Mohon tunggu...
Dinissa Azhari
Dinissa Azhari Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Untirta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Feature Human Interest: Kerikil Tersembunyi, di Balik Jalan Skripsi

2 September 2024   22:04 Diperbarui: 2 September 2024   22:05 1292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kendala utama seorang murid itu bukanlah kurangnya kecerdasan tapi masalah psikologi,” kutipan Maryam Qonita, sosok Influencer Inspirator, masih mengakar hebat di dalam jiwa Anisa Mumtaz.

Sebelum menjadi sarjana Pendidikan Agama Islam di Universitas Syarif Hidayatullah, Jakarta, Mumtaz merupakan mahasiswa tingkat akhir yang sempat tersandung kerikil di balik jalan skripsi. Melangkahi setiap tanjakan, guncangan, sandungan, tak ayal membuatnya harus lulus di semester ke 12, tentu setelah ia berhasil melewati lingkar benang kusut dalam pikiran.

Perempuan itu bercerita banyak mengenang perjuangannya sebagai mahasiswa tingkat akhir. Tak mudah memang. Faktor utama dalam mengerjakan skripsi tak luput dari masalah manajemen waktu, membangun mood sampai motivasi. Kelihatan simpel namun punya dampak besar. Mumtaz merupakan anak dari seorang pengusaha ayam bakar, Warung sederhana yang ramai dikunjungi pembeli dari berbagai usia. Selama akhir semester di tengah pandemi, Mumtaz kerap membantu berjualan, “Setiap hari aku bantuin Umi di warung dari Siang sampai Maghrib atau sampai nutup warung sekitar jam 11 atau jam 12 malam,” ujarnya.

Perempuan itu selalu berencana mengerjakan skripsi usai kembali dari warung. Namun, saat sampai rumah, benda canggih persegi panjang miliknya atau yang dikenal Handphone yang justru disentuh dan dimainkan ‘lagi’. berencana bangun malam demi skripsi namun kebablasan tidur. Ketika pagi menjelang, ia kembali memejamkan mata saat kantuk menyerang usai tidur malam, dan akan tetap tidur walau tidak mengantuk. 

“Kadang walaupun pagi enggak ngantuk pun tetap tidur karena nggak ada motivasi dan semangat untuk bangun dari tempat tidur,” ungkap Mumtaz. Diselingi omelan kedua orangtua, dengan pola hidup yang terus terulang seperti itu, Mumtaz merasa lelah sendiri, “Akhirnya kesehatan mentalku agak terganggu karena planning-planning yang gak kunjung dilaksanain,” katanya.

Sampai dimana, Mumtaz bertemu waktu luang untuk mengerjakan skripsi, sekaligus menemukan titik ‘stuck’, “Gak bisa berpikir apa yang mau dikerjakan, terus overthinking sama skripsi yang gak tau benar salahnya, merasa loneliness.” Mumtaz merasa tak bisa mengganggu teman-temannya yang sudah terlihat sibuk dengan aktivitasnya, bahkan untuk sekedar bertanya perihal kesulitannya. Perempuan itu hanya mematung di hadapan layar laptopnya, “Akhirnya berujung ke drakor (drama korea), berharap bakal ada ilham yang muncul, tapi semakin mengganggu dari segi waktu,” ujarnya. 

Namun demikian, Mumtaz mengakui hal tersebut sedikit membantu dari segi kesehatan mental yang membuatnya semangat atau merasa sedikit lega. Dari sini, ia pada akhirnya menerapkan dan memutuskan untuk menonton kajian-kajian yang dapat menentramkan hati dan jiwa, membiasakan diri bercerita dengan Allah sehabis sholat.

Tekanan batin itu menjadi, ketika kedua orangtua Mumtaz mulai bertanya dengan berulang, “Kapan lulus?” tak lupa tekanan-tekanan yang datang dari sekitar, dengan berbagai ucapan yang mengundang overthingking. “Sampai di titik pikiranku selalu menyalahkan keadaan,” Mumtaz lelah dengan pikiran buruknya. Di tahap ini, Mumtaz sampai pada kehilangan fokus dalam bekerja melayani pelanggan di warung Umi-Abinya, “Entah salah saat menghitung uang atau ketika melayani pesanan,” ucap Mumtaz. Pada akhirnya menjadi sebuah omelan ketika kesalahan tersebut terus terulang. Menjadikan Mumtaz tak jarang menangis tanpa sepengetahuan kedua orangtuanya.

‘Satu Persen’, Mumtaz dikenalkan dengan channel Youtobe tersebut oleh salah satu temannya yang berbaik hati sempat menanyakan kabarnya di saat ia hilang arah. Channel tersebut membahas tentang psikologi. “Kutontonlah satu-satu yang ternyata relate banget sama apa yang aku alamin,” ucapnya. 

Mumtaz memutuskan untuk memulai konsultasi dengan mentor yang berada di ‘satu persen’. Saat itu, mulai ada harapan-harapan baru dan titik bangkit. “Ternyata aku cuma butuh mengeluarkan unek-unek yang ada di pikiranku. Dari konsultasi itu, aku menulis keluh kesahku, terus dikasih saran dan ilmu tentang yang aku alamin,” ujarnya.

Mumtaz mulai terbuka pikirannya dengan kesehatan mental. Ia makin rajin untuk lebih mengenal dirinya sendiri. Berusaha ikhlas dengan keadaan. Mulai bangkit membuat planning-planning dan aksi nyata. Tidak mudah untuk bangkit dan melalui proses, namun ia bisa sedikit demi sedikit, “Harus maksain diri,” tekad Mumtaz. Melalui proses itu, Mumtaz mencoba evaluasi apa yang membuatnya insecure, atau penyebab apa yang membuatnya down

Perempuan itu mulai mengurangi penggunaan handphone, ataupun melihat status orang dalam sosial media, yang membuatnya semangat namun tak jarang membuatnya down. Ia mulai menargetkan waktu dalam menggunakan HP selama sehari untuk berapa jam, hingga melakukan uninstall pada aplikasi Instagramnya.

Mumtaz mulai meluangkan waktu untuk diri sendiri ‘me time’, ke perpustakaan nasional sendiri, memandang orang-orang di jalan, Gedung, atau busway. Setelah sampai Perpustakaan Nasional ia mulai menulis tentang diri sendiri, berbicara dengan diri sendiri, dan apa yang ingin dilakukan selanjutnya. “Mungkin ini juga yang bisa disebut ‘healing’ sebenarnya,” ucap Mumtaz.

Healing yang sebenarnya itu ketika kita melakukan sesuatu yang bisa buat kita ‘sembuh’ secara mental. Dalam artian dengan melakukan itu, kita jadi bisa menerima segala sesuatu yang ada pada diri kita. Termasuk kelemahan, dan masalah kita,” jelasnya. Mumtaz menganggap bahwa jalan-jalan memang bisa menjadi salah satu atlernatif untuk ‘healing’, namun, jika hal tersebut seakan membuat kita lari dari kenyataan, akan menghasilkan beban yang semakin menumpuk. Hingga, menjadi tak pernah puas dari setiap kesenangan yang diciptakan sendiri.

Mumtaz merasa bahwa sangat penting untuk sadar tentang kesehatan mental, saat mengerjakan skripsi. “Gak cuman saat mengerjakan skripsi sih sebenarnya, karena selama hidup pasti selalu berdampingan dengan masalah dan ujian. Jadi, kita harus tau apa yang sebenarnya terjadi pada diri kita. Ibarat kalo fisik, kita lagi kena flu, lalu kita tahu kalo kita kena flu, sehingga kita tahu obat apa yang bisa kita minum untuk bisa sembuh dari flu. Begitu juga dengan mental,” jelas Mumtaz.

Mumtaz menyadari bahwa, dalam proses mengerjakan skripsi bukan hanya orang yang memiliki IQ tinggi atau anak-anak pintar yang bisa menyelesaikan tahap-tahap ini dengan baik. Namun, butuh tekad kuat, niat, konsistensi, dan kondisi mental yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun