Mohon tunggu...
Dini Roudhotul Jannah
Dini Roudhotul Jannah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Jember

Berorientasi pada masa depan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rempang Vs Pemerintah

24 September 2023   19:29 Diperbarui: 24 September 2023   19:51 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ricuh antara masyarakat Rempang dan aparat negara sedang menjadi pembicaraan panas akhir akhir ini. Sebenarnya apa yang membuat konflik ini pecah?

Dilansir situs Kemdikbudristek, Pulau Rempang adalah salah satu pulau di wilayah Kecamatan Galang, yang berada di bawah wilayah Kabupaten Kepulauan Riau. Rempang terhubung langsung dengan Pulau Galang dan Pulau Batam melalui jembatan Barelang. Secara administratif, Pulau Rempang masuk wilayah Pemerintah Kota Batam. Jembatan Barelang merupakan singkatan dari Batam, Rempang, dan Galang, yang menjadi sebuah jembatan penyambung antarwilayah di Rempang, yang dibangun untuk memperluas Otorita Batam sebagai regulator daerah industri Pulau Batam. Daerah dengan Luas wilayah 165 kilometer persegi dan jumlah penduduk 7.512 jiwa (Badan Pusat Statistik) ini mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan dan pelaut.

Masuknya Pulau Rempang dalam wilayah Kota Batam bermula dari Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 28 Tanggal 29 Juni 1992 dimana pemerintah melakukan penambahan wilayah kawasan industri Pulau Batam. Karena kegiatan usaha pulau Batam meningkat tetapi ada keterbatasan daya dukung sehingga masuklah pulau Galang dan pulau Rempang dengan status kawasan berikat. Selain itu, tujuan kebijaksanaan pemerintah mengintegrasikan Pulau Rempang dan Pulau Galang ke dalam wilayah kerja Otorita Batam adalah untuk masa depan pengembangan wilayah itu. Namun, pada kenyataannya wilayah kerja otorita tersebut sering kali menimbulkan masalah. Sejak hadirnya Otorita Batam yang juga dikenal sebagai Badan pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam), memiliki hak pengelolaan atas seluruh tanah di wilayah tersebut. Peraturan itulah yang kerap memunculkan konflik agraria di Batam. Sebelum di Pulau Rempang, hal yang serupa terjadi di Pulau Galang.

Konflik agraria disebabkan karena adanya kesenjangan antara sumber-sumber agraria. Seperti kesenjangan penguasaan dan kebijakan yang saling bertentangan. Biasanya berfokus pada penguasaan dan pengelolaan agraria yang mencakup tanah, air, dan udara. Pengelolaan agraria oleh negara untuk kepentingan masyarakat biasanya dalam kenyataannya masih jauh dari apa yang diamanatkan dalam undang-undang. Hal itu menimbulkan berbagai konflik agraria. Alasan munculnya konflik agraria yang berkepanjangan sendiri karena penanganan konflik agraria melalui berbagai lembaga negara yang tidak optimal dalam menyelesaikan konflik, Akar Akar sumber konflik agraria belum diperbaiki, Ada sesuatu yang salah dalam kebijakan pengelolaan sumber daya agraria dan Semakin meningkatnya intensitas menggunakan kekerasan.

Penggunaan kekerasan pada awalnya adalah langkah terakhir dari para pihak yang bersengketa jika proses penyelesaian buntu. Namun dalam konflik agraria, penggunaan kekerasan hampir selalu digunakan oleh pihak yang memiliki kekuatan (posisi yang didukung pemerintah, Polri, sampai TNI, atau memiliki dana). Penggunaan kekerasan itu akan menimbulkan pihak korban yang haknya dilanggar merasa putus asa. Ini yang membuat konflik agraria kadang berkepanjangan karena melanggar hak asasi manusia. Sama halnya dengan yang terjadi di pulau Rempang ini, dimana Bentrokan antara warga Rempang, Batam, Kepulauan Riau dengan aparat gabungan dari TNI, Polri, dan Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam pada 7 September 2023 yang terjadi akibat konflik lahan atas rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City.

Rempang eco city sendiri adalah mengembangkan wilayah Rempang menjadi kawasan industri hijau dan berkelanjutan dengan. Tujuannya untuk membuat kawasan ini pusat  pertumbuhan ekonomi di wilayah Batam dan Kepulauan Riau secara keseluruhan. Rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City mencuat sejak 2004. Kini, pembangunan Rempang Eco City masuk dalam Program Strategis Nasional tahun ini (PSN 2023)  sesuai Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023. Dengan adanya program ini tentu saja banyak investor yang mulai berinvestasi untuk program PSN ini. Perusahaan PT Mega Elok Graha (MEG) merupakan anak perusahaan milik Tomy Winata, Artha Graha Network (AG Network) ini salah satunya. Perusahaan ini akan melakukan pembangunan di kawasan Pulau Rempang, Batam. PT MEG merupakan perusahaan yang mendapatkan hak pengelolaan terhadap 17.000 hektar lebih lahan di kawasan Rempang sejak 2004 hingga kini. Selain itu, ada Xinyi Glass Holdings Ltd merupakan anak perusahaan Xinyi Group. Perusahaan ini rencananya akan menggelontorkan dana investasi sebesar Rp 381 triliun hingga 2080. Di awal kerja sama, perusahaan asal Cina itu memberi komitmen investasi senilai sekitar Rp 175 triliun. Xinyi akan membangun pabrik kaca dan panel surya dengan bahan baku pasir kuarsa dari Kepulauan Riau, seperti Pulau Lingga dan Natuna. Untuk proyek itu, dibutuhkan kesiapan tanah prioritas seluas kurang lebih 1.154 hektar dengan penyerahan tanah clear and clean selama 30 hari.  Sehingga terjadi relokasi besar besaran di wilayah Rempang. Wacananya, pabrik kaca itu akan menjadi yang terbesar kedua di dunia.

Namun, wacana ini tampaknya tidak berjalan dengan mulus. Relokasi tidak berjalan dengan lancar, ribuan warga menolak direlokasi. Bentrokan tidak terhindarkan antara aparat yang memaksa masuk ke wilayah Rempang guna memasang patok batas proyek dengan warga lokal Rempang yang berusaha menolak proyek tersebut. Ketika aparat mulai masuk ke kampung, terjadi lemparan batu dari arah warga. Aparat membalasnya dengan menyiramkan air dan menembakkan gas air mata.Gas air mata dilaporkan masuk ke kawasan sekolah, yaitu SMP 33 Galang dan SD 24 Galang. Dilaporkan  ada 11 siswa yang dilarikan ke rumah sakit. Dan 7 orang ditahan atas insiden ini tetapi berakhir dibebaskan.

Lantas apa yang menjadi alasan masyarakat Rempang menolak direlokasi ke wilayah lain padahal relokasi ini bukan tanpa alasan dan imbalan. Masyarakat diberikan Lahan seluas 500 m per kepala keluarga yang telah disertifikatkan pemerintah, dan rumah tipe 45 dam Relokasi ini BP Batam pastikan tidak akan mengganggu kehidupan dan mata pencaharian mereka yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Dana sekitar 1.6 triliun digelontorkan untuk relokasi ini. Karena alasan warga menempati wilayah tersebut sudah sangat lama bahkan tujuh hingga delapan turunan membuat mereka enggan direlokasi sebab mereka memiliki hak untuk mengatur lahan tersebut. Selain itu, warga tampaknya juga khawatir akan pembangunan proyek tersebut yang dimana akan berdampak kepada perekonomian mereka misalnya kehilangan mata pencaharian dan juga kerusakan alam. Hal hal pokok tersebut menjadi alasan masyarakat rempang menolak keras proyek PSN tersebut.

Melihat masyarakat yang mempermasalahkan kepemilikan tanah seharusnya ada langkah tegas dari pemerintah. Pendudukan oleh masyarakat Pulau Rempang ini tidak serta-merta menjadikan masyarakat tersebut menjadi pemilik tanah dimaksud. Terhadap hal pendudukan ini, harus ada kebijakan khusus dan tidak harus dipertahankan. Model penyelesaian sengketa penguasaan tanah antara masyarakat dan BP Batam harus diawali dengan penelusuran riwayat tanah melalui sejarah, cagar budaya, tanda-tanda fisik alam---seperti usia pohon atau tanaman keras yang ditanam---pengakuan dan kesaksian masyarakat serta lembaga adat. Sehingga jelas tanah tersebut sebenarnya milik siapa dan dalam penelusuran tersebut harus ada transparansi dari berbagai pihak agar tidak menimbulkan konflik baru. Kenyataannya masyarakat Rempang juga telah mengajukan legalitas tanah tersebut kepada pemerintah namun tidak kunjung diberikan.

Selain itu, sebelum melakukan relokasi sosialisasi penting dilakukan. Bukan hanya searah tetapi harus dari dua arah, saling berkontribusi untuk kedepannya seperti apa. Menurut yang saya baca, sosialisasi memang sudah dilakukan sejak bulan Juni lalu tetapi masyarakat seperti salah tangkap dengan maksudnya atau mungkin termakan berita hoax sehingga muncul bentrokan, di sosialisasi dikatakan bahwa yang terjadi di kawasan Pulau Rempang bukan penggusuran. Ia mengatakan yang terjadi adalah pengosongan lahan oleh yang berhak untuk dijadikan wilayah Rempang eco city yang diharapkan dapat membantu memajukan masyarakat disekitarnya. Namun pada kenyataannya masyarakat rempang yang sudah tinggal di sana sejak lama tidak diikutsertakan dalam pembentukan program ini sehingga wajar bila mereka secara tegas menolak relokasi untuk program ini. Intinya mereka tidak menolak pembangunan yang akan dilakukan pemerintah terhadap wilayahnya tetapi menolak relokasi untuk kepentingan program ini.

Selain itu, tindakan tindakan BP Batam, polisi, dan TNI di Pulau Rempang telah melanggar konstitusi Republik Indonesia yang mengamanatkan negara untuk melindungi segenap warga negara Indonesia. Dimana seharusnya mereka melindungi dan mengayomi masyarakat lokal malah membela investasi yang akan menggusur masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun