Menyimak komentar Titi Anggraini, Mawardi Ismail dan Taqwadin, pakar hukum kita tentang banjir qanun (perda) yang terjadi di Aceh, kita membaca isyarat bahwa ada semacam rasa takut yang berkeliaran dalam jiwa masyarakat Aceh selama ini. Sehingga antusias untuk merancang draft qanun terlihat begitu menggebu-gebu. Ini membuktikan bahwa rasa takut yang telah lama ada itu tidak hanya semakin membesar dan meluas bahkan sudah berada pada titik nadir kronis akut.
Qanun pada prinsipnya tidak lebih hanya sebatas pedoman dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Dialam otoriter, di mana keputusan berada pada satu titik, qanun tidak disusun berdasarkan orang ramai. Meski qanun itu sendiri diperuntukkan bagi orang ramai. Tentu beda dengan alam demokrasi, sebuah keputusan baru dapat ditetapkan setelah menerima semua pandangan dari pihak yang akan memakai manfaatnya. Dalam pelaksanaannya nanti pihak penerima amanah penyelenggaraan qanun diwajib menjalankannya sesuai dengan pedoman yang telah disepakati itu.
Sebagai pedoman atau aturan hukum yang telah disepakati, tentu keberadaan sebuah qanun tidak perlu dicemaskan. Karena manusia sebagai makhluk yang memiliki kelemahan dan keterbatasan, pedoman merupakan suar yang dibutuhkan sehingga perjalanan hidup tidak liar dan saling silang. Qanun apabila dijalankan sesuai dengan prinsip bahwa setiap manusia, apakah sebagai pemegang amanah dalam menjalankan qanun maupun sebagai pelaku yang akan mengikuti aturan pada qanun, ikhlas dan bertanggungjawab untuk mematuhi semua aturan yang telah disepakati, tentu saja sebuah qanun dapat menjadi suar yang benar dalam menerangi bahtera kehidupan dalam kebersamaan.
Lalu untuk apa qanun apabila semua pihak, pelaksana qanun dan masyarakat yang diberlakukan qanun, telah menjalankan dengan ikhlas dan bertanggungjawab.Tentu kita perlu meniliknya dari sudut mana. Apabila untuk secara bersama-sama menjalani kehidupan dalam sebuah komunitas atau kelompok, tentu sebuah pedomandan aturan yang telah disepakati oleh masyarakat komunitas itu diperlukan.Tetapi, bila aturan itu akhirnya diingkari oleh salah satu pihak, tentu saja qanun tidak lagi diperlukan. Karena pedoman yang telah disepakati itu telah tidak dipakai lagi sebagai landasan untuk menjalankan kehidupan secara bersama-sama. Demikian halnya apabila sebuah qanun pada akhirnya menjadi penjara, terutama bagi masyarakat yang akan diterapkannya qanun dimaksud.
Realitas mengapa begitu antusiasnya para pihak, terutama aparatur pemerintah dan kelembagaan masyarakat, merancang draft qanun sampai sekianpuluh jumlah hanya untuk satu bidang permasalahan. Menarik menjadi bahan selidik dan renungan kita. Mengapa seakan-akan qanun menjadi sebuah jawaban dalam upaya membangun masyarakat kearah yang lebih baik. Dengan hadirnya UUPA di Aceh, konon akan melahirkan sekitar 92 qanun yang "wajib", semangat untuk melahirkan qanun meski baru berupa draft luar biasa besarannya. Hal ini menjadi kegelisahan tersendiri bagi pakar hukum seperti Mawardi Ismail, Titi Anggraini dan Taqwadin. Pakar hukum kita itu gelisah apabila semua draft qanun itu akhirnya sebuah pekerjaan yang sia-sia belaka.
Sebagai ahli hukum tentu mereka setuju adanya qanun-qanun, karena tidak hanya tuntutan UUPA yang harus dilaksanakan. Tetapi juga sebuah qanun dapat menjadi pedoman dan landasan hukum yang mengikat dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga tujuan pembangunan di Aceh tercapai sebagaimana diharapkan. Namun, apakah banjir draft qanun hanya semata-mata untuk tujuan pencapaian pembangunan masyarakat Aceh? Jawabannya tentu saja ya. Asal saja qanun itu tidak untuk kepentingan para pihak pelaksana dan menjadi kerangkeng bagi masyarakat.
Dari semua opini yang merespon kehadiran draft qanun di Aceh, ada sebuah isyarat yang terbaca dibalik semangat melahirkan draft qanun tersebut. Isyarat itu ialah sudah hilangnya sifat amanah dalam diri setiap orang. Semua orang sudah tidak lagi saling percaya terhadap orang lain. Masyarakat sudah tipis rasa percayanya kepada pemerintah. Sering kita dengar adanya kecurangan-kecurangan dari aparatur pemerintah, ketika melaksanakan tugas dan amanah yang diberikan kepada mereka. Penyelewengan wewenang hampir terjadi disemua sektor. Bahkan yang lebih menakutkan dia sudah meluap kedalam kehidupan masyarakat. Hukum sudah tidak mampu lagi menegakkan kebenaran.
Kenyataan bahwa aparat hukum tidak lagi mampu menegakkan pedang keadilan dan bahkan munculnya berbagai lembaga masyarakat anti korupsi, mengindikasikan bahwa penyelewengan telah terjadi secara sporadis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ini artinya para pemimpin sebagai pemegang amanah sudah tidak lagi amanah. Mereka sudah menjadi pengkhianat dari sebuah kesepakatan. Dan yang lebih memilukan hati bahkan mereka sudah menjadikan pengkhianatan itu sebagai sebuah ideologi atau iman yang wajib dijalankan.
Persoalannya adalah rasa amanah sudah menipis diantara kita. Mengapa itu terjadi? Bisa dikarenakan godaan-godaan material, iman yang menipis, tidak lagi menganggap Tuhan itu sebagai tujuan, danseterusnya. Kalau begitu apa artinya sebuah qanun untuk mencapai tujuan pembangunan bagi masyarakat Aceh? Apakah mungkin orang yang sudah menipis rasa amanah dapat menjalankan amanah sebagaimana diharapkan? Meski kita percaya bahwa masih bisa rasa amanah itu diperkuat dalam jiwa para pemimpin kita. Atau mendelegasikan wewenang secara luas,tidak terkonsentrasi pada satu pihak. Atau kalau sudah terlalu parah menggantinya dengan pemimpin yang lain.
Upaya-upaya seperti itu perlu diterapkan. Namun yang lebih penting membangun rasa saling percaya diantara masyarakat dengan pemerintah, diantara masyarakat itu sendiri, sebuah strategi yang baik bila itu menjadi salah satu upaya meningkatkan rasa amanah. Membangun kesadaran bahwa hidup ini bukanlah tujuan. Membuka ruang batin sehingga menjadi cerah dalam memahami makna sebuah amanah. Membangun rasa tanggungjawab terhadap orang lain itu lebih utama dan mulia. Memiliki cita rasa dan memahami arti sebuah makna sekecil apapun. Bersikap bahwa yang utama itu adalah kewajiban ketimbang hak. Karena kalaupun hak itu ada, bukan berarti sesuatu yang harus dimiliki apalagi memilikinya dengan cara yang salah. Upaya-upaya seperti ini tentu tidak semudah mengatakannya.
Membangun Aceh tentu sasaran utamanya adalah membangun manusia-manusianya yang berakhlak mulia, sebagaimana diatur dan diinginkan dalam Islam. Karena orang-orang Aceh telah meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang wajib diimani, tentu akhlak mulia menjadi target utama bagi setiap pemeluknya. Dengan akhlak mulia, hidup akan menjadi indah, nyaman, mencerahkan, mencerdaskan dan menggairahkan. Dengan akhlak mulia akan melahirkan peradaban yang indah dan mulia pula. Akhlak mulia merupakan tujuan utama hidup setiap manusia. Dan itu telah dimaktubkan dalam Al-Qur'an.
Mengapa Allah SWT mengangkat seorang hamba-Nya yang bernama Muhammad sebagai Rasul hanya untuk memperbaiki akhlak? Mengapa bukan untuk menjadikan manusia-manusianya sebagai orang-orang cerdas, orang-orang kaya, penguasam isalnya? Kalau kita percaya bahwa Allah itu Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dimana manusia adalah makhluk yang lemah, makhluk yang merugi, tentu kita menyadari bahwa akhlak mulia merupakan kunci keberhasilan hidup setiap manusia,dan itu telah dijamin oleh Allah Sang Pencipta. Dan oleh karenanya pula tidak dibenarkan bagi siapapun manusia untuk mencoba mengingkari dan membantah prinsip ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H