Mohon tunggu...
Dinoto Indramayu
Dinoto Indramayu Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar, belajar dan belajar....

Setiap saat saya mencoba merangkai kata, beberapa diantaranya dihimpun di : www.segudang-cerita-tua.blogspot.com Sekarang, saya ingin mencoba merambah ke ranah yang lebih luas bersamamu, Kompasiana....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gerakan Desa Merdeka

26 November 2014   16:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:48 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara dari Perbatasan

a.

Judul Buku

:

REVOLUSI DARI DESA

Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat

b.

Pengarang

:

Dr. YANSEN TP, M. Si

c.

Editor

:

Dodi Mawardi

d.

Penerbit

:

PT Elex Media Komputindo

Kelompok Gramedia

e.

Tahun

:

2014

f.

Tebal

:

xxviii, 180 dan 14 halaman potret

g.

Harga

:

Rp. 54.800,-

h.

ISBN

:

978-602-02-5099-1

Pembukaan

Dilematika perbatasan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama di Pulau Kalimantan merupakan bukanlah sesuatu yang baru.Eksodus masyarakat ke wilayah negara tetangga sudah biasa, pindahnya kewarganegaraan mereka menjadi orang Negeri Jiran sudah lama terjadi bahkan keterlibatan mereka dalam menjaga keamanan dan pertahanan negara tetangga bukanlah hal yang baru.

Akil Mochtar ketika masih menjabat sebagai Hakim Agung sekitar empat tahun yang lalu menceritakan tentang banyaknya masyarakat Indonesia di Kalimantan Utara yang selam muda menjadi anggota Kepolisian Diraja Malaysia, setelah usian pension mereka kembali berdiam di tanah leluhur.Soal kepindahan warga negara bisa terjadi karena beberapa sebab, diantaranya adalah kekerabatan dan poerkawinan.Faktor penentu semua itu adalah sentuhan pembangunan NKRI tidak menjangkau mereka, sementara negara tetangga mengumbar anggaran untuk menjadikan perbatasan menjadi cermin yang menyilaukan.

Di perbatasan Papua Nugini, yang notabene keadaan wilayah NKRI lebih baik menurut kacamatan Jakarta, bukan berarti tidak ada dilematikan di atas.Bukankah segala pembangunan versi Jakarta tidak akan sama dengan anggapan kemajuan bagi mereka?Bahkan dari Jakarta pun dapat disaksikan bahwa pembangunan modern yang diterapkan telah banyak menimbulkan banyak kerusakan keseimbangan alam yang telah ribuan tahun mereka jaga.Bahkan hak hidup kelompok mereka banyak yang tergerus.Bukankah kalau yang terakhir terjadi akan menjadi alas an terakhir untuk eksodus?Mereka yang hidup di pedalaman rimba juga manusia, punya martabat yang selalu dijaga kelestariannya.

Banyak yang meragukan nasionalisme warga perbatasan, muculah usulan untuk member mereka pelajaran kewarganegaraan bagi mereka.Sesungguhnya suara dari Jakarta itu sama sekali tidak benar.Para warga perbatasan tertawa, menyaksikan dari siaran televisi negara tetangga dagelan yang terjadi di Gedung Yang Terhormat ketika para anggotanya dengan sangat terbuka melakoonkan episode terpopuler Nasionalisme vs Ego Pribadi dan Golongan.

Selain itu, harus diakui bahwa pembangunan yang dilaksanakan di negara kita memang masih asap jauh dari panggang.Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi pun tidak mengubah kebiasaan lama yang sentralistik.Masyarakat tetap menjadi obyek pembangunan, bahkan tidak pernah tahu pembangunan yang dilaksanakan di daerahnya.

Hal ini bukan hanya terjadi di perbatasan, bahkan di tengah hiruk pikuk pembangunan di Pulau Jawa sekalipun.Cerita teman-teman yang pernah menikmati Kuliah Kerja Nyata (KKN) di salah satu kabupaten di Jawa Barat pun sungguh miris.Hal itu terjadi pada pertengahan tahun 1980-an.Hari ulangtahun kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah 4 dekade dirayakan masyarakat desa setempat untuk kali pertama.Bukankah keadaan desa-desa di Pulau Jawa tiga puluh tahun yang lalu itu masih jauh lebih baik dibandingkan dengan masyarakat perbatasan di pedalaman Kalimantan dan hutan belukar Pulau Irian saat ini?

Permasalahannya adalah bahwa pembangunan di negara demokrasi ini semestinya semestinya menganut prinsip demokrasi itu sendiri : dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat!Sesuatu yang tidak pernah terjadi sejak kemerdekaan, Orde Baru yang menggadang-gadangkan permebradaay masyarakat atau bahkan pasca reformasi yang mengoreksi total kebijakan Rezim Soeharto.

Masyarakat selalu menjadi obyek penderita.Dari mulai alas an bahwa masyarakat tidak akan mampu hingga berujung alasan klasik laporan kegagalan pelaksanaan pembangunan : kurangnya partisipasi masyarakat.

Hal inilah yang dijungkirbalikan oelh Dr. Yansen TP, Bupati Malinau periode 2011 – 2015.Melalui Gerakan Desa Membangun (GERDEMA) masyarakat dipercaya sepenuhnya dalam mengelola pembangunan.Sekalipun baru dilaksanakan selama dua tahun, hasilnya sudah sangat tampak.Masyarakat menjadi pemilik pembangunan yang dilaksanakan di desanya.

Pelajaran berharga Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Utara ini sangat urgen untuk diterapkan di seluruh nusantara.Boleh jadi secara konsep sudah mendarah-daging, tetapi, pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di wilayah yang berbatasan langsung dengan Serawak Malaysia inilah yang patut ditiru.

GERDEMA = Gerakan Desa “Merdeka, Membangun atau Mandiri” ?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “bangun” yang merupakan kata dasar dari membangun adalah bangkit, berdiri, mulai sadar akan nasibnya. “Merdeka” diartikan sebagai bebas, berdiri sendiri.Sementara “mandiri” diartikan sebagai dalam keadaan dapat berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain.

Akronim GERDEMA dengan mudah dapat dipanjangkan sebagai “Gerakan Desa Membangun” sebagaimana dipilih Dr. Yansen, “Gerakan Desa Merdeka” atau “Gerakan Desa Mandiri”.Ketiganya merupakan sesuatu yang bisa dipilih sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masing-masing.

Namun demikian, menyoroti isi buku REVOLUSI DARI DESA : Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat, maka saya cenderung mengatakan bahwa perpanjangan akronim yang dipilih Dr. Yansen TP itu kurang tepat.

Pada tahap pertama maka Gerakan Desa Merdeka lebih tepat.Alasan utamanya adalah bahwa GERDEMA adalah antithesis dari pembangunan yang dirasakan selama ini yang dalam pelaksanaannya tidak pernah melibatkan masyarakat, bahkan hanya menjadikan masyarakat sebagai obyek penderita.Masyarakat yang selama ini “terjajah” oleh pembangunan diberi kepercayaan untuk merasakan bahwa pembangunan daerah adalah milik mereka.

Penggunaan kata “merdeka” juga menjadi alat pembangkit nasionalisme, yang menurut pandangan dari kekuasaan pusat sebagai sudah luntur dalam diri masyarakat perbatasan.Karena sesungguhnya kemunduran nasionalisme itu bukan hanya terjadi di perbatasan negara tetapi juga di wilayah yang sudah sangat maju pembangunannya, termasuk dari dalam Gedung DPR-MPR tempat orang-orang terpilih melaksanakan tugasnya.

Setelah kemerdekaan dicapai, pembangunan dilaksanakan dan seterusnya menjadi desa yang mandiri.Dengan demikian maka GERDEMA adalah sebuah akronim bermakna banyak :


  1. Gerakan Desa Merdeka
  2. Gerakan Desa Membangun
  3. Gerakan Desa Mandiri

Diawali dengan Gerakan Desa Merdeka, kata merdeka mengambil definisi KBBI sebagai bebas.Masyarakat dibebaskan dari anggapan bahwa mereka merupakan kelompok terlemah, yang tidak mau berpartisipasi dalam pembangunan, apalagi mampu membangun daerahnya.

Gerakan Desa Membangun diterapkan setelah masyarakat terbebas dari periode pahit menjadi obyek pembangunan, baik secara mental ataupun fisik.Dengan hilangnya trauma berkepanjangan, anggapan miris tentang peranserta masyarakat dalam pembangunan berubah menjadi semangat untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan.

Pembangunan desa yang dipercayakan penuh kepada masyarakat selama empat periode sebelumnya akan menjadikan masyarakat siap secara mental dan fisik untuk melanjutkan kesejahteraan masyarakat selanjutnya melalui Gerakan Desa Mandiri.

Beriring pengalokasian dana milyaran rupiah untuk setiap desa saat ini, maka pembangunan desa berbasis mpemberdayaan masyarakat seperti dilakukan Pemerintah Kabupaten Malinau dapat diterapkan di setiap kabupaten/kota.Dikaitkan dengan tiga pengertian akronim GERDEMA di atas, maka tidak ada kata terlambat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui :


  1. Dua periode kepemimpinan Bupati/Walikota menjalankan Gerakan Desa Merdeka
  2. Dua periode kepemimpinan Bupati/Walikota menjalankan Gerakan Desa Membangun
  3. Kepemimpinan Bupati/Walikota kelima seterusnya menjalankan Gerakan Desa Mandiri

Jika saja dua tahapan pertama di atas dilaksanakan secara konsekuen masing-masing dalam dua periode kepemimpinan Bupati/Walikota, maka periode seterusnya desa menjadi mandiri dan kesejahteraan masyarakat bukan lagi sekedar cita-cita sejak negeri ini merdeka.

Dengan demikian GERDEMA menjadi gerakan membangun desa yang berkelanjutan, yang dapat diterapkan di seluruh wilayah NKRI.Bukan lagi sebuah konsep pembangunan milik satu kabupaten, apalagi menjadi konsep pembangunan yang harus berakhir ketika Dr. Yansen TP tidak lagi menjabat Bupati Malinau.

Belajar Pemberdayaan Masyarakat dari Perbatasan

Pembangunan yang diterapkan di setiap negara tentu saja bertujuan untuk kesejahteraan masyarakatnya.Namun demikian, pada kenyataannya tidak selalu sesuai dengan harapan.Pembangunan dilaksanakan sering tidak sesuai dengan harapan masyarakat setempat.

Permasalahan inti dari kegagalan pembangunan selama ini menurut Dr. Yansen TP adalah bahwa pembangunan yang dilaksanakan hanya menjadikan masyarakat sebagai obyek pebmangunan.Masyarakat tidak pernah terlibat langsung dalam pembangunan.Strategi pembangunan yang melibatkan masyarakat selalu saja menjadi pelajaran teoritis yang tidak pernah dipraktekan.Hasil akhirnya tentu saja dapat diduga, pembangunan yang mendapat penilaian “bagus” dari Badan Pemeriksa Keuangan sekalipun ternyata hanya meninggalkan kemiskinan dan pengangguran.

Oleh karena itu, melalui Gerakan Desa Membangun (GERDEMA), masyarakat diajak untuk terlibat langsung dalam pembangunan.Bukan hanya dalam perencanaan tetapi juga dalam pelaksanaan serta pengawasan dan evaluasi pelaksanaannya.Masyarakat menjadi pemilik pembangunan seutuhnya.Konsep dasar demokrasi dilaksanakan sepenuhnya, sehingga pembangunan yang dilaksanakan di Kabupaten Malinau adalah dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat desa masing-masing.

Hasilnya sangat memuaskan, masyarakat menjadi paham akan pembangunan di desanya.Memahami proses perencanaan, mulai dari menganalisis potensi diri dan lingkungan, membuat perencanaan hingga penentuan prioritas kegiatam.Rencana Anggaran Pemerintahan Desa (RAPBDes) bukan lagi rahasia Aparat Desa, bahkan masyarakat mengetahui hingga penggunaan anggaran.Pemahaman ini sungguh beralasan, mereka terlibat langsung dalam pembahasan RAPBDes dan rencana penggunaannya.

Pelaksanaan kegiatan pembangunan desa juga melibatkan masyarakat secara langsung, sehingga mereka mengetahui pelaksana kegiatan dan aktivitas yang dilaksanakan.Bahkan dalam pembelian barang-barang yang diperlukan pun mereka mengetahui baik volume dan harga serta dimana dan siapa yang melakukan transaksi.

Bahkan untuk tugas pengawasan dan evaluasi yang selama ini hanya dipercayakan kepada cerdik-pandai, ternyata dapat dilakukan oleh masyarakat desa yang sering dianggap tidak akan mampu tersebut.

Sebenarrnya, pembangunan berbasiskan pemberdayaan masyarakat bukanlah hal baru.Lebih dari tiga decade menjadi prinsip pembangunan di nusantara.Bahkan P3MD (Perencanaan Pembangunan Partisipatif Masyarakat Desa) merupakan salah satu program yang telah memakan waktu dan biaya yang sangat besar.Bukan tanpa hasil, hanya penerapannya yang telah lama itu ternyata belum juga mampu menjadikan masyarakat menjadi pemilik pembangunan.

Jelas hal ini terjadi bukan karena konsepnya yang jelek, bahkan terlalu sempurna sehingga menjadi sulit untuk dilaksanakan di tengah masyarakat awam.Terlalu sulit karena banyaknya materi dan konsep yang harus dipelajari, apalagi diterapkan.

Itulah sebabnya beberapa daerah menerapkan konsep rumit ini dengan bantuan tenaga asing.Konsep orang asing mengubah kerumitan P3MD menjadi sangat sederhana dan mudah dicerna.Seperti ZOPP yang diterapkan orang-orang Germany di beberapa daerah di Indonnesia, seperti Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok misalnya.Kesederhanaannya mengantarkan masyarakat Minang berdaya untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi kegiatan rehabilitasi lahan kritis sekitar Danau Singkarak.

Demikian juga sebagian masyarakat Jawa Barat seperti Kabupaten Indramayu pernah mengikuti cara sederhana pemberdayaan masyarakat yang ternyata sangat dahsyat.Melalui acara yang bertajuk Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung, lebih dari 1.200 orang diantar untuk bisa merencanakan, melaksanakan dan mengawasi serta mengevaluasi pelaksanaan pencegahan dan penanganan wabah flu burung di desanya masing-masing.

Dua contoh di atas tentu masih focus pada kegiatan tertentu, masyarakat Tanah Datar dan Solok dalam mengelola lahan kritis di Sekitar Danau Singkarak, sementara masyarakat 31 desa di Indramayu menjadi mampu menangani wabah flu burung secara mandiri dengan menggunakan semua potensi yang ada di desa massing-masing.

Sementara terobosan yang dilakukan Dr. Yansen TP adalah memberdayakan masyarakat desa dalam pembangunan di seluruh wilayah Kabupaten Malinau.Tentu saja disertai dengan pembiayaan untuk setiap desa yang tidak sedikit.Sekalipun dana yang dikucurkan kepada setiap desa dibatasi (misalnya Rp. 1,4 milyar/desa pada tahun 2014) tetapi jumlah tersebut bukan hanya sudah sangat tinggi tetapi juga akan membangkitkan semangat swadaya masyarakat yang selama ini tidak tersalurkan.

Oleh karena itu, wajar kalau Dr. Yansen TP dalam bukunya beberapa kali mengatakan bahwa GEDRDEMA yang dilaksanakan di Kabupaten Malinau merupakan inovasi beliau.Bahkan pada tahun 2013 Kementerian Dalam Negeri menganugerahi beliau Innovative Government Award.Walaupun pemberdayaan masyarakat seperti yang dilakukan masyarakat perbatasan Serawak Malaysia itu, seperti diuraikan dimuka, bukanlah sesuatu yang baru.

Namun demikian, terlepas dari hal ini merupakan inovasi Dr. Yansen TP ataupun tidak, Pemerintahan Kabupaten/Kota seluruh nusantara mendapat pelajaran penting dari beliau.Apalagi mulai tahun 2014 secara nasional, Pemerintah Desa mendapat anggaran sekitar Rp. 1 milyar/desanya.

Tingginya anggaran yang dikelola Pemerintahan Desa tersebut merupakan buah merupakan berkah sekaligus musibah.Sangat tergantung kepada mereka dalam mengelola kepercayaan yang diberikan tersebut.Jika tidak dikelola dengan baik, maka dana milyaran rupiah itu hanya akan sia-sia, bahkan bisa mengantar mereka ke pintu penjara.

Bukan rahasia kalau saat ini, ketika Alokasi Dana Desa (ADD) masih puluhan sampai ratusan juta rupiah saja banyak Kepala Desa tidak dapat mempertanggungjawabkannya?Pembangunan fisik yang menyerap banyak anggaran tidak terealisasi dengan baik, pemberdayaan ekonomi masyarakat pun tidak kalah gagalnya.SPJ (Surat Pertanggungjawaban) menjadi juru selamat, sekalipun jauh panggang dari asap.

Kegagalan pengelolaan ADD sebenarnya dimulai dari awal, proses perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat.Pelaksanaan menjadi rahasia Pemerintah Desa, pertanggungjawaban pun dibuatkan oleh Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat kecamatan setempat.Sementara Pengawasan dan evaluasi dilaksanakan oleh aparat Kepolisian dan Kejaksaan akibat kucuran dana tidak dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya.

Terlepas gambaran di atas, ya atau tidak, tetapi sekali lagi, pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Malinau patut ditiru untuk diterapkan di kabupaten/kota seluruh Indonesia.

Penutup

Pelaksanaan pemnagunan di Kabupaten Malinau selama dua tahun terakhir yang ditulis Dr. Yansen TP dalam buku REVOLUSI DARI DESA :Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat, telah menunjukkan hasil yang relative baik.Terutama dalam pelibatan masyarakat telah berhasil menjungkirbalikan anggapan bahwa masyarakat tidak mau berpartisipasi dalam pembangunan.

Pelajaran pemberdayaan masyarakat yang dilakukan di Kabupaten Malinau menjadi bagian penting untuk ditiru Pemerintah Kabupaten/Kota seluruh Indonesia dalam melaksanakan pembangunan daerahnya.Alokasi Dana Desa (ADD) yang digelontorkan mencapai milyaran rupiah kepada setiap desanya saat ini, merupakan peluang pelaksanaan pemberdayaan masyarakat desa meniru konsep GERDEMA dari perbatasan Serawak Malaysia..

Dalam pengertian saya, GERDEMA merupakan tahapan mulai daer Gerakan Desa Merdeka, Gerakan Desa Membangun dan Gerakan Desa Mandiri.Kedua tahapan awal dapat dilakukan masing-masing dua periode kepemimpinan, tahapan terakhir menjadi lanjutan seterusnya.

Sementara sebutan desa dalam tulisan ini sesungguhnya adalah desa atau sebutan lainnya, juga kelurahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun