Mohon tunggu...
Dinni Khairns
Dinni Khairns Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

science is an amazing thing

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Taxus Sumatra, Si Cemara Sumber Obat Kanker yang Butuh Perlindungan

4 Januari 2022   07:30 Diperbarui: 4 Januari 2022   07:32 3217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

hutan memiliki manfaat yang sangat penting bagi kehidupan manusiausia. Hampir dapat dipastikan bahwa lebih dari 95% Manfaat tersebut menjadirupa hasil hutan bukan kayu, termasuk jasa lingkungan. Manfaat yang menjadisar tersebut masih terabaikan karena kita masih terfokus pada pemanfaatan kayu, yang sebenarnya nilai manfaat jauh lebih keciaku, yaitu sekitar 5%. 

Kerusakan hutan sebenarnya telah dimulai sejak mempersembahkan konsesi dalam pengelolaan hutan yang fokusnya hanya pada eksploitasi kayu. Kondisi ini perlahan-lahan telah mengurangi potensi keanekaragaman hayati, baik pada tingkat ekosistem, jenis ,( tumbuh-tumbuhan dan fauna )Maupun genetik, yang pada akhirnya hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan.

Hutan tropis Indonesia merupakan sumber tanaman Obat. Namun sayang, potensi tersebut hanya sedikit yang diteliti, digali, dan dimanfaatkan secara optimall. 

Di negara lain seperti Cina, lebih dari 7.000 spesifikasiya tanaman obat sudah terdaftar; Korea telah melakukan dardisasi 530 jenis tanaman obat sejak tahun 1983 dan di Jerman,penelitian dan pemanfaatan obat-obatan dari bahan alam yang biasa disebut phytomedicines sudah jauh lebih maju.

Taxus sumatera atau cemara sumatera tumbuh di hutan subtropis lembab dan hutan hujan pegunungan pada kettinggian 1.400–2.800 M dpl. Secara alami, penyebaran-nya termasuk Filipina, Vietnam, Taiwan, Cina, dan termasuk Indonesia. 

Di Indonesia, T. sumatera tumbuh secara alami sebagai subkanopi di hutan pegunung di Sumatra: gunung Kerinci, Jambi, Kawasan hutan Lindung Dolok Sibuaton, Sumatra utara, dan gunung Dempo, Sumatra Selacokelat.

Marga Taksus merupaksebuah satu-satunya pohon cemara yang penting secara ekonomi. Selama berabad-abad-buruk, masyarakat di dunia menggunakan Taxus sebagai bahan baku  pada obat. 

Genus Taksus menjadi jenis kamuang sangat fenomena mulai tahun 1990-an dengan berhasil identifikasinya taksa , senyawa unik yang termasuk golongan Diterpenoid . Senyawa ini ditemukan pada seluruh bagian pohonnyaBaik pada bagian daun, kulit, akar, maupun biji. Senyawa Aktif ini mungkin sebagai obat antiknker dan memiliki Risiko atau efek samping kamuang kecil.

Taxus sumatrana merupakan salah satu jenis tanaman yang memiliki potensi di bidang farmasi. Menurut Iskulo etAl. (2013), T. sumatrana mengandung taxol yang mampu melwan sel kanker. Sebanyak 1 kg taxol membutuhkan bahan sebanyak 7.270-10.000 kg (Hidayat et al. 2014). 

Untuk pengobatan kanker dibutuhkan sekitar 2-2,5 g taxol.kebutuhan 2-2,5 gram taxol tersebut setara dengan 6-8 pohon Taxus (Malik et al. 2011) dengan randemen taxol sekitar 0,006% (Kitagawa et al. 1995). Terdapat beberapa jenis senyawa yang terkandung di dalam tanaman T.sumatrana, diantaranya taxumairol Q, 13-0-acetyl Q, Wallifoliol 13-0 asetil wallifoliol (Shen et al. 2002), dan tasumatrols E, F, dan G (Shen et al. 2005), serta 10-deacetylbaccatin III dan baccatin III (Hidayat dan tachibana 2013).

Untuk memenuhi kebutuhan taxol yang sangat tinggi,eksploitasi Taxus sp., termasuk T. sumatrana,mengakibatkan populasi tumbuhan tersebut di dunia menurun secara drastis (Shi et al. 1999; Li et al. 2006;huang et al. 2008). Penurunan populasi T. sumatrana tersebut membuat jenis ini termasuk dalam Apendix II Cites dan IUCN Redlist. 

Penurunan populasi dan habitat yang terfragmentasi dapat menyebabkan terjadinya kepunahan pada T. sumatrana. Oleh karena itu diperlukan upaya konservasi dalam penyelamatan jenis tanaman ini (Susilo 2015). 

Panjangnya masa dormansi benih dan pertumbuhan yang lambat menjadikan T. sumatrana kalah bersaing dengan jenis lain dan rendah tingkat regenerasinya. Rendahnya tingkat regenerasi merupakan hal yang paling mengkhawatirkan karena suatu saat jenis ini dapat punah jika tidak dilakukan upaya penyelamatannya. 

Salah satu upaya penyelamatannya adalah dengan membangun plot eksitu dan memperbanyaknya melalui stek atau kultur jaringan. Upaya lain yang dapat dilakukan juga dapat dimulai dengan pembangunan hutan tanaman atau plot konservasi ex situ T. sumatrana di luar habitat aslinya dan dibangun dari sumber-sumber genetic dari perbanyakan stek ataupun kultur jaringan yang telah dilakukan sebelumnya. 

Studi Populasi Genetik T. sumatrana Formulasi strategi konservasi T. sumatrana yang tepat harus berdasarkan pada pengetahuan dasar tentang struktur genetik jenis T. sumatrana. Strategi konservasi ex situ maupun in situ tidak terlepas dari karakteristik genetik yang dimiliki jenis ini. 

Dalam pembangunan dan pengembangan strategi konservasi ex situ, informasi mengenai karakteristik dan keragaman genetik akan sangat diperlukan sebagai dasar dalam penentuan bagaimana material genetik dari setiap populasi yang ada tersebut harus ditanam, berapa jumlah individu minimal untuk menjaga keterwakilan keragaman genetik dari tiap populasi, dan berapa luasan minimal plot yang harus disediakan untuk pembangunan plot konservasi ex situ dimaksud. 

Sementara itu, informasi mengenai keragaman genetik antarpopulasi akan menjadi dasar pertimbangan pengelola untuk mengambil kebijakan bagaimana memperlakukan setiap subpopulasi yang ada dan sejauh mana aliran gen antarpopulasi harus dikontrol.

Terkait dengan teknik perbanyakan vegetatif jenis T. Sumatrana menunjukkan tingkat keberhasilan berakar terbaik yang diperoleh dari perlakuan stek pucuk dengan menggunakan media cocopeat-sekam pada perbandingan 2 : 1 (v/v) dengan metode KOFFCO. 

Sampai sejauh ini, kemampuan berakar dengan teknik tersebut masih memberikan hasil yang cukup baik. Upaya konservasi lain yang dapat dilakukan yaitu dengan konservasi in-situ. T. sumatrana tumbuh di TN Kerinci Seblat (G. Kerinci dan G. Tujuh), Tanah Karo (HL Sibuaton), dan Pagar Alam (G. Dempo). 

Secara alami, jenis ini sudah tumbuh dan berkembang di suatu kawasan dengan status kawasan konservasi sehingga tidak diperlukan adanya penetapan kawasan konservasi baru dalam upaya pelestarian in situ jenis ini. Namun demikian, tidak berarti bahwa pengelolaan in situ jenis ini menjadi lebih mudah dengan kondisi di atas. 

Tidak jarang, kawasan konservasi berada dalam kondisi yang tidak optimal, terlebih pada kondisi masyarakat sekitar dengan tingkat dependensi yang yang sifatnya eksternal–terlebih antropogenik–memerlukan strategi dan pendekatan tersendiri  dari gangguan-gangguan terkait jenis T. sumatrana akan menyebabkan kesulitan dalam memformulasikan strategi konservasi yang paling tepat.

Pembangunan kawasan konservasi in situ untuk jenis ini akan menyediakan sebuah ruang yang akan melindungi sistem dan berbagai jenis yang terkandung di dalamnya secara menyeluruh. Hal ini akan sangat berguna, terutama perlindungan terhadap suatu jenis yang minim informasi ilmiahnya. Burley (1988) mendeskripsikan bahwa konservasi in situ sangat tepat diaplikasikan pada kondisi belum ditemukannya metode investigasi dan manfaat penggunaan dari suatu jenis tertentu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun