Mohon tunggu...
Dinda Annisa
Dinda Annisa Mohon Tunggu... Freelancer - Penterjemah Lepas

Based in Bekasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bisakah China, Negara Komunis, Menjadi Negara Adidaya?

28 September 2021   12:03 Diperbarui: 28 September 2021   14:31 999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden China Xi Jinping | Sumber: ANI/WION

Apakah China adalah sebuah kekuatan global atau kekuatan regional? Tentu saja, para diplomat China yang juga dikenal sebagai "pejuang serigala" dan penggemarnya di Indonesia selalu mengatakan China sudah menjadi kekuatan global.

Beberapa penggemar berat China bahkan mengatakan bahwa negara Asia Timur ini sedang berada di jalurnya untuk menjadi negara adidaya baru dengan menggantikan AS dari struktur kekuatan global.

Tunggu sebentar. Mari kita dengarkan pidato Presiden China Xi Jinping, yang ia sampaikan di Majelis Umum PBB pada tanggal 21 September lalu.

"China adalah negara berkembang terbesar di dunia, negara yang berkomitmen untuk pembangunan yang damai, terbuka, kooperatif dan bersama," kata Xi.

Bagaimana negara berkembang bisa menjadi negara adidaya?

Orang mungkin berpikir bahwa China sudah memiliki kekuatan global yang melihat propaganda China yang agresif dan beberapa fakta yang nyata. Satu hal sangat jelas bahwa China telah bangkit selama lebih dari tiga dekade dan memperoleh kekuatan ekonomi dan militer yang signifikan. Namun China masih jauh dari menjadi negara adidaya seperti AS, yang telah berada di posisi tersebut selama 80 tahun terakhir.

China adalah negara terpadat di dunia dengan 1.44 miliar orang atau empat kali lebih besar dari AS yang berpopulasi 333.38 juta orang. Tetapi India, yang memiliki 1.39 miliar orang sekarang, akan melampaui China untuk menjadi negara terpadat baru di dunia pada tahun 2025.

Kebangkitan ekonomi China benar-benar luar biasa. Produk domestik bruto (PDB) saat ini adalah sebesar AS$16.64 triliun, lompatan besar dari $1.19 triliun pada tahun 2000. Ekonomi China adalah yang terbesar kedua di dunia setelah PDB AS yang saat ini sebesar $22.67 triliun.

Banyak orang hanya melihat GDP China tetapi jika kita melihat GDP per kapitanya maka akan muncul gambaran sebenarnya dari status China.

Menurut prediksi Bank Dunia, PDB per kapita AS saat ini adalah $68,309, lima kali lebih besar dari China yang hanya senilai $11,819. Itulah sebabnya Presiden Xi menyebut China sebagai negara berkembang bukan kekuatan global atau adidaya.

Bagaimana China, negara komunis, mencapai pertumbuhan ekonomi yang spektakuler ini? China meninggalkan jalur komunis atau sosialisnya dan mengadopsi model kapitalistik untuk mencapai pembangunan ekonomi. Perusahaan multinasional dari AS, Uni Eropa, Jepang, Korea dan bahkan Taiwan memompa triliunan dolar ke dalam ekonomi China selama 30 tahun terakhir dan menjadikan China sebagai pabrik global. Perusahaan multinasional ini mengeksploitasi tenaga kerja murah di China dengan memproduksi sebagian besar produk mereka seperti ponsel pintar, komputer, barang elektronik, obat-obatan dan menghasilkan keuntungan yang besar. China juga menggunakan uang dari perusahaan-perusahaan tersebut untuk mensejahterakan dirinya sendiri. Pekerja China menjadi korban dan China telah menjadi sinonim untuk barang-barang murah di seluruh dunia.

Ekonomi China, pada tingkat pertumbuhan saat ini, dapat melampaui AS untuk menjadi ekonomi terbesar dunia pada tahun 2028.

Secara militer, menurut laporan Global Fire Power 2021, kekuatan militer China berada di peringkat ketiga di belakang AS dan Rusia. China memiliki lebih banyak tentara (2.18 juta personel militer aktif ) daripada AS (1.40 juta personel) dan angkatan laut dengan 777 kapal (AS memiliki 490 kapal) serta 79 armada kapal selam (AS memiliki 63).

AS memiliki teknologi militer yang canggih dan kekuatan udara yang lebih unggul dari China. AS memiliki 11 kapal induk canggih, dibandingkan dengan empat kapal induk China. AS menghabiskan uang lebih dari tiga kali lipat dari China untuk militernya. Pemerintahan Presiden Joe Biden telah merencanakan untuk menghabiskan $753 miliar untuk militer pada tahun 2022 sementara China mungkin menghabiskan lebih dari $250 miliar.

Apa pun kekuatan ekonomi dan militernya yang meningkat, China tidak akan memenuhi syarat untuk posisi kekuatan global atau negara adidaya. Mengapa?

China bukanlah negara demokratis dan diperintah oleh Partai Komunis China yang otoriter. Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) setia kepada Partai Komunis China bukan kepada negara China. China memiliki negara yang kuat dengan birokrasi partai yang kuat. Pemerintah China secara ketat mengontrol semua lapisan masyarakat, termasuk media.

Meskipun China memiliki sekitar 800 juta pengguna internet aktif, semua bentuk media (dari negara negara asing) seperti CNN, BBC, Straits Times dan New York Times dilarang di China. Platform media sosial seperti Google, YouTube, Facebook, Instagram, Twitter juga dilarang. Bahkan situs Wikipedia pun dilarang. 

China berada di peringkat 177 dari 180 negara di dalam Indeks Kebebasan Dunia 2021.

Penindasan brutal terhadap protes mahasiswa Lapangan Tiananmen 1989 dan protes Hong Kong baru-baru ini hanyalah pengingat suram dari kredensialnya yang diredam menyangkut kepemimpinan globalnya.

Salah untuk percaya bahwa China memiliki minat yang mendalam pada institusi global. China telah meluncurkan proyek pembangunan infrastruktur global Belt and Road Initiative (BRI) pada tahun 2013 dan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) pada tahun 2015. Namun niat China selalu untuk menguras kekayaan institusi ekonomi global dan mengeksploitasi negara-negara berkembang terutama di Afrika demi keuntungannya sendiri selama menyangkut tanggung jawab globalnya.

Sebagai anak baru, China harus tahu bahwa kekuatan yang lebih besar hadir dengan tanggung jawab yang lebih besar serta akuntabilitas yang lebih besar. Sejauh ini, China telah tertinggal di bagian tersebut. Kurangnya transparansi dan keterbukaan seputar tujuan yang jelas dari proyek BRI telah membuat banyak negara mempertanyakan maksud di balik proyek infrastruktur tingkat besar di wilayah mereka.

Beberapa ahli bahkan mengatakan bahwa aktivitas China di banyak negara Afrika tidak lain adalah bentuk baru dari kolonialisme ekonomi. Banyak negara jatuh ke dalam perangkap utang China.

Mereka juga mengkritik China karena kurangnya tanggung jawab dan kerja sama dengan badan-badan internasional.

Kita semua tahu bahwa pandemi COVID-19 saat ini pertama kali muncul di Wuhan, China, pada bulan Desember 2019 dan telah menyebar ke seluruh dunia. Pandemi telah memengaruhi mata pencaharian miliaran orang. Sayangnya, asal muasal pandemi ini masih belum jelas. Penolakan China pada bulan Maret 2021 lalu untuk memberikan data mentah tentang kasus awal COVID-19 untuk membantu tim yang dipimpin oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memahami asal-usul penyakit menimbulkan banyak keraguan dan pertanyaan. 

China terkadang kurang menghargai perjanjian internasional yang ditandatanganinya. Misalnya, mereka menandatangani Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS) dan meratifikasinya. Berdasarkan peta Sembilan Garis Putusnya yang kontroversial, China mengklaim lebih dari 90 persen Laut China Selatan (LCS). Tapi klaim LCS-nya sangat melanggar UNCLOS.

Karena kepentingan geopolitik dan geostrategisnya, China alergi terhadap tatanan global yang berbasis aturan. Kegiatannya baru-baru ini di LCS dan Laut China Timur adalah contoh terbaik dari perilaku agresif China.

Tidak diragukan lagi, China adalah pemain regional teratas dan memiliki semua potensi untuk segera menjadi kekuatan global. Tetapi mereka harus banyak berkembang di banyak bidang terlebih dahulu untuk mendapatkan status tersebut.

Tampaknya pejuang serigala tidak sabar setelah menyaksikan beberapa pencapaian luar biasanya di bidang ekonomi.

Tahun lalu, dengan rekor ekspor sebesar $2.59 triliun pada tahun 2020, China menjadi eksportir terbesar di dunia. Jauh lebih besar dari ekspor AS yang sebesar $2.1 triliun pada tahun yang sama. Tetapi AS merupakan importir terbesar di dunia dengan impor senilai $2.8 triliun pada tahun 2020, jauh lebih tinggi dari China yang hanya $2.06 triliun.

China juga menerima rekor investasi asing langsung senilai $163 miliar pada tahun 2020, jauh lebih besar dari AS yang mencapai $134 miliar.

Namun prestasi tersebut tidaklah cukup untuk menjadi negara adidaya. Sebelumnya, Uni Soviet berusaha menjadi negara adidaya yang besar tetapi akhirnya gagal dan runtuh sendiri pada tahun 1991. China juga berada dalam posisi yang sama sekarang.   

"Seperti Uni Soviet di masa lalu, China kini menghadapi beberapa tantangan geopolitik dan budaya sebelum dapat mencapai status adidaya global yang mirip dengan AS. China tidak dapat bercita-cita untuk mendapatkan rasa hormat dan penerimaan yang sama di seluruh dunia, bahkan jika kekuatan ekonomi dan militernya melampaui AS. AS yang demokratis akan selalu memiliki keunggulan ideologis, politik dan budaya dibandingkan dengan China Komunis," ujar Ashok Swain, seorang ahli dari Universitas Uppsala di Swedia, dalam sebuah artikel baru-baru ini di ThePrint.

Kita harus menunggu dan melihat apakah China akan mengatasi semua tantangan politik, ekonomi, budaya dan keamanan ini untuk menjadi kekuatan global.

Presiden Xi mengatakan beberapa kata manis tentang penderitaan dunia akibat COVID-19.

"Semua negara terhubung erat dan kita memiliki masa depan yang sama. Tidak ada negara yang bisa mendapatkan keuntungan dari kesulitan orang lain atau menjaga stabilitas dengan mengambil keuntungan dari masalah orang lain," papar Xi.

Akan sangat bagus, jika China mengikuti kata-kata ini. Kita akan memiliki dunia yang lebih baik yang saling bersimpati.

 

Penulis adalah seorang jurnalis lepas yang tinggal di Bekasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun