Bakda Isya, Savana bersiap diri untuk pergi bersama Zikri. Setelah menyelesaikan memakai kerudung, di tatapnya cermin sambil tersenyum, "cantik, manis," lirihnya dengan ekspresi wajah yang berseri.
Malam ini ia memakai gamis berwarna mocca dengan jilbab yang senada. Merasa sudah siap, diraihnya kunci motor dan melengang ke luar rumah.
Belum sampai membuka pintu, Savana berhenti sejenak seraya berkata, "Ngapain gue bawa motor, ya? Si Hamizan mau jemput gue, nggak, ya?" lirihnya.
Beberapa menit kemudian ponsel miliknya berbunyi, pertanda telepon masuk. Tertera nama Alkhalifi Zikri Hamizan.
Segera Savana mengangkat teleponnya, "Nah kan baru ada nelpon gue, elo."
"Sans dong, daritadi gue telpon elo nggak diangkat. Gue udah di depan rumah elo!" Hamizan mematikan sambungan telponnya.
"Ishhh... dasar cowok nyebelin!"
Sebelum ke luar, Savana menetralkan perasaannya agar tidak terlihat marah-marah di depan Zikri. Seanggun mungkin gadis itu menghadapi teman laki-laki yang menurutnya menyebalkan.
"Udah siap?" tanya Zikri memastikan.
"Udah dong," jawab Savana meyakinkan.
"Naik motor, nggak papa?" tanya Zikri sekali lagi.