Bank Mandiri Syariah, BNI Syariah, BRI Syariah, Bank Danamon Syariah … pertumbuhan bank beazaskan Islam seakan susul-menyusul. Pertumbuhan pesat bank syariah akhir-akhir ini sesungguhnya bukanlah hal baru sehingga jika memang bangsa kita mau belajar dari masa lalu maka tidak akan terjebak dalam keterpurukan untuk kedua kalinya.
Seperti diketahui bersama, bangsa Indonesia yang mayoritas muslim dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia ini dalam umurnya mendekati setengah abad ternyata tidak mempunyai bank Islam. Itulah mungkin yang akhirnya melatarbelakangi lahirnya Bank Muamalat Indonesia pada 27 Syawwal 1412 H. Oleh karena itu sejak awal tahun 1990-an di negara ini telah mempunyai sebuah bank yang menerapkan syariah islam itu memperkenalkan system pendanaan berprinsip wadiah (titipan) dan mudharobah (bagi-hasil) serta penanaman dana dengan prinsip jual-beli, bagi-hasil dan sewa.
Sambutan antusias masyarakat tidak terlepas dari kesadaran mereka akan efek riba perbankan komersial yang terlebih dahulu booming dalam memperkenalkan riba. Sementara riba adalah sesuatu yang dilarang dalam Islam. Prinsip-prinsip syariah yang diterapkan bak gayung bersambut, masyarakat yang haus akan nilai Islami dalam praktek perbankan serasa mendapatkan air yang sejuk.
Disisi lain, praktisi perbankan yang berasal dari kalangan ikhwanul muslimin pun seakan dapat angin untuk berkarir. Tidak mengherankan kalau saat pertama dibuka, Bank Muamalat Indonesia banyak menerima karyawan baru lulusan IPB. Bukan karena nepotisme, tetapi di Kampus Rakyat itu usroh-usroh sedemikian berkembang dan dibuktikan bahwa ketika Partai Keadilan berdiri maka aktivis di kampus itulah yang jadi pelopor.
Menurut seorang teman yang bekerja di sana, gajinya sangat fantastis. Karyawan baru bisa dapat 5 kali bank komersil terbesar di negeri ini. Informasi lainnya menyebutkan angka dua kali lipat rekan yang bekerja di perusahaan USA.
"Gaji di Bank Muamalat sama dengan di BI.” Kata teman yang lain, membandingkannya dengan bank yang dikenal menggaji karyawannya cukup tinggi ini.
Ketika biaya operasional besar tentu hal ini harus seiring dengan pendapatan yang tinggi. Namun Bank Muamalat terbukti sangat eksis sehingga pada umurnya yang masih terlalu muda telah mampu mengukuhkan diri menjadi bank devisa. Logikanya, berprestasi baik karena kinerja baik dan seiring juga keuntungan sekalipun pendapatan harus dikurangi dengan pengeluaran yang tidak sedikit untuk operasional.
Peluang pasar, masyarakat muslim di seantero nusantara masih sangat terbuka sementara bank Muamalat Indonesia tidaklah mungkin mengcover semua itu. Tidakmengherankan kalau dalam waktu singkat bertumbuhanlah bank bersyariat Islam lainnya. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) pun bermunculan sampai ke tingkat desa menjemput bola pangsa pasar yang sedang penasaran.
Pertumbuhan BMT sungguh fenomenal, usaha per-bank-an yang sesuai dengan ajaran Islam begitu menarik konsumen. Demi menjalankan syareat agama pula yang menjadi alasan seorang teman menanggalkan status PNS yang ditempuhnya puluhan tahun dan beralih menjadi bankir syariah. Namun demikian, ketika krisis melanda negeri ini ternyata jamur yang tumbuh di musim hujan itu seakan harus musnah.
Pertumbuhannya yang fenomenal harus berakhir tragis. Jutaan konsumen tentu dirugikan baik materiil maupun non-materiil.
Sebenarnya tragedy ini tidaklah harus terjadi kalau memang prinsip-prinsip Islam dijalankan dalam prktek perbankannya. Bukan sebagai kedok semata, dengan kata yang lebih tajam, “mengelabui” masyarakat yang sedang rindu Islam dengan pengetahuan tentang syariat Islam yang terbatas.
Dua pengalaman teman yang saya dengar membenarkan adanya praktek “peng-abu-abuan” ini. Teman pertama seorang PNS yang sangat fanatic dalam menjalankan syareat Islam. Itulah sebabnya dia pun mencari Bank Muamalat sebagai sandaran ketika memerlukan dana. Jarak 50 km ditempuhnya, di Kantor Cabang Cirebon berbagai informasi didapaatnya.
Sebagai pembanding, dia pun bertandang ke beberapa bank syariah yang baru berdiri. Satu kesimpulan yang pasti, “Gaji saya gak cukup mas untuk mencicilnya!”
Tidak perlu tahu berapa yang akan dipinjam tetapi yang mesti dijadikan pertanyaan adalah, “Mengapa teman se-fanatis dia pada akhirnya harus mengambil dana dari bank riba?”
Demikian juga rekan yang lain, pemegang polis asuransi terbesar di dunia yang salah satu programnya berbasis syariah. Dia selalu menyetor sejumlah dana setiap bulan dengan rutin sampai pada akhirnya menjelang dua tahun harus berhenti karena usahanya pailit.
Dana disetornya melalui sebuah bank syariah, untuk kepentingan polis asuransi keluarga besarnya yang juga awalnya menerapkan perjanjian secara Islami.
“Tapi kenapa uang ratusan juta itu harus hangus begitu saja, ya?”
Tentu saja dua kejadian di atas hanyalah sedikit dari banyaknya keluhan lain yang beredar di masyarakat. Kekecewaan mereka terhadap bank komersial yang pada akhirnya harus menjatuhkan diri lagi ke dalam bank ber-riba.
Kejadian di atas menggambarkan bahwa ketika meminjam dari bank syariah maka nasabah terbebani oleh hutang yang ternyata lebih besar daripada bank komersial. Sementara ketika menyimpan maka hasilnya pun tidaklah seimbang atau bahkan untuk kasus teman ini habis tanpa krana.
Tumbuhnya bank syariah akhir-akhir ini pun semestinya menjadi warning bagi semua, agar kejadian masa lalu tidak terulang kembali. Solusinya tentu saja adalah menjalankan bank syariah sebagaimana syariat Islam. Mungkinkah hal ini terjadi? Tanpa aturan yang jelas dan tegas hal ini akan sangat sulit terjadi.
Bank-bank negara mendirikan bank syariah, bak-bank swasta juga melebarkan sayapnya yang berbasiskan Islam. Bahkan sebuah bank yang dari dulu dikenal sebagai gudang pemurtadan (karyawan baru selalu diberi dua pilihan: ikut agama mereka atau keluar dengan membayar berbagai denda untuk proses rekruitmen sampai training) sekarang juga mendirikan unit syariah.
Bank Syariah didirikan bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan bathin masyarakat yang bangga menjadi nasabah sesama muslim. Tidak sekedar memanfaatkan pasar yang gamang, menyenangkan hati muslim Indonesia bahwa di negaranya banyak bank Islam. Bank Syariah tentu didirikan dengan niat mulia, bukan untuk menjadikan Indonesia sebagai Bangsa Riya !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H