Mohon tunggu...
Dini Mardhatillah
Dini Mardhatillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - 안녕 친구들

Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Instagram : @ddmrdhsz Email : Ddmrdhsz15@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kebebasan Berpendapat sebagai Manifestasi Demokrasi dalam Golakan Pasal Pencemaran Nama Baik UU ITE

1 Agustus 2021   16:58 Diperbarui: 22 Agustus 2021   00:58 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia seringkali menjadikan sosial media sebagai kehidupan kedua. Mengingat adagium “di mana ada masyarakat di situ ada hukum” (Ubi Societas Ibi Ius) membuat eksistensi hukum dalam ruang jejaring sosial sangat dibutuhkan. Hal tersebut menjadi sesuatu yang memiliki urgensi khusus bagi negara Indonesia untuk mengatur kehidupan warga negaranya selaku bagian dari masyarakat informasi. Di samping itu Indonesia merupakan negara penganut sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law) dan bukan Anglo Saxon (Comon Law). Berbeda dengan sistem comon law yang menggunakan yurisprudensi sebagai sumber hukum utama, ciri dari negara civil law adalah bersumber pada peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya, sebelum membenahi proses penegakan hukum Indonesia perlu memastikan bahwa seluruh regulasi yang hadir telah efisien, konstitusional, dan relevan dengan kondisi perkembangan zaman.

Eksistensi Pasal Pencemaran Nama Baik pada UU ITE

Sebagai respons dari paparan di atas, telah hadir produk hukum berupa Undang-Undang  Nomor  11  Tahun 2008  tentang  Informasi Transaksi   dan Elektronik sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 yang sudah bejalan selama  kurang lebih 13 tahun di NKRI tercinta. Namun penerapan dan penegakan undang-undang tersebut belum maksimal dan menimbulkan polemik karena dari segi regulasinya masih mengandung pasal-pasal redup yang kerap kali digunakan untuk menjerat kebebasan berekspresi dan hak orang untuk berbicara. Kondisi ini menjadi shock therapy bagi masyarakat, sebagian menanggapinya dengan berhati-hati sedangkan sebagian lagi memilih untuk tidak berpendapat. Hal ini tentunya menghambat perkembangan demokrasi

Kostitusi dan demokrasi sebagai sistem negara Indonesia memang menghendaki akan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Namun perlu diingat, agar tidak melanggar hak orang lain kebebasan tersebut perlu dibatasi karena Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat) yang salah satu cirinya ialah melindungi Hak Asasi Manusia. Sangat disayangkan, dengan dalih kebebasan banyak masyarakat yang melampaui batas. Pada praktiknya mereka sering menjadikan sosial media sebagai ajang menyalurkan emosi dengan melakukan pencemaran nama baik berupa penghinaan, pemfitnahan bahkan penyebaran aib orang lain. Sebagaimana diamanatkan dalam Putusan Pengadilan Nomor 203/Pid.Sus/2017/PN.SMN bahwa seharusnya pengguna media sosial tetap menjaga sopan santun dan tata krama dalam berkomunikasi. 

Hal tersebut di atas lah yang sebetulnya menjadi esensi keberadaan pasal pencemaran nama baik pada Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), untuk mengatur   interaksi   masyarakat   di  ruang  jejaring sosial guna mewujudkan kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab sesuai dengan semangat konstitusi dan bukan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara antikritik yang jauh dari nilai-nilai demokrasi.

Berdasarkan catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network diketahui bahwa sebanyak 90% pengenaan UU ITE dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik yang termaktub dalam Pasal 27 Ayat (3). Semulanya batasan pada pasal tersebut tidak diatur secara spesifik, namun oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan revisi UU ITE tahun 2016 dijelaskan bahwa ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Akan tetapi nyatanya hal tersebut masih belum bisa memberikan batasan yang tegas sehingga menimbulkan kerancuan dan dianggap menjadi pasal karet yang kerap menciptakan keadaan subjektivitas pada penerapan hukumnya.  Misalnya saja, menurut data yang diperoleh  Asfinawati  (Direktur  Yayasan  Lembaga   Bantuan   Hukum Indonesia) banyak kasus pada pasal pencemaran nama baik UU ITE yang berasal dari inisiatif dan laporan polisi. Akibatnya para aktivis menjadi lebih takut untuk bersuara. Walaupun mengkritik suatu kebijakan menggunakan data (fakta), banyak dari mereka yang tetap ditangkap walaupun ujungnya kasus tersebut sedikit dibawa ke pengadilan, hal ini merupakan bukti penangkapan sewenang-wenang.  Kemudian pada tahun 2019 seorang Anggota Komisi Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Baubau dijerat pasal pencemaran nama baik UU ITE atas unggahan facebooknya yang bermaksud untuk meluruskan dugaan korupsi retribusi TPI Wameo sesuai data yang ada. Tak hanya itu, Muhadkly Acho yang merupakan seorang aktor juga dijerat pasal yang serupa karena mengunggah semacam ulasan disertai bukti tentang layanan suatu perusahaan yang tidak sesuai dengan perjanjian.  Padahal dalam unggahan tersebut tidak merujuk dan menyebut nama perusahaan atau nama perseorangan. Permasalahan selanjutnya yaitu sifat delik aduan pada pasal tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan. Dapat kita lihat kasus pada tahun 2013, Muhammad Arsyad (aktivis Garda Tipikor Indonesia) sempat mendekam di penjara selama kurang lebih 7 hari karena menjadi tersangka kasus pencemaran nama baik UU ITE setelah menuliskan status di BlackBerry Messenger miliknya yang berisi kalimat “No Fear Nurdin Halid Koruptor!!! Jangan pilih adik koruptor!!!” yang mana ternyata kasus ini bukan dilaporkan oleh Nurdin Halid sebagai orang yang disinggung dalam status, melainkan orang dekatnya. Paparan tersebut di atas menunjukan tidak terealisasinya tujuan hukum yang menghendaki akan keadilan dan kepastian hukum.

Pasal Pencemaran Nama Baik pada UU ITE Perlu Dihilangkan atau Tidak?

Meski demikian, masyarakat tidak boleh menutup mata. Penerapan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE pada faktanya tidak selalu digunakan sebagai sarana pembungkaman sebab masih banyak penegak hukum yang menegakkan pasal tersebut dengan sepatutnya. Seperti kasus pada Putusan Pengadilan Nomor 43/Pid.Sus/2017/PN.Lsm yang mana majelis hakim memutus tidak bersalah terhadap seorang mahasiswa yang dituduh melakukan delik pencemaran nama baik pada UU ITE karena mengunggah status di facebook mengenai pengungkapan rasa kecewa dan kritiknya terhadap birokrasi kampus yang carut marut. Jika dilaksanakan dengan komitmen yang tinggi, pasal tersebut sesungguhnya memiliki sejumlah manfaat. Pertama, melindungi kehormatan dan nama baik masyarakat sebagai pengguna informasi elektronik. Kedua, menjamin kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab sesuai amanat konstitusi. Ketiga, menertibkan masyarakat dalam menggunakan media sosial. Diamanatkan pula oleh Putusan Pengadilan Nomor 120/Pid.Sus/2017/PN.Lbo bahwa pasal tersebut dapat dijadikan sebagai proses evaluasi sosial dan peringatan kepada publik supaya tidak mengikuti melakukan perbuatan pencemaran nama baik yang dilarang oleh hukum (public shock therapy). 

Oleh karena paparan tersebut di atas, menurut pendapat Penulis eksistensi pasal pencemaran nama baik pada UU ITE tidak perlu dihilangkan melainkan harus betul-betul diberi batasan dan penjelasan yang lebih eksplisit sehingga seluruh elemen masyarakat merasa  aman, baik aman dari segi menyampaikan pendapat maupun aman dalam hal menjaga kehormatan dan nama baik, seperti yang dikatakan oleh Prof. Van Apeldoorn dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht” bahwa tujuan hukum ialah untuk mengatur pergaulan hidup manusia secara damai.

Usaha Pemerintah dalam Memodifikasi Pasal Pencemaran Nama Baik pada UU ITE

Pemerintah sepakat mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman implementasi pada tiap-tiap pasal yang dianggap bermasalah  serta merancang revisi UU ITE, termasuk mengenai pasal pencemaran nama baik yang sering menimbulkan kontroversi. Usulan revisi meginginkan agar Pasal 27 Ayat (3) diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pencemaran nama baik dan fitnah. Pencemaran nama baik merujuk kepada menyerang kehormatan dan nama baik seseorang yang nyata adanya, dengan perubahan ancaman pidana lebih ringan daripada undang- undang sebelumnya yang menyamaratakan besaran hukuman antara pencemaran nama baik dan fitnah. Sedangkan fitnah ialah  berupa menyerang nama baik seseorang yang bukan merupakan fakta. Eksistensi pedoman implementasi Pasal 27 Ayat (3) UU ITE pada Surat Keputusan Bersama (SKB) yang disepakati oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, serta Kepala Kepolisian merupakan sebuah kemajuan pihak pemerintah dalam menanggapi pasal karet, di dalamnya berisi banyak batasan yang dieksplisitkan dengan tegas. Misalnya sesuatu berupa pendapat, penilaian, dan hasil evaluasi yang merupakan sebuah kenyataan tidak bisa dijerat. Kemudian dipertegas bahwa ejekan dan cacian termasuk delik penghinaan ringan dan tidak termasuk dalam ruang lingkup UU ITE, hal ini mempengaruhi besaran hukuman yang jauh lebih ringan. 

Berikutnya dalam SKB pun dijelaskan bahwa tidak termasuk ke dalam pasal ini jika dikirim melalui grup percakapan yang bersifat tertutup seperti grup percakapan keluarga atau kelompok pertemanan akrab, yang berarti negara lebih menghargai ruang privasi warga negaranya. Di samping itu, juga diterangkan secara spesifik bahwa ketentuan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE merupakan bentuk delik aduan absolut yang mana hanya korban berupa perseorangan dengan identitas spesifik atau kuasanya saja yang boleh melapor. Hal ini diharapkan dapat membenahi praktik sebelumnya yang mana pihak selain perseorangan atau bahkan pihak selain korban juga bisa melapor. Sebagai tambahan, menurut pendapat Penulis akan lebih baik jika dalam pedoman implementasi ditambahkan  tentang pengecualian pasal berupa “demi kepentingan umum” yang salah satunya untuk mengedukasi masyarakat.

Penutup

Agar selaras dengan konstitusi dan demokrasi, negara harus senantiasa konsisten dalam mengaktualisasikan pasal pencemaran nama baik UU ITE. Berkat keadaan pasal tersebut yang kerap menimbulkan polemik, jangan sampai esensi dan sejumlah manfaat yang terkandung di dalamnya dilupakan, bahkan dituntut untuk dihilangkan. Hukum terkadang tidur, tetapi hukum tidak pernah mati (Dormiunt Aliquando Leges, Nunquam Moriuntur). Mungkin selama ini keadilan masih ada yang belum terwujud, namun Indonesia harus optimis bahwa masih dan akan ada keadilan pada hukum itu sendiri. UU ITE sebagai sumber hukum utama telah diusahakan menjadi regulasi yang lebih konkret dan efisien. Langkah selanjutnya adalah dari segi proses beracara harus lebih objektif dan tegas. Para penegak hukum harus senantiasa menggunakan pasal pencemaran nama baik pada UU ITE dengan patut agar selaras dengan tujuan hukum pidana yang salah satunya melindungi kehormatan dan atau nama baik seorang dan bukan justru mengkriminalisasi masyarakat yang hendak bersuara. Di samping masyarakat harus lebih menjaga etika dalam berkomunikasi di dunia internet, sesuatu berupa kritikan melalui ruang jejaring sosial juga harus lebih dihargai ke depannya demi kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab sebagai bentuk manifestasi sistem demokrasi dan pembangunan bangsa.

Referensi

Kansil, C.S.T 2015, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.

Marimis, F 2012, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada.

Mainake, Y, & Nola, L.F 2020, ‘Dampak Pasal-Pasal Multitafsir dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik’, Bidang Hukum Info Singkat Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis, vol. 12, no. 16, hal 3.

Damar Juniarto, Kasus Muhammad Arsyad, SAFEnet, diakses pada 9 September 2013, https://id.safenet.or.id/2013/09/kasus-muhammad-arsyad/.

Risno Mawandili, Gegara Posting Dugaan Korupsi TPI Wameo, Pengurus KNPI Jadi Tersangka UU ITE, Zonasultra, diakses pada 10 November 2020, .

Sukoyo Yeremia, UU ITE Ancam Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, BeritaSatu, diakses  pada 9 November 2018, .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun