Mohon tunggu...
Dini Pratiwi
Dini Pratiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Dampak Perubahan Iklim di Indonesia

13 Desember 2017   10:27 Diperbarui: 13 Desember 2017   12:05 11407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perubahan iklim merupakan sebuah fenomena alam yang akan terus terjadi sampai ratusan tahun mendatang dan hal ini tidak dapat kita hindari.   Namun, pemanasan global yang terjadi sejak revolusi industri telah mempercepat terjadinya perubahan iklim.  Walaupun kita tidak dapat mencegah terjadinya perubahan iklim, namun kita dapat berupaya melakukan banyak hal agar perubahan iklim tidak terjadi dengan cepat seperti saat ini. 

Banyaknya emisi karbon terperangkap di atmosfer membuat bumi semakin panas adalah faktor penyebab terjadinya perubahan iklim.  Tanpa kita sadari, aktivitas-aktivitas yang kita lakukan sehari-hari juga menyumbangkan jumlah emisi karbon di atmosfer.  Contohnya seperti polusi udara berupa CO2 yang dihasilkan dari kendaraan bermotor yang kita kendarai.  Pembakaran bahan bakar minyak di sektor transportasi di Jakarta menghasilkan 182,5 juta ton CO2 per tahun (https://databoks.katadata.co.id).  Tidak hanya kendaraan, alat-alat elektronik yang kita gunakan sehari-hari seperti lampu, kipas angin, televisi, air conditioner, komputer dan alat elektronik lainnya yang menggunakan listrik juga menimbulkan kenaikan konsentrasi emisi CO2.  Kegiatan-kegiatan industri lainnya di pabrik dan perkantoran juga merupakan salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca di atmosfer.

Masih banyak orang yang tidak peduli terhadap lingkungan karena tidak menyadari dampak dari perubahan iklim yang terjadi saat ini.  Perubahan iklim telah memberikan dampak yang besar bagi Indonesia di berbagai macam sektor.  Kenaikan suhu yang terjadi sejak pertengahan abad 19 menyebabakan cuaca ekstrim di dunia yang memicu berbagai bencana alam.  Diperkirakan pada tahun 2050, 136 kota-kota besar di dunia yang terletak di wilayah pesisir akan mengalami kerugian sebesar 52 juta dolar amerika akibat banjir karena naiknya permukaan air laut dan badai.  Sebagai ibu kota negara Indonesia, Jakarta merupakan salah satu diantara sepuluh kota-kota di dunia yang paling beresiko mengalami kerugian besar akibat banjir karena naiknya permukaan air laut [1][2].

Kenaikan air laut yang menyebabkan abrasi pantai dan mundurnya garis pantai beberapa kilometer menyebabkan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir menjadi kehilangan tempat tinggal dan sumber daya [3].  Pulau-pulau kecil di Indonesia terancam tenggelam akibat naiknya permukaan air laut.

Beberapa tahun ini siklon tropis melanda sejumlah daerah di Indonesia.  Berdasarkan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), sudah ada lima kali siklon tropis yang terjadi di Indonesia.  Siklon tropis Durga melanda perairan barat daya Bengkulu tahun 2008 menimbulkan gelombang setinggi tiga meter.  Tahun 2010 siklon tropis Anggrek menerjang perairan barat Sumatra.  Empat tahun kemudian perairan barat daya Sumatra terkena siklon tropis Bakung.  Bulan November lalu timbul siklon tropis Cempaka di perairan selatan Jawa Tengah yang membuat curah hujan yang tinggi di Yogyakarta dan banjir di Pacitan.  Siklon tropis Dahlia meningkat di wilayah barat daya Bengkulu terjadi pada bulan November tahun ini.  Curah hujan yang tinggi di Bengkulu merambat ke Lampung hingga Jawa Barat bagian selatan berpotensi banjir dan longsor. 

Banjir yang diakibatkan dari curah hujan yang tinggi membuat lingkungan menjadi tercemar dan kotor sehingga menimbulkan berbagai macam penyakit seperti diare, kolera, demam berdarah.  Beberapa penyakit lainnya seperti malaria juga ditimbulkan karena kenaikan suhu di atmosfer. Dalam sektor kesehatan, perubahan iklim tentu saja telah menimbulkan berbagai penyakit di Indonesia. 

Sebagai negara agraris, Indonesia mengalami kerugian besar dalam sektor pertanian akibat perubahan iklim.  Terjadinya musim kemarau yang panjang saat El-Nino Southern Oscillation (ENSO) menyebabkan kekeringan pada lahan pertanian membuat sistem irigasi menjadi terganggu sehingga menyebabkan kekeringan.  Area pertanian menjadi berkurang karena meningkatnya kerusakan lahan pertanian karena kurangnya ketersediaan air. 

Perubahan iklim juga menimbulkan hama-hama dan wabah penyakit pada tanaman.  Saat musim kemarau berkepanjangan muncul hama penggerek batang padi, hama belalang kembara.  Sedangkan musim hujan menimbulkan penyakit kresek dan blas pada padi [4].  Terjadi penurunan produksi pangan palawija dan gagal panen berpengaruh pada berkurangnya pendapatan para petani yang menyebabkan mereka bermigrasi ke daerah lain untuk mencari nafkah.

Indonesia yang merupakan segitiga terumbu karang dunia mengalami dampak yang cukup besar bagi terumbu karang akibat perubahan iklim.  Berdasarkan data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, kematian karang di Pulau Seribu dan Pulau Karimunjawa mencapai 90% pada tahun 1982-1983 dan terjadi lagi kematian karang di Laut Jawa sebesar 60% - 70 % tahun 1997 -1998 saat terjadi ENSO.  Kenaikan suhu air laut membuat terumbu karang menjadi stress sehingga melepaskan alga yang menghasilkan nutrisi bagi terumbu karang.  Pemutihan karang ini merupakan tanda bahwa karang dalam keadaan sekarat dan akan mati dalam beberapa bulan.  Sebagian besar hewan laut yang tinggal di terumbu karang menjadi kehilangan tempat tinggalnya.  Karang merupakan sumber keaneka ragaman hayati yang yang paling penting dan produktif [5].  Terumbu karang menjadi tempat tinggal lebih dari dua puluh lima persen ikan laut [6].  Keberadaan terumbu karang sebagai dasar ekosistem laut dapat mengubah keberagamaan biota laut.

Indonesia sebagai penghasil mangrove terbesar di dunia berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim.  Beberapa fungsi mangrove diantaranya sebagai habitat satwa, tempat sekuestrasi karbon, menjaga stabilitas pantai dari abrasi oleh ombak sehingga dapat memperkecil efek gelombang tsunami [7] [8]. Namun terjadi penurunan secara drastis luas kawasan hutan mangrove di Indonesia dari 4.25 juta ha menjadi 3.7 juta ha dalam tiga dekade belakangan ini. Terdapat 5.5 juta ha di luar kawasan hutan mangrove, yang 4.8 juga ha dalam keadaan rusak. Keberadaan ekosistem mangrove di Indonesia dalam posisi mengkhawatirkan [7].  Dari apa yang telah terjadi, kita sebagai masyarakat Indonesia seharusnya lebih peduli terhadap keberadaan mangrove di Indonesia dengan berkontribusi melakukan budidaya penanaman mangrove.  Kawasan mangrove seharusnya tidak dibabat menjadi tambak.

Mitigasi lainnya yang sedang diupayakan Indonesia yaitu melakukan pembangunan ramah lingkungan.  Lima kota di Indonesia sudah menerapkan konsep smart city dengan salah satu pilarnya yaitu smart environment. Ruang Terbuka Hijau semakin diperluas, Kita berharap adanya smart cities dapat menciptakan pembangunan yang ramah lingkungan untuk mengurangi terjadinya perubahan iklim.  Peningkatan luas ruang terbuka hijau, mengurangi sampah, efisiensi energi merupakan hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembangunan di perkotaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun