Mohon tunggu...
Dini Fajar
Dini Fajar Mohon Tunggu... Lainnya - Social Work

Social Work

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Manajemen Strategis dalam Memperkuat Perlindungan Sosial Adaptif oleh Kementerian Sosial: Analisis dan Rekomendasi Kebijakan

24 November 2022   16:55 Diperbarui: 25 November 2022   10:24 1104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia hidup di dunia dihadapkan pada berbagai risiko di sepanjang siklus hidup, mulai dari kandungan hingga berusia lanjut, sehingga mampu menurunkan kualitas hidupnya. Berbagai risiko krentanan yang mungkin dihadapi diantaranya serangan penyakit, kecatatan, penuaan, pengangguran, resesi ekonomi termasuk akibat kejadian bencana. Rumah tangga miskin dan rentan kerap tidak mampu mengambil upaya pencegahan atas risiko bencana seperti kehilangan nyawa, mata pencaharian, dan aset. Skema perlindungan sosial yang ada saat ini belum inklusif dalam merespon korban bencana. Strategi penanganan yang seringkali kurang tepat mengakibatkan kelompok rentan menjadi semakin miskin. Berbagai risiko kerentanan tersebut menjadikan adanya kebutuhan akan bentuk perlindungan untuk memastikan krisis yang terjadi tidak berdampak buruk pada kesejahteraan (Kidd and Gelders, 2017).

Sebagai salah satu negara dengan indeks risiko bencana alam tertinggi di dunia, Indonesia dihadapkan pada risiko bencana geologis maupun hidrometeorologis. Jika diulas kembali, beberapa peristiwa bencana yang melanda Indonesia telah menyebabkan kerugian ekonomi negara lebih dari USD 44 juta dan berdampak pada lebih dari 250 juta orang (Djalante dan Garschagen, 2017). Bappenas (2018) menyebutkan berbagai bencana yang terjadi memunculkan potensi meningkatnya jumlah penduduk miskin akibat penurunan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya jumlah pengangguran. Sebagai contoh pasca gempa di Sulawesi Tengah, pertumbuhan ekonomi menurun menjadi 1,75 persen dari sebelumnya 6,24 persen, inflasi meningkat menjadi 6,63 persen dari sebelumnya 3,65 persen. Akibat bencana tersebut menambah jumlah penduduk miskin baru sebesar 18.400 jiwa, sehingga tingkat kemiskinan di Sulawesi Tengah tahun 2019 meningkat menjadi 14,42 persen atau 438.610 jiwa (BPS, 2019).

Selanjutnya sejak WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global pada Maret 2020, lebih dari 121.00 Jiwa di 118 negara di Kawasan Eropa, Amerika, Timur Tengah dan Asia terkonfirmasi telah terinfeksi (Kompas, 2021). Pandemi Covid-19 berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan secara signifikan hingga 3,9 juta orang. Bappenas (2021) memprediksikan tingkat kemiskinan meningkat sekitar 9,7-10,2% pada akhir 2020, dan realisasi tingkat kemiskinan sebesar 10,19%. Kondisi ini menyebabkan krisis kesehatan, kemanusiaan dan dampak ekonomi yang masif di dunia, bahkan Menteri Keuangan (2021) memprediksi ekonomi dunia akan menanggung kerugian hingga USD 2,5 Triliun akibat situasi pandemi. Dampak negatif bencana, seperti gempa bumi dan banjir, serta dampak jangka panjang dari perubahan iklim dapat mengancam agenda pembangunan berkelanjutan nasional.

Manajemen Strategis dalam Memperkuat Peta Jalan Perlindungan Sosial Adaptif

Pemerintah melalui Inpres No 4/2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem menargetkan tujuan ambisius untuk mencapai 0% kemiskinan ekstrem di Tahun 2024. Tujuan ini sejalan dengan agenda global yakni menghapus kemiskinan dan pengurangan dampak sosial ekonomi akibat bencana yang tertuang dalam SDGs. Untuk mempercepat penghapusan kemiskinan ekstrem dan menurunkan angka kemiskinan, atau mensejahterakan, sekaligus sebagai respon penanganan dampak pandemi Covid-19 dan pencapaian agenda pembangunan berkelanjutan di Indonesia, Kementerian Sosial berperan sebagai koordinator kegiatan penanggulangan kemiskinan. Strategi dan intervensi yang dilaksanakan diantaranya melalui program perlindungan sosial (Renstra Kemensos, 2020-2024).

Transformasi dari respon bencana sesaat ke respon yang lebih terencana dan aksi pencegahan sangat diperlukan saat ini. Menanggapi situasi tersebut, Pemerintah telah mengemukakan gagasan Perlindungan Sosial Adaptif (PSA) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020-2024). DFID dalam Arnall et al (2010) berargumen bahwa gagasan utama PSA adalah bahwa sinergi diperoleh jika Perlindungan Sosial (SP), Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan Adaptasi Perubahan Iklim (API) didekatkan bersama, dilakukan koordinasi dengan semua aktor untuk mendapatkan strategi terkonsolidasi sehingga mencapai keterhubungan antara unsur-unsur tersebut. Walaupun kerap kali dikritisi sebagai upaya untuk "mencubit" skema universal social protection coverage, skema PSA menjadi satu diantara enam agenda reformasi Sistem Perlindungan Sosial Nasional. Pada skala global, PSA berkontribusi terhadap pencapaian komitmen pemerintah terhadap kesepakatan internasional, seperti Agenda 2030 SDGs, Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030 (SFDRR), Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim, dan Kemitraan Global untuk Kesiapsiagaan (Global Partnership for Preparedness). 

Sesuai tugas dan fungsi dalam memberikan perlindungan sosial bagi keluarga miskin dan rentan, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, Kementerian Sosial sejak tahun 2019 mulai menerapkan kebijakan PSA melalui PKH Adaptif. Uji coba penerapan kebijakan tersebut sebagai bagian dari bantuan terkoordinasi dan berkesinambungan bagi korban bencana, sudah dilaksanakan di 4 lokasi (keluarga terdampak erupsi Gunung Sinabung, KLB gizi buruk di Kabupaten Asmat Papua, gempa bumi di Halmahera Selatan, dan konflik di Nduga Wamena Papua) (Renstra Ditjen Linjamsos 2020-2024). Melalui SPA, korban bencana secara langsung mendapatkan bantuan sosial di masa kedaruratan, selanjutnya secara simultan terdata dalam DTKS melalui SIKS-NG untuk akses ke berbagai program perlindungan sosial yang komprehensif (bantuan kedaruratan/pemenuhan kebutuhan dasar, kewirausahaan, hingga akses ke skema padat karya) untuk menjamin sustainable livelihood-nya.

Salah satu uji coba PSA yang sementara ini dilakukan oleh Kemensos tergambar dalam penanganan pengungsi Erupsi Gunung Semeru di Tahun 2021. Sejumlah 10.158 Jiwa mengungsi di 151 titik pengungsian dan 48 Jiwa meninggal dunia. Pada tahap awal seluruh pengungsi mendapatkan program bantuan kedaruratan yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar, diantaranya bantuan logistik, jaminan hidup, santunan, shelter dan layanan dukungan psikososial. Menteri Sosial menginstruksikan untuk menyiapkan shelter pengungsian yang aman dan nyaman serta dilengkapi dengan fasilitas yang memadai.

Selanjutnya, untuk menumbuhkan semangat melanjutkan kehidupan, Kemensos memfasilitasi penyintas dengan pelatihan keterampilan seperti pemanfaatan bahan makanan dan kerajinan tangan yang bernilai jual (keset, kripik, bumbu pecel, makanan). Peralatan dan bahan baku kerajinan tangan tersebut merupakan dukungan Kemenkop UKM. Hasil karya penyintas ini kemudian dijual di stan Kewirausahaan-Dapur Kreasi yang telah disiapkan oleh Kemensos. Keterampilan ini nantinya diharapkan menjadi bekal awal bagi penyintas ketika diakseskan ke Pemberdayaan dan Kewirausahaan seperti ProKus, Program Padat Karya oleh Kemendes dan KemenPUPR, Skema Asuransi Pertanian/Peternakan/Perikanan oleh Kementan dan KKP. Secara simultan, data korban bencana selanjutnya divalidasi sehingga masuk DTKS untuk dapat diakseskan ke berbagai program perlindungan sosial reguler (PKH dan Program Sembako). Penanganan korban bencana yang lebih terencana mulai aksi pencegahan hingga penanganan secara sinergis, tuntas dan komprehensif menjadi cita-cita SPA kedepan.

Kesiapan Kementerian Sosial dalam mendukung kebijakan PSA sangat berguna untuk memastikan capaian tujuan PSA yakni membantu inividu, rumah tangga, dan komunitas yang berisiko mengalami guncangan melalui kapasitas adaptif, antisiatif, dan absorptif (World Bank, 2020). Kebijakan yang lebih bersifat operasional di lingkup Kemensos menjadi urgensi untuk memperkuat kerangka kebijakan PSA. Kebijakan operasional tersebut tergambar pada Peta Jalan PSA. Disebutkan oleh Bappenas dan GIZ (2021) bahwa tujuan utama yang ingin dicapai melalui Peta Jalan PSA adalah untuk mencegah dan mengurangi kemiskinan dan kerentanan dengan memperkuat ketahanan individu, rumah tangga, dan komunitas terhadap risiko sosial ekonomi akibat bahaya alam dan perubahan iklim. Pada kerangka perencanaan dan penganggaran SPA, Kemensos berkontribusi utama pada dua dari empat pilar prioritas strategis diantaranya program dan sistem penyaluran; serta data dan infomasi.

Dalam manajemen strategis, pemetaan dan analisis situasi baik eksternal maupun internal organisasi menjadi penting. Tools yang digunakan dalam langkah ini adalah analisis SWOT (Strength-Weakness-Opportunity-Threat). Selanjutnya dilakukan analisis TOWS menggunakan koneksi antar kuadran dalam analisis SWOT untuk menyusun strategi yang mungkin dilakukan oleh Kemensos dalam memperkuat PSA, sebagai berikut:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun