Indonesia sedang dirundung “bencana”. Bahkan yang baru terjadi hari ini adalah tentang Ledakan Bom yang menimpa Jakarta. Entah apa motif dari tindakan tersebut, hingga kini masih dalam penyelidikan pihak yang berwajib.
Meledaknya bom di Jakarta, membuat “meledak” pula ‘cuitan’ para netizen. Tidak sedikit suara yang mengecam aksi terorisme tersebut. Padahal, tanpa mereka sadari, mereka bagian dari “membesar-besarkan masalah”. Tidak hanya berhenti disitu saja, masyarakat juga banyak yang menggunakan media sosial yang mereka miliki untuk membagi atau men-share foto-foto yang tragis.
Jenazah yang masih belum diangkut, dijadikan “obyek” untuk “para konsumen media” yang haus akan informasi cepat dan reaktif. Sontak, opini dan spekulasi pun bermunculan di negeri ini. Mereka Lupa, bahwa –sadisme- yang mereka bagi itu, melukai para keluarga korban. Bahwa mayat-mayat itu bukan untuk dijadikan obyek foto dan obyek “pemuas informasi” saja. Tetapi juga butuh penanganan dengan cepat! Hey!! Mereka Manusia. Mereka butuh dilindungi, bahkan ketika sudah mati sekalipun!
Ditambah lagi para media tv berlomba-lomba untuk menyiarkan berita yang menurutnya dramatis ini. Sejumlah pakar, pihak kepolisian, diwawancarai tak kenal henti. Padahal para pihak yang berwajib ini memiliki tugas utama meng-kondusifkan situasi dan keamanan, bukan menerima telepon dari para wartawan. Sejumlah gambar yang tidak disensor sekalipun juga “luput” tersaji di layar tv. Mereka lupa (atau bahkan sengaja melupakan) -Jurnalisme Empati-.
“Porsi” penyiaran yang ada di sejumlah media ini dinilai “keblabasen” dalam memberitakan bom di Jakarta. Padahal, Indonesia ini LUAS. Tidak hanya berkutat di Jakarta saja. Musibah banjir juga menimpa Aceh dan Sumatera. Kelaparan juga masih menyisakan duka di Papua. Tetapi mengapa pemberitaan tidak segencar Bom di Jakarta? Mari kita renungi kembali apa arti Indonesia yang sesungguhnya.
-------
Dalam suatu kejadian, sesungguhnya yang perlu kita amati adalah DAMPAK dari kejadian tersebut. Bukan membesar-besarkan kejadian yang sudah terlanjur terjadi dan menyisakan duka yang mendalam bagi negeri. Apakah dampak yang bisa kita pelajari dari kejadian di tanggal 14 Januari 2016 ini?
Sementara sejumlah agenda pelepasan saham freeport, sidang Baasyir, Sidang Tipikor Ibas, dan bahkan JK yang jadi saksi Tipikor JW yang sedang berlangsung bersamaan dengan bom tersebut, juga dijadwalkan di tanggal 14 Januari 2016.
Apakah ada yang salah dengan hari Kamis ini?
Ya.
Jawabannya adalah –kita terlanjur terpaku dengan satu kejadian saja, serta mengaburkan kejadian yang lain.
--------
Untuk itulah, mari kita renungi kembali. Jika ditarik mundur dalam kurun waktu dua minggu ini, sejumlah pemberitaan telah mewarnai isi kepala publik. Dimulai dari adanya Terompet yang terbuat dari Al-Qur’an, disusul dengan munculnya Gerakan Fajar Nusantara-Gafatar kemudian Bom di Jakarta.
Terlalu dini jika kita membuat kesimpulan atas analisa ini. Tapi yang perlu diingat, -Teroris selalu muncul (atau bahkan sengaja dimunculkan) bersamaan dengan kasus-kasus besar di negeri ini.
Mari kita cermati kembali. Mari kita renungi kembali. Dan Mari kita menahan diri untuk tidak reaktif dan tidak termakan isu politik.
Tidak ada yang salah dan mencari kesalahan dalam “musibah”ini. Tetapi yang harus diwaspadai adalah BOM WAKTU yang sewaktu-waktu bisa MELEDAK kapan saja dan dimana saja, meski ditutup-tutupi sekalipun. Sebab rakyat tidak tidur. Publik semakin cerdas. Sebab KEADILAN, meskipun tidak ada yang mengupayakan, ia akan mengupayakan dirinya sendiri. -Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H