Mohon tunggu...
Patricia Dinda
Patricia Dinda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Dipenogoro

sosial

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pentingnya Mengecek Rhesus

25 November 2017   19:33 Diperbarui: 25 November 2017   19:53 1166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sebagian besar wanita di Indonesia rata rata adalah seorang yang marriage oriented. Contoh-contoh hal yang menjadi dambaan banyak wanita adalah menikah, mengandung, melahirkan dan membesarkan anak-anak mereka dengan pasangan. 

Namun kenyataannya, banyak pasangan suami istri yang sangat mengharapkan bisa merasakan fase tersebut, namun faktanya tidak sedikit dari mereka yang harus menerima adanya kasus keguguran yang berulang atau bayi lahir mati atau bayi lahir tidak normal. Factor-faktor  keguguran berulang dan bayi lahir mati terhitung cukup banyak, salah satu faktornya ialah adanya ketidak cocokan rhesus antara ibu dan bayinya (rhesus inkompatibilitas).

Eritroblastosis fetalis merupakan salah satu factor tersebut. Yang berdefinisikan kelainan berupa hemolisis ( yaitu pecahnya sel darah merah / eritrosit) pada janin yang akan nampak pada bayi yang baru lahir karena adanya perbedaan rhesus janin dengan ibunya sendiri.

Di dunia medis ini dikenal berbagai cara untuk penggolongan darah. Namun yang biasanya dipakai adalah sistem ABO, dan juga faktor rhesus. Sebagian besar masyarakat Indonesia sudah akrab dengan sistem ABO, yaitu penggolongan darah yang terdiri dari golongan darah A, B, AB dan O. Tapi jika berbicara tentang rhesus, nampaknya masih sedikit sekali masyarakat Indonesia yang memahaminya, walaupun faktanya faktor rhesus merupakan bagian penting dalam penggolongan darah.

Sekarang kita bahas akar masalahnya. Sistem rhesus ini membedakan darah menjadi dua golongan, yaitu golongan darah rhesus positif (+) yang mengandung antigen rhesus (Rh-D) yang menyebabkan reaksi kekebalan dan golongan darah rhesus negative (-) yang tidak mengandung antigen rhesus. 

Orang Asia pada umumnya bergolongan darah rhesus positif, di Indonesia hanya sekitar 0,5 % saja yg bergolongan darah rhesus negatif. Pada orang kulit putih, rhesus negatif hanya dijumpai sekitar 15%, pada orang kulit hitam ada sekitar 8% yang ber-rhesus negative.

Contoh kasus rhesus adalah , apabila ada tranfusi darah dari darah ber-rhesus positif yang diberikan kepada resipien yang ber-rhesus negatif, ketidakcocokan jenis rhesus ini mampu membuat tubuh resipien mengalami pembekuan darah (penggumpalan darah). Hal ini tentu saja tidak membantu keadaan resipien, tapi justru merugikan resipien karena ketidakcocokan ini menyebabkan ginjalnya bekerja dua kali lebih keras guna membersihkan darah yang membeku. 

Hal ini terjadi karena rhesus positif membawa antigen yang membuat rhesus negative membentuk antibody, antibody tersebut akan melawan antigen dengan cara aglutinasi (penggumpalan). Namun apabila ada tranfusi darah dari darah ber-rhesus negative diberikan pada pasien yang ber-rhesus positif maka tidak aka ada pembekuan. Penyebabnya adalah karena rhesus negative tidak membawa antigen apapun kedalam resipien rhesus positif.

Sama seperti eritroblastosis fetalis yang memiliki latar belakang genetika seorang laki-laki yang bergolongan darah rhesus positif menikah dengan wanita yang bergolongan darah rhesus negatif, maka anak mereka memiliki kemungkinan besar bergolongan darah rhesus positif karena faktor rhesus bersifat dominan secera genetika. Perbedaan faktor golongan darah ini  mengakibatkan terbentuknya sistem imun (antibodi) ibu sebagai respon terhadap sel darah bayi yang mengandung suatu antigen.

 Jika antigen rhesus (Rh-D) pada darah rhesus positif masuk ke dalam sirkulasi darah rhesus negatif, maka tubuh dari orang yang mempunyai darah rhesus negatif akan memproduksi antibodi guna melawan antigen dari darah rhesus positif yang masuk. Antibodi merupakan suatu protein yang berkerja aktif menyerang dan menghancurkan sel-sel yang dianggap benda asing (antigen).

Sel pembatas plasenta yang memisahkan sirkulasi darah ibu dan janin memiliki pori-pori yang sangat kecil, maka darah sukar melaluinya, karena ukuran sel darah yang jauh lebih besar. Hal ini mencegah mengalirnya darah ibu ke janin, atau sebaliknya. Namun, karena ukuran antibodi yang lebih kecil, alhasil antibody mampu melewati sel pembatas ini dan memasuki sirkulasi darah bayi, juga melaksanakan tugasnya.

Ibu dan janin sendiri memiliki sirkulasi darah berbeda yang terpisah. Aliran darah akan bertemu dekat dengan plasenta, yang hanya dibataskan satu helai sel yang tipis. Kondisi ini memungkinkan bila terjadi kebocoran kecil darah janin kedalam sirkulasi darah ibu, sehingga darah ibu tercampur sedikit demi sedikit dengan darah janin. Bila seorang ibu dengan rhesus negatif mengandung bayi dengan rhesus positif, maka darah janin yang mengandung antigen-D, masuk ke dalam darah ibu yang tidak mengandung antigen-D. 

Karena perbedaan ini, tubuh ibu mengisyaratkan adanya benda asing yang masuk dalam darah. Tubuh ibu kemudian memproduksi antibodi untuk menghancurkan benda asing yang beredar dalam darah tersebut. Tubuh ibu akan terus menghasilkan antibody sedikit demi sedikit sejumlah antigen bayi yang masuk ke sirkulasi darah ibu. Hal ini akan berhenti apabila bayi telah dilahirkan.

Produksi antibodi ini sama seperti produksi antibodi kebanyakan manusia bila ada zat asing dalam tubuh, seperti misalnya produksi antibodi ketika seseorang diimunisasi cacar. Sehingga sekali antibodi tercipta, maka antibodi ini akan ada di dalam tubuh seumur hidup. Produksi antibodi ini guna melindungi ibu apabila zat asing itu muncul kembali, maka tubuh ibu yang sudah mengingat karateristik antigen tersebut dapat segera menyerang dan menghancurkanya, untuk keselamatan sang ibu sendiri. 

Produksi antibodi ini terhitung cukup lambat, hal ini berbanding lurus dengan pernyataan bahwa masalah ketidak cocokan rhesus ini jarang ditemui pada kehamilan pertama kecuali jika terjadi pada kasus-kasus tertentu. Misalnya ibu sudah mempunyai antibodi yang merupakan efek dari transfusi darah yang mengandung antigen-D sebelumnya. Kalaupun telah terjadi kebocoran darah janin, maka jumlah antibodi tersebut belum terbilang pada taraf cukup untuk membahayakan janin. 

Akibat yang sering terjadi karena kebocoran pada kehamilan pertama terhadap bayi adalah bayi menjadi kuning setelah dilahirkan. Pada kehamilan kedua dan berikutnya, bila ibu kembali mengandung bayi dengan rhesus positif, antibodi yang telah terbentuk akan mengenali darah bayi sebagai zat asing. 

Mereka menjalankan tugasnya dengan menyerang zat tersebut, yang mengakibatkan kerusakan sel darah merah bayi. Hal ini yang sering mengakibatkan keguguran atau kematian janin berulang. Semisal bayi selamat bayi pasti lahir dengan kecacatan. Bagaimana dengan anak ketiga? Sejauh yang saya tahu belum pernah ada janin yang selamat. Karena setelah melalui tahap kehamilan 1 dan 2 pastinya ibu akan memiliki anibody yang berjumlah sangat banyak ditubuhnya. Dan menganggap janin ke-3 sebagai musuh bebuyutannya tidak akan selamat lagi kali ini.

Walaupun tidak selalu masalah ada, akan tetap ada penanganan intensif terhadap kehamilan wanita dengan rhesus negatif. Seorang wanita dengan rhesus negatif pada pemeriksaan kehamilan pertama akan dicek jenis rhesusnya sebagai langkah pertama dan melihat apakah telah tercipta antibody di dalam darahnya. 

Bila belum tercipta antibodi, maka bias dipastikan pada usia kehamilan 28 minggu dan dalam 72 jam setelah persalinan berlangsung janin akan diberikan injeksi anti-D (Rho) immunoglobulin, atau biasa disebut RhoGam. Bila kehamilan tanpa injeksi rhogam mempunyai peluang untuk selamat hanya 5%, Injeksi ini akan mengurangi resiko hingga 1%. Bahkan bila digunakan dengan tepat, bisa mengurangi resiko hingga 0.07% (yang berarti peluang selamat meningkat hingga 99.93%).

Pada kasus keguguran, aborsi dan terminasi pun injeksi ini wajib hukumnya. RhoGam ini akan berkerja menghancurkan eritrosit janin yang beredar dalam darah ibu, sebelum eritrosit itu memicu pembentukan antibodi yang dapat menyerang ke dalam sirkulasi darah janin. Maka janin akan terlindung dari serangan antibody ibu. 

Tidak seperti antibodi yang akan bertahan seumur hidup, RhoGam memiliki dosis yang akan habis dalam beberapa minggu saja, karena itu, ia cukup aman bagi janin. Pada kehamilan-kehamilan berikutnya, dokter akan terus memantau apakah telah terjadi kebocoran darah janin ke dalam sirkulasi darah ibu, untuk mencegah produksi antibodi.

Injeksi RhoGam terus berulang setiap kehamilan. Rhesus Anti-D-immunoglobulin tersedia dalam ampul 2ml yang mengandung 1000 unit. Untuk kehamilan 8-12 minggu 375 unit sudah cukup, tapi untuk kehamilan lebih lanjut, harus diberikan 1000 unit. Karena langkanya kehamilan dengan rhesus negatif, maka hanya apotek tertentu saja yang menyediakan RhoGam ini, biasanya harus dipesan terlebih dahulu minimal 5-7 hari sebelum dibeli.

Injeksi RhoGam tidak lagi diperlukan dalam kasus berikut:

  1. Kehamilan muda dibawah 7 minggu, kecuali pada kasus khusus tertentu.
  2. Janin juga memiliki rhesus negatif, hal ini dipastikan bila ayah janin juga memiliki rhesus negatif.
  3. Tubuh ibu telah memproduksi antibodi.
  4. Ibu pasti tidak akan hamil atau melahirkan lagi.

Bila kadar antibody yang ada dalam tubuh ibu sudah pada taraf tinggi, maka dokter pastinya akan menganjurkan penanganan khusus terhadap janin yang dikandung, yaitu dengan monitoring secara reguler dengan scanner ultrasonografi, guna meninjau masalah pada pernafasan dan peredaran darah, cairan paru-paru, atau pembesaran hati, yang merupakan gejala-gejala penderitaan bayi akibat rendahnya sel darah merah.

Alternative lainnya yang biasanya dilakukan medis adalah dengan melakukan pengecekan amniosentesis dengan berkala guna mengecek kadar anemia pada darah bayi. Pada kasus tertentu, kadang diputuskan untuk melakukan persalinan yang lebih awal, selama usia janin sudah cukup kuat untuk dibesarkan diluar rahim. Tindakan preventive ini akan segera diikuti dengan penggantian darah janin dari donor yang tepat. Hal ini dilancarkan supaya bayi masih bias hidup. Tindakan ini disebut exchange transfusion. 

Darah bayi yang ber-rhesus positif akan diambil pelan-pelan dan sekitar 400 ml darah ber-rhesus negative akan dimasukan melalui infus selama 15 jam atau lebih. Induksi persalinan juga akan dilakukan pada ibu yang belum mempunyai antibodi bila kehamilannya telah lewat dari waktu persalinan yang diperkirakan sebelumnya, untuk mencegah kebocoran yang tak terduga.

Pada kasus yang lebih parah, dimana janin belum cukup kuat untuk dibesarkan diluar rahim ibu, akan dilakukan transfusi darah terhadap janin yang masih dalam kandungan. Biasanya bila usia kandungan belum mencapai 30 minggu. Proses transfusi ini akan dimonitoring secara ketat dengan scanner ultrasonografi dan bisa diulang beberapa kali hingga janin mencapai ukuran dan usia yang cukup kuat untuk diinduksi keluar dari tubuh ibu. 

Setelah bayi lahir, ia akan mendapat beberapa pemerikasaan darah secara berkala guna memantau kadar bilirubin dalam darahnya. Bila diperlukan akan dilakukan phototerapi. Jika kadar bilirubin benar-benar membahayakan akan dilakukan penggantian darah dengan transfusi. Kadar cairan dalam paru-paru dan jantungnya juga akan diawasi dengan ketat, demikian juga dengan kemungkinan anemia.

Guna meminimalisir terjadinya bahaya eritroblastosis fetalis tersebut, lebih baik dilakukan pemantauan sejak dini. Dimulai dengan pengecekan rhesus sejak dini. Apabila terdapat kemungkinan munculnya ketidakcocokan pada golongan darah ibu dan anak, misalnya ibu dengan Rh-negatif dengan suami yang Rh-positif, sebaiknya dilakukan pemantauan berkala antibodi yang terbentuk dalam darah ibu sejak awal kehamilan pertama. 

Bila memungkinkan dapat dilakukan amniosintesis ataupun pengambilan darah janin sehingga golongan darah janin dapat diketahui. USG dapat juga dijadikan cara lain sebagai pemantauan untuk mendeteksi adanya hidrop fetalis. Untuk kehamilan kedua ibu yang janinnya mengalami eritroblastosis fetalis pada kehamilan pertama, sebaiknya melakukan konsultasi dengan dokter sesegera mungkin.

Maka dari itu sangat penting melakukan pengecekan jenis rhesus yang kita miliki, untuk mencegah komplokasi komplokasi yang masih meungkin terjadi. Eritroblastosis mungkin tidak dapat disembuhkan. Namun masih ada banyak cara lain untuk meminimalisir efeknya. Sekian dari saya , semoga artikel saya bisa membantu anda. HAVE A NICE DAY ALL!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun