai batu jamarotnya. Bisa-bisa malah melayang jatuh. Jadi saya bela-belain nyari kerikil yang agak besaran. Sebagian jamaah memilih istirahat dan tidur di lapangan terbuka. Muzdalifah kini kondisinya terang benderang. Jadi gak perlu bawa senter.

Jam 2 dini hari, kami dijemput bis menuju Mina. 1 bis menampung kira-kira 40 orang. Kami antri menuju bis. Karena memang dibagi per rombongan. Jarak Muzdalifah ke Mina juga terbilang dekat. Kurang lebih 6 km an. Setelah antri cukup lama, rombongan kita akhirnya kebagian bis. Bis melaju menuju Mina. Tiba di tenda Mina masih sekitar jam 3 an pagi. Kami langsung memasuki tenda yang sudah disediakan. Ada nomor di tenda sesuai dengan rombongan. Jangan nyasar. Karena bentuk tendanya sama semua. Salah satu teman kita memasang bendera berwarna orange menyolok. Supaya memudahkan rombongan mencari tendanya. Ada ribuan tenda di Mina. Bila dilihat  dari atas akan tampak bahwa mina adalah kota seribu tenda. Bisa dilihat kalo kita ke Jamarot (melempar Jumroh) dari lantai 3. 

Hari pertama melempar Jumroh.

Selepas sholat subuh berjamaah di tenda, kami berkumpul di dekat pintu keluar komplek tenda. Buat haji mandiri, cari rombongan sendiri untuk bisa berangkat bareng-bareng menuju Jamarot. Pagi itu pak Syaiful Millah, Ketua Kloter JKS 41, memimpin langsung rombongan kami. Kami berangkat kira-kira jam 5 an pagi. Udara masih cukup nyaman. Jalan kaki menuju Jamarot. Perjalanan melewati 3 terowongan. Untuk rombongan haji Indonesia di arahkan ke lantai 3. Jalannya sangat lebar. Seperti jalan tol. Cuma ini isinya manusia semua. Tidak ada kendaraan. Kalopun ada itu kendaraan petugas. Jumlahnya paling cuma 2. Disini kita tidak bertemu rombongan dari negara lain (non Asean). Sepertinya memang dibedakan lantainya. Setelah berjalan kurang lebih 4 km kami sampai di Jamarot. Kita akan ketemu petunjuk "Big Jamarot" artinya Jumroh Aqobah. Hari pertama kita hanya melempar satu Jumroh (Aqobah). Semua berjalan lancar. Tidak berdesak-desakan. Bahkan kami bisa melempar jumroh, di barisan paling depan. Bissmillahi Allahu Akbar, kami melempar kerikil yang sebelumnya kami kumpulkan dari Muzdalifah. Selesai melempar Jumroh, kami menepi dan berdoa menghadap Jumroh Aqobah. Doa dipimpin pak Syaiful Millah.

Setelah melempar jumroh kami kembali ke tenda masing-masing. Tidak ada kegiatan lain, selain ibadah (sholat, ngaji, dzikir).

Terowongan Mina gelap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun