Sebuah Tantangan dari Perbatasan Malaysia
a.
Judul Buku
:
REVOLUSI DARI DESA
Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat
b.
Pengarang
:
Dr. YANSEN TP, M. Si
c.
Editor
:
Dodi Mawardi
d.
Penerbit
:
PT Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia
e.
Tahun
:
2014
f.
Tebal
:
xxviii, 180 dan 14 halaman potret
g.
Harga
:
Rp. 54.800,-
h.
ISBN
:
978-602-02-5099-1
Pembukaan
Buku bersampul aneka biru, perpaduan dari biru muda hingga dongker sungguh tidak serasi dengan keangkeran judulnya, Revolusi dari Desa.Pada umumnya buku yang mengandung nama “revolusi” identik dengan warna merah, keberanian untuk meninggalkan zona nyaman.
Tetapi warna itulah yang dipilih Dr. Yansen TP untuk bukunya, revolusi dari kebiasaan yang menunjukkan revolusi dengan warna merah.Tentu boleh juga jika ada yang beranggapan bahwa pemilihan warna sampul ini erat kaitannya dengan warna bendera partai yang membesarkan beliau.
Terlepas dari makna sebenarnya, buku ini merupakan karya nyata Bupati Malinau periode 2011 – 2014, berisi tentang konsep pembangunan yang semula beliau kaji secara teori dan kemudian telah dua tahun diimplementasikan di Bumi Intimung.
Disertasi berjudul Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Desa Tertinggal di Wilayah Perbatasan (Studi Kasus pada Masyarakat Desa Tertinggal di Wilayah Perbatasan Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Timur dengan Serawak, Malaysia) yang telah diimplementasikan secara nyata tentu menjadi kekuatan isi buku ini.Bahkan Penulis menyatakan bahwa buku tersebut sebagai cetak biru dari program pembangunan yang dinamakan Gerakan Desa Membangun (GERDEMA).
Gerakan Desa Membangun (GERDEMA)
Sebagai birokrat yang berhadapan langsung dengan masyarakat, Penulis paham benar tentang konsep pembangunan yang selama ini diterapkan di seluruh nusantara.Berbagai perubahan metode ternyata tidak menghasilkan kerja nyata.
Orde Lama, Orde Baru bahkan setelah masa lalu itu direformasi ternyata tetap saja menjadikan masyarakat sebagai obyek pembangunan.Hal inilah rupanya yang menyebabkan pembangunan di nusantara, khususnya di Kabupaten Malinau tidak juga dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat tidak juga mampu memanfaatkan kesubur-makmuran alam Kabupaten Malinau yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa untuk mensejahterakan diri dan keluarganya.Pengangguran masih tetap tinggi.Angka kemiskinan pun jauh di atas rata-rata nusantara (26 %).
Bahkan pembangunan yang selama ini berlangsung cenderung meningkatkan kesenjangan, yang kaya makin kaya, sementara yang miskin makin miskin.Tidak mengherankan kalau Penulis sampai mengibaratkan hal ini dengan peribahasa, “Tikus mati di lumbung padi.”
Masyarakat Kabupaten Malinau tetap tidak berdaya dalam gelimang kesuburan alamnya.Mereka hanya menjadi obyek pembangunan yang tidak pernah diketahui kapan dan dari mana datangnya, apalagi maksud dan tujuan serta manfaat yang sebenarnya.
Bahkan setelah iklim pemerintahan berbalik, mengkritisi kebijakan Orde Baru yang sentralistik sekalipun, otonomi daerah serta kebijakan pembangunan bottom up hanyalah jargon untuk tetap melaksanakan pola pembangunan sentralistik, kebijakan top down.Masyarakat tetap menjadi pelengkap penderita kegiatan bernama pembangunan di segala bidang.
Berdasarkan pengalaman dan kajian akademis yang bisa dipertanggungjawabkan, Dr. Yansen TP menggelontorkan konsep pembangunan yang diberi nama GERDEMA (Gerakan Desa Membangun).Inti dari konsep pembangunan ini adalah bahwa pembangunan haruslah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Kata kuncinya adalah pemberdayaan masyarakat.Masyarakat bukan lagi sebagai obyek pembangunan tetapi menjadi pemilik pembangunan itu sendiri.Masyarakat terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, bahkan pengawasan dan pengendalian.
Lembaga terdekat dengan masyarakat dalam struktur pemerintahan adalah desa.Oleh karena itu Penulis menjadikan desa sebagai wilayah yang benar-benar harus diberdayakan.
Ketika Kabupaten/Kota lain masih menunggu janji kampanye Presiden Jokowi untuk mempercayakan pengelolaan anggaran milyaran rupiah kepada Pemerintah Desa maka Kabupaten Malinau telah menerapkannya. Pemerintah Desa diberi kewenangan yang sangat luas, 33 kewenangan.Bukan hanya itu, pendanaan pun mencapai milyaran rupian setiap desanya.
Tidak mengherankan kalau pembangunan di Kabupaten Malinau dalam dua tahun terakhir patut diapresiasi.Masyarakat merasakan dampak pembangunan yang dilaksanakan, bukan lagi karena mereka obyek pembangunan tetapi karena mereka secara nyata menjadi perencana, pelaksana dan pengawas serta pengevaluasi pembangunan itu sendiri.
Keberhasilan merevolusi kebijakan pelaksanaan pembangunan yang semula sentralistik menjadi desentralisasi serta penerapan top-down planning yang mebiaskan pelaksanaan bottom-up planning telah berhasil mewujudkan pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.Sebuah revolusi biru yang damai, bukan revolusi merah yang selalu dikaitkan dengan kucuran darah.
Tantangan dari Perbatasan Malaysia
Penerapan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan melalui Gerakan Desa Membangun (GERDEMA) saat ini menginjak tahun ketiga dilaksanakan di Kabupaten Malinau.Sebuah daerah otonom yang baru berdiri tahun 1999 berdasarkan Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang.
Kabupaten Malinau berbatasan langsung dengan negara tetangga, Malaysia.Sudah menjadi rahasia umum kalau keadaan wilayah perbatasan selalu mengundang keprihatinan.Berbagai aturan yang telah diterbitkan di ibukota negara untuk mengistimewakan daerah perbatasan selalu jadi pengisi perpustakaan semata.Wilayah perbatasan selalu dan tetap ketinggalan.
GERDEMA yang diterapkan di Bumi Intimung sejak kepemimpinan Dr. Yansen terbukti efektif dalam mengimbangi pembangunan yang dilakukan oleh negara tetangga.Masyarakat merasakan dampak pembangunan secara nyata karena mereka telah menjadi pemilik pembangunan itu sendiri.
Jika saat ini kita diramaikan kembali oleh problematika pencaplokan wilayah oleh Malaysia, maka jangan segera menyalahkan “balas dendam gayang Malaysia” yang menggebu.Apalagi meragukan nasionalisme masyarakat perbatasan.Keteguhan hidup di perbatasan yang penuh derita, di balik tirai syurga negara tetangga bukan hal yang mudah.
Penerapan GERDEMA di Kabupaten Malinau yang saat ini memasuki tahun ketiga, merupakan praktek pelaksanaan pembangunan yang dapat mengangkat harkat dan martabat masyarakat sebagai pemilik bangsa ini.Ketika keberadaan mereka diakui secara nyata, nasionalisme jangan pernah diragukan.Kebanggaan mereka sebagai pemilik pembangunan akan mengalahkan hasil pembangunan secara fisik, karena pembangunan kasat mata itu pun pada suatu saat akan dapat dicapai oleh mereka.Dengan nilai lebih, mereka menjadi pemilik pembangunan!
Oleh karena itu, penerapan pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat yang dilakukan di Kabupaten Malinau merupakan tantangan untuk dapat juga dilakukan di daerah perbatasan lainnya.Bukan hanya di Pulau Kalimantan tetapi juga Pulau Irian dan yang lainnya.
Dan, implementasi pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Malinau ini juga menjadi pelajsaran penting bagi Pemerintah Kabupaten/Kota lainnya di nusantara.Bukankah selama ini sebagian besar hanya menerepkan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan secara konsep semata?Hanya tertulis dalam buku pedoman yang terdiri dari ribuan halaman, yang ternyata sangat sulit dipahami.Apalagi diimplementasikan.
Selain itu, ketulusan seorang pemimpin puncak dalam membangun wilayahnya diuji.Bupati Malinau bias melaksanakannya, tentu saja Bupati dan Walikota lain pun dapat menerapkannya.Oleh karena itu, penerapan pemberdayaan dari perbatasan ini dapat diterapkan di wilayah lainnya di seluruh nusantara.Dengan satu catatan, ada niat tulus dan keberanian dari pemimpinnya dalam mengabdi kepada masyarakat yang telah memberi kepercayaan kepadanya.
Wilayah perbatasan saja bisa melakukan pemberdayaan masyarakatnya dalam pembangunan.Bagaimana dengan Kabupaten dan Kota di Pulau Jawa?Bukankah dari tanah ini konsep pemberdayaan masyarakat itu lahir sebelumnya?
Mohon maaf, saya harus mengatakan bahwa Pemerintah Daerah di Pulau Jawa terlalu ketinggalan dalam pemberdayan masyarakat.Padahal konsep pembangunan seperti ini sudah lebih dari dua decade lahir di pulau ini.Diterapkan secara resmi dengan berbagai aturan dan dana untuk mensukseskannya.Tetapi, hasilnya tidak perlu diragukan, konsep tetaplah konsep, masyarakat tetap jadi obyek pembangunan.
Jauh-jauh sebelum konsep P3MD ditasbihkan sebagai konsep perencanaan pembangunan secara nasional, konsep partisipasi masyarakat dalam pembangunan seperti RRA (Rapid Rural Appraisal) dan PRA (Partisipatory Rural Apraisal) telah dikenal dan diaplikasikan dalam pembangunan pertanian misalnya.Tetapi, adakah dampak dari penerapan konsep ini di Pulau Konsep?Maaf, saya menyebut Pulau Jawa yang penuh akademisi dengan sebutan demikian.
Berbeda hasilnya dengan GTz dengan perencanaan partisipatif yang diberi nama ZOPP yang telah diterapkan beberapa wilayah di luar Pulau Jawa.Dengan formulasi sederhana, tanpa pedoman yang tebalnya ribuan, mereka telah membawa masyarakat yang semula terkutat dalam teori.Bahkan menjadikan konsep P3MD menjadi sangat sederhana dalam penerapannya.
Masyarakat Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat misalnya, sejak tahun 1990-an sudah merasakan dampak partisipasi masyarakat dalam pembangunan, khususnya wilayah sekitar Danau Singkarak.Ternyata bukan karena penerapan konsep P3MD secara utuh seperti dilakukan di Pulau Jawa, tetapi dampak dari konsep ZOPP.Tidak tanggung-tanggung, beberapa tenaga ahli dari Germany turun langsung dalam konsep partisipatif yang sangat efektif ini.
Tentu banyak lagi lembaga yang telah berhasil mengajak masyarakat untuk turut aktif dalam pembangunan.Lagi-lagi, umumnya diluar Pulau Jawa.
Penutup
Keberhasilan Bupati Malinau menerapkan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan melalui Gerakan Desa Membangun (GERDEMA) merupakan bukti nyata bahwa dalam pembangunan yang menjadikan masyarakat sebagai obyek pembangunan harus segera diakhiri.Konsep pembangunan yang lebih dari seperempat abad diterapkan di nusantara sudah saatnya dilaksanakan sesuai dengan konsep sebenarnya.
Jika kerumitan konsep dan bertumpuknya pedoman yang menjadi sebab, maka penyederhanaan adalah kunci utamanya.Diperlukan revolusi terhadap belitan konsep ini sehingga pemberdayaan masyarakat menjadi konsep yang sederhana, konsep yang sesederhana masyarakat Indonesia pada umumnya.
Dr. Yansen TP saja yang memimpin daerah perbatasan dengan negara tetangga bias melaksanakannya.Padahal tantangannya luar biasa, termasuk menjaga nasionalisme masyarakatnya.
Sebuah tantangan memberdayakan masyarakat dalam pembangunan telah datang dari perbatasan Malaysia.Pemerintah Daerah lainnya tentu saja bisa, dengan syarat utama :komitmen pemimpin yang kuat untuk mensejahterakan masyarakat sesuai dengan janji saat kampanye.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H