Mohon tunggu...
Dini Kinanti
Dini Kinanti Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Enjoy everything in this Life...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pacar Ibarat Sepatu ?!?

25 Februari 2013   10:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:43 926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Heh! Bengong aja daritadi!” bentak Chacha menyadarkanku. “Elo tuh kenapa sih? Abis selese nonton film di Youtube, langsung bengong nggak jelas gitu! Tatapan mata kosong, tapi kening berkerut-kerut. Gue yang ngeliatnya jadi serem…” omel Chacha dan dengan gesitnya merebut Laptop yang ada dihadapanku.“Ohhh… Pantesan elo bengong nggak jelas gitu! Ternyata elo abis nonton film galau! Yaelah… harus banget ya, abis nonton Film galau terus elo jadi ikutan galau?” protes Chacha lagi.

Chacha adalah orang terdekatku di Klub Film Indonesia di Kampusku. Saat pertama kali berkenalan dengannya, Aku langsung merasa seakan ada magnet diantara Aku dan Chacha. Orangnya sangat periang, dan sangat benci dengan kata GALAU. Bisa dibilang, Chacha adalah anti-GALAU garis keras. Makanya dia paling nggak suka kalo orang-orang yang berada disekitarnya, terjangkiti ‘virus’ Galau.

“Cha, kata film yang tadi gue tonton… Milih pacar itu ibarat milih sepatu. Semua orang pasti milih sepatu, tapi nggak semuanya pas! Sekarang, pilihannya Cuma ada dua: masih mau pake itu sepatu atau cari yang lain?” tuturku menumpahkan apa yang ada di isi kepalaku.

“Terus?” Chacha tahu pasti masih ada kelanjutan dariku. Chacha sudah hafal betul dengan sifatku yang doyan banget membahas dialog-dialog film yang habis Aku tonton.

“Kok, gue ga setuju ama perumpamaan itu ya? Kalo Pacar itu diibaratkan dengan Sepatu, berarti nggak akan ada Pacar yang setia donk?” sambungku masih dengan membayangkan dialog yang diucapkan dalam Film ‘Galau’ yang barusan Aku tonton.

“Kenapa Elo bisa bilang begitu?” sahut Chacha berusaha mengorek inti dari bahasanku. Ia tahu betul, di saat-saat seperti ini, Aku harus dipancing agar bisa keluar semua yang ingin Aku bahas.

“Gini, Semua orang pasti milih sepatu yang pas untuk di kaki, itu gue setuju. Sementara, pilihan yang dikasih Cuma dua: masih mau pake sepatu yang pas itu atau cari yang lain? Nah, elo sadar nggak sih kalo nggak selamanya kita akan memakai sepatu yang pas itu? Pasti suatu saat kita akan menggantinya dengan yang baru, karena sepatu yang tadinya udah pas itu rusak. Yang artinya, kita harus milih sepatu baru yang pas di kaki kita lagi. Nggak mungkin kan kita memaksakan pake sepatu yang udah nggak layak pakai? Kalo terus cari yang baru berarti kita nggak pernah setia ama satu sepatu donk? Kita akan terus mencari yang baru… Sama aja, kalo Pacar kita udah nggak sesuai, kita cari pacar yang baru. Gitu ceritanya, kapan selesainya? Nggak bakalan ada abisnya donk? Masa iya, setiap kita ngerasa nggak pas, kita harus ganti pacar baru? Nggak setuju gue…” jelasku menyuarakan ketidaksetujuanku terhadap salah satu dialog yang diucapkan oleh Ramon Y, Tungka dalam Film ‘Galau’ tersebut.

“Hmmm… iya juga sih. Gue setuju ama elo. Soalnya seawet-awetnya sepatu pasti suatu saat akan rusak juga. Jadi mau nggak mau kita harus milih sepatu baru. Sekarang gini deh, mana ada sih orang pake sepatu yang sama selama puluhan tahun?? Pasti dalam puluhan tahun itu orang akan ganti-ganti sepatu atau alas kaki yang lain. Jadi, kalo Milih Pacar disamain sama Milih Sepatu, berarti nggak akan ada habisnya kita milih pacar. Setiap sepatu kita rusak, kita harus cari sepatu baru. Kalo diterjemahin jadinya: Setiap Pacar kita udah nggak sesuai, kita harus cari Pacar baru yang sesuai. Wah kalo itu mah gue juga nggak setuju!” sahut Chacha sembari menerjemahkan hasil pemikiranku.

“Gila juga… Pacar disamain sama Sepatu! Wah gue bener-bener nggak setuju!” sambung Chacha lagi dengan emosi meluap. Ia mulai mondar-mandir tak tenang di ruangan Klub Film Indonesia ini. Ia pun memasukkan jari telunjuk kanannya ke dalam mulut dan terlihat berpikir keras. Jika Chacha sudah mulai memasukkan jarinya kedalam mulut pertanda sedang terjadi pergolakan dalam diri Chacha.

“Cha, kok elo jadi emosi gitu?” tanyaku panik. “Tenang, Cha… Tenang…” Aku berusaha menenangkan dirinya, sekaligus menenangkan diriku sendiri yang tak siap melihat pergolakan dalam diri Chacha. Jujur, Aku tak menyangka Chacha akan seperti ini menanggapi bahasanku.

“Gue baru sadar… Gila yak kok bisa-bisanya Pacar disamain ama Sepatu?! Pacar disamain sama Alas kaki?!? Kebayang nggak sih, Pacar disamain ama Alas Kaki yang tiap hari kita injak-injak sesuka hati?! Sama aja artinya kalo Pacar itu emang bisa diinjak-injak sesuka hati!” sahut Chacha penuh emosi. Aku pun tersenyum simpul setelah mendengar apa yang membuat emosinya bergolak.

“Mungkin maksudnya nggak gitu juga, Cha… Sesuai namanya, alas kaki diciptakan untuk menjadi alas kaki kita yang siap untuk diinjak-injak. Tapi, selain untuk diinjak-injak, alas kaki juga diciptakan sedemikian rupa untuk membuat kita nyaman dan merasa terlindungi. Dengan adanya alas kaki, kita jadi bisa nyaman pergi kemana-mana. Kita jadi merasa nggak merasa takut kaki kita akan terluka jika bertemu duri atau bebatuan tajam dijalan, karena kaki kita terlindungi oleh alas kaki.” balasku tenang. Chacha pun mulai terlihat tenang dan mengangguk-angguk setuju. “Jadi jangan langsung menarik kesimpulan kalau Alas kaki ada hanya untuk diinjak-injak. Sama halnya dengan pacar. Mungkin kenapa sang penulis skenarionya mengibaratkan pacar dengan sepatu, karena dia melihat sisi nyaman dan melindungi dari sebuah alas kaki. Milih pacar ibarat milih sepatu, bisa diartikan Pilihlah Pacar seperti memilih sepatu yang bisa membuat kita nyaman dan merasa terlindungi.” tuturku menambahkan. Aku berharap penjelasanku ini bisa meredakan pergolakan yang terjadi pada Chacha. Dan sepertinya penjelasanku membuahkan hasil. Di sudut ruangan, aku lihat dirinya mulai tenang.

“Iya juga ya… Pinter juga, elo!” sahut Chacha gembira. “Wahh… Gue nggak nyangka kalo pemikiran Elo bisa sampai sedalam itu!” puji Chacha tulus yang serta merta membuat dadaku berdetak dag dig dug serrr…

“Siapa dulu dong, Bagas!” untuk menutupi ke-GR-anku, Aku memilih membanggakan diri. “Cihh… Baru dipuji dikit, langsung lupa daratan!” timpal Chacha dengan bibir mencibirnya yang khas. Membuatku semakin gemas dengan tingkahnya. Tak tahan dengan cibirannya, Aku mendekati Chacha dan mengacak-acak rambut halusnya. Kontan, Chacha langsung melawan tak mau kalah. Ia membalas menggelitiki pinggangku yang merupakan titik lemahku.Setelah puas bercanda, Kami pun duduk kembali di depan laptop.

“Jadi, menurut kamu filmnya bagus apa nggak?” tanya Chacha meneruskan diskusi yang sempat terhenti. Chacha kembali serius. Tanda pembicaraan mulai serius, adalah ketika Chacha menggunakan bahasa ‘Aku-Kamu’ kepadaku.

“Overall, film-nya lumayan bagus. Ceritanya ringan, cocok banget buat target film itu sendiri yaitu ABG-ABG yang labil dan galau. Pemeran-pemerannya juga lumayan oke, nggak terlalu lebay. Walaupun ada beberapa pemeran yang menurut Aku aktingnya masih kurang oke.” jawabku jujur.

“Oia, Aku hampir lua! Ada satu dialog yang Aku suka. Dialog itu diucapin sama Ayahnya sang pemeran utama.” Tiba-tiba Aku teringat dengan dialog yang diucapkan oleh Joe P.Project. “Oia? Dialog yang mana?” sahut Chacha antusias.

“Hawa itu diciptakan dari tulang rusuk Adam. Tulang Rusuk itu bentuknya seperti telapak tangan kita yang sedikit bengkok. Kita tidak dapat memaksa untuk meluruskannya karena akan patah. Begitu juga dengan perempuan, nggak bisa kita paksakan melainkan kita yang harus bisa mengikutinya…” ucapku menuturkan dialog menuju di penghujung Film ‘Galau’ yang barusan Aku tonton.

“Kalo yang ini, Aku setuju!” timpal Chacha semangat. “Sama… Aku juga setuju, kok ama dialog yang satu ini” sahut Aku tak mau kalah. “Duileee… segitu semangatnya. Pengalaman pribadi ya?” canda Chacha membuatku salah tingkah. “Sialan, kamu…” sungutku kesal disambut tawa membahana darinya.

“Tau ga? Film itu sebenernya pas banget buat Kamu. Aku sebenernya udah nonton Film ‘Galau’ itu sebelumnya. Dan ada satu dialog yang menurut Aku pas banget buat Kamu…” ucap Chacha tiba-tiba. “Dialog yang mana, Cha?” tanyaku bingung, lebih tepatnya pura-pura bingung.

“Cewek Sempurna itu cuma ada di novel-novel teenlit. Di dunia nyata, nggak akan pernah ada cewek sempurna itu. Nggak akan pernah ada.” ucap Chacha menirukan dialog dari pemeran utama wanita dalam film itu. Jujur, itu membuatku tertohok.

Aku tahu kemana arah pembicaraan ini. Sebenarnya, kehidupan cintaku tak jauh beda dengan Bara – tokoh utama dalam film ‘Galau’ tersebut.

Dari awal pertama masuk ke Klub ini, Aku sudah merasakan desir-desir aneh pada Chacha. Kami sempat sangat dekat, sampai-sampai semua anggota klub menganggap kami pacaran. Namun, kenyataannya tidak. Saat itu, ada satu hal dari diri Chacha yang tak bisa Aku terima, yaitu sifat cuek nan tomboy. Aku pada dasarnya sangat tidak suka dengan cewek tomboy, karena itu saat Chacha meminta hubungan kami agar lebih dari sekedar persahabatan, Aku langsung menolaknya dengan tegas. Aku nggak akan menerimanya jika ia tak mau merubah dirinya menjadi cewek feminin.

Disaat yang sama, ada seorang cewek sesuai tipeku datang mendekatiku. Cewek itu adalah salah satu anggota Klub Tari tradisional di kampusku. Sudah jelas, ia cewek yang sangat feminin. Tanpa basa-basi, Aku pun mengajak cewek itu jadian. Namun, sifat feminin dari cewek itu justru menjadi boomerang untukku. Cewek itu manjanya minta ampun! Merasa tak sanggup, akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan cewek itu. Padahal usia hubunganku saat itu baru menginjak 3 bulan.

Sejak kejadian itulah, hubunganku dan Chacha menjadi sangat jauh. Tak bertegur sapa hampir selama setahun. Tak usah ditanya, penolakanku terhadap Chcaha menggoreskan luka yang sangat dalam. Namun karena prinsip anti-GALAU yang ia miliki, ia bisa bangkit dengan cepat.

Kucoba berbagai cara untuk mengembalikan hubungan kami seperti sedia kala. Sampai akhirnya, Chacha mau memaafkanku dan menerimaku kembali persahabatan kami. Kini, sudah 2 tahun hubunganku dengannya kembali membaik. Dan kini, gantian Aku yang ingin hubunganku dengan Chacha lebih dari seorang sahabat. Seolah Aku mendapat hukum karma. Setelah Aku menolaknya mentah-mentah, kini Aku tak bisa jauh darinya. Tapi Aku takut untuk menyatakan perasaanku ini, karena Aku takut giliran Chacha yang akan menolakku dan mencampakanku, seperti Aku melakukannya dulu.

Aku tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa memendam saja. Lebih baik tetap seperti ini. Dengan menjadi sahabatnya, Aku bisa tetap berada disampingnya. Begitu Pikirku… Sampai akhirnya Aku tak kuasa untuk menahannya lagi…

“Iya… Aku sadar kok. Nggak ada cewek yang sempurna di dunia ini, sama halnya dengan cowok. Cowok juga nggak ada yang sempurna. Karena itu, Aku mohon Kamu mau maafin segala kesalahan Aku dan memulai lembaran baru bersamaku. Bukan sebagai seorang sahabat, tapi… sebagai sepasang kekasih. Aku udah nggak kuat menahan semua perasaan sayang Aku sama kamu, Cha… Aku rela kok, kamu jadiin alas kaki yang bisa kamu injak sesuka hati kamu, asalkan Aku bisa membuat kamu nyaman sekaligus melindungi kamu.” tembakku langsung, kepalang kadung. Kulihat shock di raut wajah Chacha.

Lama kami terdiam… 5 menit… 10 menit… Hingga kulihat guratan shock itu perlahan berubah menjadi guratan senyum bahagia.

“Oke… Aku rasa, udah saatnya Aku ganti sepatu dengan sepatu baru. Tapi asal kamu tahu, Kamu bakalan jadi Sepatu kesayangan Aku seumur hidup! Kalo kamu udah mulai rusak atau nggak nyaman, Aku akan berusaha memperbaiki Kamu biar Kamu bisa terus membuat Aku nyaman!” jawab Chacha riang. Tanpa babibu, langsung kupeluk tubuh imutnya.

“Aku janji akan jadi sepatu terkuat agar kamu nggak perlu ganti sepatu seumur hidup kamu! Dan Aku ingin, kamu bantu Aku untuk menjadikanku sepatu yang terkuat dalam hidup kamu.” bisikku tepat di telinga Chacha.

*****

Jakarta, 25 Februari 2013 (03:44 WIB)

Terinspirasi dari Film “Radio Galau FM”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun