Mohon tunggu...
Dinnar Aszahra
Dinnar Aszahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saya adalah seorang yang memiliki ketertarikan dalam membaca buku dan dan menulis puisi pendek.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Media Sosial terhadap Perspektif Marriage is Scary

20 November 2024   22:26 Diperbarui: 21 November 2024   00:04 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

           Pengguna media sosial pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah "Marriege is scary". Istilah ini sering muncul dalam konten-konten video pendek di Tiktok, postingan Instagram, dan cuitan Twitter. Marriage is scarry merupakan kalimat dalam bahasa inggris yang memiliki arti "Pernikahan itu menakutkan". Kalimat ini merupakan ungkapan ketakutan terhadap hal-hal negative yang muncul dalam menjalani hubungan rumah tangga.

 Belakangan ini, beberapa pengguna media sosial yang mengalami pengalaman tidak menyenangkan seperti KDRT, perselingkuhan, ataupun ketidakadilan dalam rumah tangga  membagikan pengalaman mereka lewat video pendek dan foto-foto di tiktok disertai bukti kekerasan seperti luka yang dialami ataupun foto setelah kejadian. Konten married is scary bahkan menjadi trending di pengguna tiktok, dan mendapat beragam komentar.

          Trendingnya konten tentang "Marriage is scary" membuat banyak kalangan muda yang mengaku takut untuk menjalani pernikahan padahal tidak semua pernikahan berujung pada kekerasan, perselingkuhan ataupun hal negative lainnya. Siti Jaro'ah, dosen Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Surabaya (UNESA) menyebutkan, menikah memang merupakan suatu keputusan besar yang menandai fase perjalanan hidup seseorang. 

Tak sedikit yang ragu mengambil keputusan tersebut karena beberapa kekhawatiran, seperti perceraian dan KDRT. "Sekarang, terutama di perkotaan, pergaulan bebas yang dulu dianggap tabu kini menjadi lebih banyak dijalani. Karena kekhawatiran dan faktor lainnya, banyak pasangan yang memilih menjalani hubungan tanpa ikatan formal seperti pernikahan," paparnya. 

Secara tidak langsung konten-konten seperti itu dapat mempengaruhi generasi muda untuk tidak menikah dan berujung pada perbuatan zina ataupun hubungan tanpa status.

          Berdasarkan data dari BPS menjelaskan bahwa jumlah pernikahan di Indonesia pada tahun 2023 sebanyak 1.577.255. Dibandingkan dengan tahun 2022, angka tersebut turun sebanyak 128.000. Sedangkan angka pernikahan Indonesia dalam satu dekade terakhir turun sebanyak 28,63 persen.

 Jika perspektif " Marriege is scary" dibiarkan begitu saja, Indonesia dapat mengalami penurunan drastis angka pernikahan yang dapat menyebabkan krisis kelahiran seperti yang terjadi di Jepang dan Korea dan berimbas pada bonus demografi yang akan di terima bangsa Indonesia di masa yang akan datang.

          Dalam penggunaan media sosial memang  dibebaskan untuk berpendapat dan berekspresi namun dalam konteks pernikahan alangkah baiknya jika menyertakan bahwa tidak semua pernikahan akan berakhir tidak baik, sehingga para generasi muda tidak takut untuk menikah. Seperti pada salah satu ibu rumah tangga yaitu  Ibu Rena yang sangat realistis dalam menanggapi pernikahan. 

Menurutnya, stigma "marriage is scary" hanya berlaku jika kita menikah dengan orang yang salah atau memaksakan untuk menikah ketika belum siap. Katanya kepada kumparan. Pernikahan memang sejatinya tidak perlu untuk ditakutkan asalkan kita dapat memilih pasangan dengan baik, menikah diusia dimana mental sudah siap, memperbaiki kondisi ekonomi terlebih dahulu sebelum menikah, dan mengetahui latar belakang calon yang akan dinikahi. 

        Berbagai artikel dikemukakan bahwa faktor penyebab KDRT, antara lain: faktor ekonomi; kultur hegemoni yang patriarkis; merosotnya kepedulian dan solidaritas sosial; masyarakat miskin empati; dan belum memasyarakatnya UU PKDRT. 

Sedangkan beberapa hasil penelitian menemukan faktor utama KDRT adalah faktor ekonomi dan masih kentalnya budaya patriarkis di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam memilih pasangan dan tidak perlu terburu-buru dalam menikah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun