Sesuai persaratan yang telah diputuskan dan ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum, maka diperolehlah 5 kandidat calon Gubernur dan wakil Gubernur Sumatera Utara yang berhak bertarung dalam pemilihan orang nomor 1 di Sumut. Beberapa di antaranya dengan mudah dikenali masyarakat disebabkan masih berstatus pejabat pemerintah alias incumbent, sedangkan sisanya adalah pendatang baru yang namanya masih asing di telinga, namun memiliki ‘marga’ yang membuatnya mendarat mulus menjadi bagian dari Medan.
Lima kandidat caugb dan cawagub tersebut adalah Gus Irawan Pasaribu – Soekirman dengan nomor urut 1, Effendi Simbolon – Juiran Abdi dengan nomor urut 2, Chairuman Harahap – Fadly Nurzal dengan nomor urut 3, Amri Tambunan – RE Nainggolan dengan nomor urut 4, dan terakhir Gatot Pujo Nugroho – T Erry Nuradi dengan nomor urut 5.
Selanjutnya pemilihan umum resmi diselenggarakan pada tanggal 7 Maret 2013. Para pemilih berbondong-bondong datang ke tempat pemilihan suara (TPS). Sesuai nama yang tercantum dalam daftar, mereka dipanggil satu persatu untuk kemudian masuk ke dalam kamar berukuran 1x1 meter, mencoblos wakil yang sudah mereka hapal sebelumnya, sembari berharap dapat mewakili keresahan mereka kelak. Sebagian lain, memilih kandidat sesuai pesanan kartu kecil yang terdapat dalam kantongan sembako, atawa memilih calon yang dianjurkan oleh ‘tim serangan fajar’ melalui nominal rupiah. Selanjutnya sudah bisa ditebak, Golongan Putih (Golput) –walaupun imbauan terus diperdengarkan- masih tetap meramaikan keempat sudut panggung pemilu.
Jarum jam menunjukkan pukul 13.00 wib, artinya perhelatan akbar di Sumatera Utara telah selesai digelar. Di sinilah tiap kandidat terlihat lebih ‘peduli’ pada apa yang sedang atau akan berlaku. Jauh-jauh hari, para tim yang telah ditempatkan di Tempat Pemungutan Suara mulai berjibaku memastikan hasil hitung suara di tiap kelurahan.
Lembaga survey pun tak mau ketinggalan. Beberapa jam setelah pemilu, empat lembaga survei yang melakukan proses penghitungan cepat (quick count) menunjukkan pasangan dengan nomor urut 5, GanTeng, mengungguli empat pasangan lainnya dengan raihan suara 32,8 persen, jauh di atas keempat pesaingnya. Pasangan Effendi Simbolon - Jumiran Abdi di tempat kedua dengan 23,93 persen, disusul Gus Irawan Pasaribu - Soekirman dengan 21,82 persen suara, pasangan Amri Tambunan – RE Nainggolan memperoleh 12,01 persen dan Chairuman Harahap - Fadly Nurzal meraih 9,37 persen suara. Empat lembaga survei tersebut antara lain, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Puskaptis, Indo Barometer, dan Cyrus Network.
Kemenangan ini membuat Gatot Pujo Nugroho, kandidat pemenang pemilu versi Quick Count langsung ber-Harlem Shake. Sementara di sisi lain, tim ESJA, pasangan nomor urut dua berang dengan hasil perolehan suara yang dikeluarkan oleh lembaga survey tersebut, seraya meng-klaim bahwa kandidat mereka merupakan pemenang pemilu. Pasca keluarnya hasil hitungan cepat (quick count) sejumlah lembaga survey yang menyatakan pasangan Gatot-Pujo Nugroho-Tengku Erry Nuradi (GanTeng) unggul pada Pilgubsu 2013, suhu politik keamanan di Sumut mulai memanas. Bahkan beberapa hari pasca pasca penjoblosan, keamanan di Sumut terusik dengan adanya ancaman bom di kantor KPU Sumut lewat pesan singkat (SMS). Selain itu, berhembus kabar akan adanya pengerahan massa dalam upaya menolak kemenangan pasangan GanTeng.
Menyikapi hal ini, KPU Sumut sebagai pihak penyelenggara pemilu menyatakan akan tetap berpegang pada perhitungan suara yang rencanananya besok, 14 Maret 2013 kotak suara akan dibuka dan direkapitulasi secara berjenjang yang diawali dari TPS, PPK, KPU kabupaten/kota hingga KPU provinsi.
Sejatinya, kontes demokrasi memang menyisakan teka-teki panjang yang acap tanpa jawab. Tidak hanya menanti hasil kemenangan para kandidat terpilih dalam pemilu, namun juga menanti teka-teki babak baru, yaitu akankah pemimpin terpilih melaksanakan janji-janji atau kontrak politik yang telah mereka tanda tangani? Akankah kesepakatan demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat kelak dilaksanakan alih-alih dilupakan?
Tapi inilah demokrasi. Inilah pemerintahan rakyat itu. Inilah sistem yang mau tidak mau, tahu tidak tahu, harus diterima oleh rakyat melalui software demokrasi, yaitu pemilu. Tapi karena teka-teki demokrasi kelewat musykil, baiklah kita serahkan persoalannya kepada kontestan terpilih yang berikutnya akan memimpin Sumatera utara.
Mari ber-demokrasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H