Tindak Pidana Korupsi Bantuan Sosial
Dini Dwi JayantiÂ
4201914151
Â
AbstrakÂ
Ketentuan mengenai bansos diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pekerja Sosial. Peraturan ini mengubah UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Menurut UU tersebut, bantuan sosial merupakan bantuan berupa uang, barang, atau jasa kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat miskin, tidak mampu, dan/atau rentan terhadap risiko sosial. Pengertian ini juga dijelaskan dalam Perpres Nomor 63 Tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non Tunai. Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui serta mendalami kasus korupsi dana bansos oleh beberapa oknum, tindak pidana korupsi ini menyebabkan kerugian bagi negara dan masyarakat, menghancurkan sistem perekonomian, sistem demokrasi, sistem politik, sistem hukum, sistem pemerintahan, dan tatanan sosial kemasyarakatan, dan korupsi berdampak pada psikologis orang terdekat. Pemberantasan tipikor dapat dilakukan dengan upaya pencegahan (preventif), upaya penindakan (kuratif), upaya edukasi masyarakat/mahasiswa, upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
Pendahuluan
Tindak pidana korupsi di Indonesia semakin hari semakin marak terjadi baik itu disebabkan oleh faktor eksternal maupun internal tidak ada kata jera bagi para koruptor Indonesia dalam melakukan hal yang merugikan negara, seperti yang baru-baru ini terjadi yaitu tindak pidana korupsi bantuan sosial. Bantuan sosial (bansos) diberikan kepada masyarakat yang mengalami risiko sosial. Bansos dapat diberikan dalam bentuk uang maupun barang. Pemberian bantuan sosial ini diharapkan dapat mengurangi beban masyarakat yang kesulitan ekonominya ter;lebih pada saat pandemic covid-19. Jadi pemerintah membuat salah satu program yang bersifat meringankan beban masyarakat yang kurang mampu yaitu dengan memberikan bantuan social. Akan tetapi, pemberian bantuan social ini disalahgunakan oleh beberapa oknum pejabat. Menurut KPK, kecurangan ini bermula dari adanya program pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kemensos tahun 2020. Pada saat itu Juliari sebagai menteri sosial saat itu menunjuk Matheus dan Adi sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukkan langsung para rekanan dan diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kemensos melalui Matheus. Untuk setiap paket bansos, fee yang disepakati sebesar Rp 10.000 per paket sembako dari nilai Rp 300.000 per paket bansos.
Pembahasan
 a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi adalah kegiatan yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok dimana kegiatan tersebut sangat merugikan bangsa dan Negara serta melanggar hukum yang berlaku. Menurut peraturan perundang-undangan yang terdapat pada pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 2 ayat (1) UUPTPK No. 31 Tahun 1999 menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal 3 UUPTPK No. 31 Tahun 1999 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dengan demikian dapat disimpulkan pengertian korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah : Perbuatan setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pada Pejabat pemerintah biasanya terdapat unsur penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya. Berikut adalah ciri-ciri korupsi secara umum antara lain sebagai berikut:
* Umumnya tindak korupsi dilakukan secara berkelompok atau melibatkan lebih dari satu orang pelaku.
* Pada umumnya bersifat rahasia, tertutup terutama motif yang melatarbelakangi perbuatan korupsi tersebut.
* Korupsi ini tidak hanya berlaku dikalangan pegawai negeri dan anggota birokrasi saja. Namun korupsi juga daapat terjadi di organisasi dan perusahaan swasta.
* Korupsi dapat berupa bentuk menerima sogok, uang kopi, salam tempel, uang semir, uang pelancar, baik dalam bentuk uang tunai atau benda atau pun wanita,
* Korupsi memiliki beberapa bentuk yaitu dalam bentuk uang atau benda yang diberikan oleh pelaku tertentu untuk memproleh keuntungan.
* Setiap perbuatannya melanggar norma-norma, tugas dan tanggung jawab dalam tatanan masyarakat.
* Dalam perusahaan swasta, umumnya korupsi dilakukan dengan pemberian uang yang bertujuan untuk memperoleh rahasia perusahaan.
* Kegiatan korupsi umumnya dilandasi atas niat kesengajaan untuk menempatkan kepentingan umum dibawah kepentingan pribadi. Â
Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
1. Faktor Internal
Merupakan faktor utama penyebab korupsi yang berasal dari dalam diri sendiri, yaitu sifat dan karakter seseorang yang mempengaruhi segala tindakannya. Beberapa yang termasuk di dalam faktor internal ini diantaranya:Â
* Sifat tamak, sifat dalam diri manusia yang menginginkan sesuatu melebihi kebutuhannya dan selalu merasa kurang.Â
* Gaya hidup konsumtif, perilaku manusia yang selalu ingin memenuhi kebutuhan yang tidak terlalu penting sehingga tidak bisa menyeimbangkan pendapatan dengan pengeluarannya, misalnya hedonism
 2. Faktor EksternalÂ
Merupakan salah satu faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya korupsi yang berasal dari lingkungan sekitar yang dapat mempengaruhi pemikiran dan tindakan seseorang sehingga melakukan korupsi. Beberapa yang termasuk dalam faktor eksternal tersebut diantaranya:
* Faktor ekonomi, adanya kebutuhan akan ekonomi yang lebih baik seringkali mempengaruhi seseorang dalam bertindak. Misalnya gaji yang tidak sesuai dengan beban kerja, mendorong seseorang melakukan korupsi.
* Faktor politik, dunia politik sangat erat hubungannya dengan persaingan dalam mendapatkan kekuasaan. Berbagai upaya dilakukan untuk menduduki suatu posisi sehingga timbul niat untuk melakukan tindakan koruptif.Â
* Faktor organisasi, dalam organisasi yang terdiri dari pengurus dan anggota, tindakan korupsi dapat terjadi karena perilaku tidak jujur, tidak disiplin, tidak ada kesadaran diri, aturan yang tidak jelas, struktur organisasi tidak jelas, dan pemimpin yang tidak tegas.Â
* Faktor hukum, seringkali tindakan hukum terlihat tumpul ke atas tajam ke bawah. Artinya, para pejabat dan orang dekatnya cenderung diperlakukan istimewa di mata hukum, sedangkan masyarakat kecil diperlakukan tegas. Hal ini terjadi karena adanya praktik suap dan korupsi di lembaga hukum.Â
Jenis-Jenis Korupsi Beberapa bentuk korupsi diantaranya adalah sebagai berikut: * Penyuapan (bribery) mencakup tindakan memberi dan menerima suap, baik berupa uang maupun barang.Â
* Embezzlement, merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber daya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut, baik berupa dana publik atau sumber daya alam tertentu.Â
* Fraud, merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan (trickery or swindle). Termasuk didalamnya proses manipulasi atau mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan mengambil keuntungan-keuntungan tertentu.Â
* Extortion, tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara paksa atau disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Lazimnya dilakukan oleh mafia-mafia lokal dan regional.Â
* Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada tindakan privatisasi sumber daya
Jenis korupsi yang lebih operasional juga diklasifikasikan oleh tokoh reformasi, M. Amien Rais yang menyatakan sedikitnya ada empat jenis korupsi, yaitu (Anwar, 2006:18):Â
* Korupsi ekstortif, yakni berupa sogokan atau suap yang dilakukan pengusaha kepada penguasa.Â
* Korupsi manipulatif, seperti permintaan seseorang yang memiliki kepentingan ekonomi kepada eksekutif atau legislatif untuk membuat peraturan atau UU yang menguntungkan bagi usaha ekonominya.Â
* Korupsi nepotistik, yaitu terjadinya korupsi karena ada ikatan kekeluargaan, pertemanan, dan sebagainya.Â
* Korupsi subversif, yakni mereka yang merampok kekayaan negara secara sewenang-wenang untuk dialihkan ke pihak asing dengan sejumlah keuntungan pribadiÂ
Diantara model-model korupsi yang sering terjadi secara praktis adalah: pungutan liar, penyuapan, pemerasan, penggelapan, penyelundupan, pemberian (hadiah atau hibah) yang berkaitan dengan jabatan atau profesi seseorang.Â
b. Bantuan SosialÂ
Bantuan sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk meringankan penderitaan, melindungi, dan memulihkan kondisi kehidupan fisik, mental, dan sosial (termasuk kondisi psikososial, dan ekonomi) serta memberdayakan potensi yang dimiliki agar seseorang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang mengalami guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup secara wajar. (UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial). Peraturan tersebut kemudian diubah menjadi UU Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pekerja Sosial. Menurut UU tersebut, bantuan sosial merupakan bantuan berupa uang, barang, atau jasa kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat miskin, tidak mampu, dan/atau rentan terhadap risiko sosial. Pengertian ini juga dijelaskan dalam Perpres Nomor 63 Tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non Tunai. Berdasarkan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020, pemberi bansos adalah Satuan Kerja pada kementerian atau lembaga pada Pemerintah Pusat dan/atau Satuan Kerja Perangkat Daerah pada Pemerintah Daerah yang tugas dan fungsinya melaksanakan program penanggulangan kemiskinan yang meliputi perlindungan sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, rehabilitasi sosial, dan pelayanan dasar. Tujuan Pemberian Bansos Selaras dengan namanya, pemberian bansos bertujuan untuk mengatasi hal-hal yang berkaitan dengan risiko sosial. Berikut enam tujuan bansos:Â
1. Rehabilitasi SosialÂ
Bansos bertujuan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.Â
2. Perlindungan SosialÂ
Tujuan selanjutnya adalah untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal.Â
3. Pemberdayaan SosialÂ
Bansos juga bertujuan sebagai pemberdayaan sosial, yakni untuk menjadikan seseorang atau kelompok masyarakat yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.Â
4. Jaminan Sosial Â
Bansos sebagai jaminan sosial merupakan skema yang melembaga untuk menjamin penerima bantuan agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.Â
5. Penanggulangan KemiskinanÂ
Tujuan bansos sebagai penanggulangan kemiskinan memiliki arti bahwa bansos merupakan kebijakan, program, kegiatan, dan sub kegiatan yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok masyarakat yang tidak mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan.Â
6. Penanggulangan BencanaÂ
Terakhir, pemberian bansos bertujuan untuk penanggulangan bencana merupakan serangkaian upaya yang ditujukan untuk rehabilitasi.Â
Jenis Bansos Secara umum, bansos dibedakan menjadi tiga jenis. Antara lain sebagai berikut:Â
1. Bantuan Sosial Berupa Uang Bantuan sosial berupa uang diberikan secara langsung kepada penerima seperti beasiswa bagi anak miskin, yayasan pengelola yatim piatu, nelayan miskin, masyarakat lanjut usia, terlantar, cacat berat dan tunjangan kesehatan putra putri pahlawan yang tidak mampu. Bantuan jenis ini dapat diberikan secara tunai maupun non tunai.Â
2. Bantuan Sosial Berupa Barang Bantuan sosial berupa barang adalah barang yang diberikan secara langsung kepada penerima seperti bantuan kendaraan operasional untuk sekolah luar biasa swasta dan masyarakat tidak mampu, bantuan perahu untuk nelayan miskin, bantuan makanan/pakaian kepada yatim piatu/tuna sosial, ternak bagi kelompok masyarakat kurang mampuÂ
3. Bantuan Sosial Berupa Jasa Bantuan sosial berupa jasa disalurkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Contoh bantuan berupa jasa adalah pemberian pelatihan untuk penerima bantuan dari satuan kerja (pemberi bansos).Â
Penerima Bansos Penerima bansos adalah seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat miskin, tidak mampu, dan/atau rentan terhadap risiko sosial. Saat ini data penerima bansos dapat dicek dengan mudah melalui Sistem Cek Bansos Kementerian Sosial.
c. Tindak Pidana Korupsi Bantuan Sosial
Dalam pengelolaan dan penyaluran bansos kerap kali berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi. pemberian dana bansos di situasi bencana rentan membuka celah korupsi. Maraknya kasus tindak pidana korupsi dana bansos tersebut selalu berkaitan dengan besarnya jumlah dana yang digelontorkan oleh Pemerintah Di masa pandemi Covid-19 saat ini, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah telah menggelontorkan anggaran dalam rangka penyelenggaraan bantuan sosial sebagai bagian dari Jaring Pengaman Sosial (JPS). Pemerintah Pusat telah menggelontorkan anggaran sebesar Rp. 405 Triliun yang didalamnya meliputi dana bansos sebesar Rp. 110 Triliun. Sedangkan Pemerintah Daerah menggelontorkan anggaran sebesar Rp. 67,32 Triliun yang didalamnya meliputi Rp. 25 Triliun dalam bentuk bansos yang akan diberikan kepada masyarakat. Keluhan tersebut meliputi 268 laporan tidak menerima bantuan padahal sudah terdaftar, 66 laporan bantuan tidak dibagikan oleh aparat kepada penerima bantuan, 47 laporan bantuan sosial yang diterima jumlahnya kurang dari yang seharusnya, 31 laporan penerima fiktif (nama di daftar bantuan tidak tertera), 6 laporan bantuan yang diterima
kualitasnya buruk, 5 laporan seharusnya tidak menerima bantuan tapi kenyataannya telah menerima dan 191 beragam laporan lainnya. Sementara itu, menurut laporan dari Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, pada saat ini terdapat beberapa kasus dugaan korupsi bansos di beberapa daerah di Indonesia yang tengah ditangani oleh pihak kepolisian yang meliputi 38 kasus di Polda Sumatera Utara, 12 Kasus di Polda Jawa Barat, 8 Kasus di Polda Nusa Tenggara Barat, 7 Kasus di Polda Riau, 4 Kasus di Polda Sulawesi Selatan, serta masing-masing 3 kasus di Polda Banten, Polda Jawa Timur, Polda Sulawesi Tengah, dan Polda Nusa Tenggara Timur. Beberapa kasus korupsi bansos tersebut menunjukkan bahwa dana bansos yang seharusnya dialokasikan kepada masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19 sangat rentan untuk disalahgunakan oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab. Menurut Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa penyebab terjadinya penyalahgunaan dana bantuan sosial disebabkan oleh beberapa hal: Pertama, Database yang kacau dimana hal ini terjadi dikarenakan data penerima bantuan sosial yang simpang siur, selalu terjadi penerima ganda dan data yang fiktif. Kedua, lemahnya pengawasan dan audit untuk meminimalisasi penyelewengan dana bantuan sosial. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa, rentannya penyalahgunaan dana bansos di masa pandemi Covid-19 yang membuka peluang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab melakukan korupsi ialah karena belum adanya sistem pelayanan publik yang transparan dan akuntabel dalam proses distribusi dana bansos ke masyarakat dari tingkat pusat hingga daerah. Oleh karena itu guna mencegah korupsi dana bantuan sosial Covid-19 agar peruntukannya lebih tepat sasaran, dibutuhkan suatu sistem pelayanan publik yang transparan dan akuntabel sekaligus memberikan pengawasan yang ketat dalam proses distribusi bansos hingga sampai ke tangan masyarakat. Merebaknya pandemi Covid-19 di Indonesia telah memberikan implikasi secara kompleks di berbagai aspek kehidupan. Tingkat kesejahteraan masyarakat juga mengalami penurunan seiring dengan menurunnya tingkat perekonomian negara selama masa pandemi Covid-19.Â
Salah satu langkah yang dilakukan Pemerintah dalam memenuhi kesejahteraan masyarakat ialah dengan memberikan bansos. Namun kerap kali proses pendistribusian bansos tidak berjalan lancar. Banyak kendala yang dihadapi mulai pelayanan publik yang tidak optimal hingga munculnya potensi penyalahgunaan dana bansos untuk praktik korupsi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Kasus terkait tindak pidana korupsi bansos JAKARTA, KOMPAS.com - Pada 6 Desember 2021, KPK menetapkan Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020. Penetapan tersangka Juliari saat itu merupakan tindak lanjut atas operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK pada Jumat, 5 Desember 2021. Usai ditetapkan sebagai tersangka, pada malam harinya Juliari menyerahkan diri ke KPK. Selain Juliari, KPK juga menetapkan Matheus Joko Santoso, Adi Wahyono, Ardian I M dan Harry Sidabuke sebagai tersangka selalu pemberi suap. Menurut KPK, kasus ini bermula dari adanya program pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kemensos tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp 5,9 Triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan 2 periode. Juliari sebagai menteri sosial saat itu menunjuk Matheus dan Adi sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukkan langsung para rekanan dan diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kemensos melalui Matheus. Untuk setiap paket bansos, fee yang disepakati oleh Matheus dan Adi sebesar Rp 10.000 per paket sembako dari nilai Rp 300.000 per paket bansos. Pada Mei sampai November 2020, Matheus dan Adi membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan yang di antaranya Ardian I M dan Harry Sidabuke dan juga PT RPI yang diduga milik Matheus. Penunjukkan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui Juliari dan disetujui oleh Adi. Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp 12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari melalui Adi. Dari jumlah itu, diduga total suap yang diterima oleh Juliari sebesar Rp 8,2 miliar. Uang tersebut selanjutnya dikelola Eko dan Shelvy N selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi Juliari. Kemudian pada periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee dari Oktober sampai Desember 2020 sekitar Rp 8,8 miliar. Sehingga, total uang suap yang diterima oleh Juliari menurut KPK adalah sebesar Rp 17 miliar. Seluruh uang tersebut diduga digunakan oleh Juliari untuk keperluan pribadi. Atas perbuatannya itu, Juliari disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.Â
Juliari divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Senin (23/8/2021). Majelis hakim menilai Juliari terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001. Selain itu, hakim juga menjatuhkan pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 14.590.450.000 atau sekitar Rp 14,59 miliar. Jika tidak diganti, bisa diganti pidana penjara selama dua tahun. Hak politik atau hak dipilih terhadap Juliari pun dicabut oleh hakim selama empat tahun. Hal memberatkan Juliari menurut hakim perbuatannya dapat dikualifikasi tidak kesatria, ibaratnya lempar batu sembunyi tangan. Kemudian Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Bahkan menyangkali perbuatannya. Hakim juga menilai perbuatan Juliari dilakukan dalam keadaan darurat bencana nonalam yaitu wabah covid-19. Sementara yang meringankan, Juliari belum pernah dijatuhi pidana. Ia juga sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat.Â
Hakim juga menilai Juliari telah divonis oleh masyarakat telah bersalah padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Selama persidangan kurang lebih 4 bulan Juliari hadir dengan tertib, tidak pernah bertingkah dengan macam-macam alasan yang akan mengakibatkan persidangan tidak lancar.Juliari dan kuasa hukumnya Maqdir Ismail pikir-pikir terlebih dahulu atas vonis tersebut.
Sebelumnya, Juliari dituntut 11 tahun dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan oleh Jaksa KPK.Jaksa menilai Juliari terbukti menerima suap dalam pengadaan paket bansos Covid-19 wilayah Jabodetabek 2020 sebesar Rp 32,48 miliar. Selain itu, Juliari juga dituntut pidana pengganti sebesar Rp 14,5 miliar dan hak politiknya dicabut selama empat tahun. Dalam tuntutannya, jaksa menyebut mantan Mensos ini memerintahkan dua anak buahnya, yaitu Matheus Joko dan Adi Wahyono, untuk meminta fee Rp 10.000 tiap paket bansos Covid-19 dari perusahaan penyedia. ICW menilai keputusan hakim meringankan hukuman Juliari Batubara karena telah mendapat perundungan masyarakat terlalu mengada-ada. Perundungan yang diterima Juliari dianggap tidak sebanding dengan penderitaan masyarakat. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengkritik putusan majelis hakim terhadap eks Mensos Juliari Batubara terkait kasus suap bansos COVID-19. MAKI menilai seharusnya hakim tak perlu meringankan sanksi untuk Juliari hanya karena dihina masyarakat. "Saya juga mengkritisi alasan itu bahwa Juliari sudah di-bully. Ya semua koruptor di-bully, jadi mestinya tidak perlu ada pertimbangan itu hal yang meringankan," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, kepada wartawan, Senin (23/08). Menurut Boyamin, majelis hakim tak perlu menjadikan penderitaan Juliari karena di-bully masyarakat sebagai pertimbangan hal meringankan sanksi. "Meringankan ya bahwa dia belum pernah dihukum dan menjadi kepala keluarga, itu saja cukup. Nggak usah ditambahi bahwa dia di-bully, semua koruptor di-bully," katanya. Keputusan hakim mengada-ada "Alasan meringankan yang dibacakan majelis hakim Pengadilan Tipikor kepada Juliari P Batubara terlalu mengada-ada. Betapa tidak, majelis hakim justru menyebutkan Juliari telah dicerca, dimaki, dan dihina oleh masyarakat," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Senin (23/08). Kurnia mengatakan makian hingga hinaan yang didapat Juliari merupakan hal wajar. Terlebih Juliari melakukan korupsi dalam kondisi pandemi COVID-19. "Ekspresi semacam itu merupakan hal wajar, terlebih mengingat dampak yang terjadi akibat praktik korupsi Juliari. Bayangkan, praktik suap menyuap itu dilakukan secara sadar oleh Juliari di tengah kondisi kesehatan dan ekonomi masyarakat ambruk karena pandemi COVID-19," kata Kurnia. Dia menilai makian dan hinaan yang diterima Juliari tidak sebanding dengan penderitaan masyarakat. Sebab, akibat korupsi tersebut, masyarakat menjadi kesulitan mendapatkan bansos. Â Hukuman tidak sebanding dengan perbuatan Hakim memberikan hukuman 12 tahun penjara terhadap eks Mensos Juliari Batubara terkait kasus suap bansos COVID-19. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai hukuman tersebut tak sebanding dengan jumlah korupsi yang dilakukan Juliari. "(Vonis) 12 tahun bui tidak sebanding dengan kerugian keuangan Rp 32 miliar yang dikorupsi. Belum lagi ini bukan tidak mungkin dilanjutkan banding dan kasasi yang trennya berpihak pada koruptor," ujar Feri kepada wartawan, Senin (23/08). Feri mengatakan, untuk membuat koruptor jera, perlu diberi sanksi maksimal. Sanksi pidana maksimal yang dimaksudnya ialah hukuman penjara 20 tahun atau seumur hidup. "Jika ingin membuat koruptor jera terutama penyelenggara negara maka sanksi pidananya harus tegas 20 tahun atau seumur hidup," tuturnya. Koruptor Paling Tamak Dalam Sejarah Kasus korupsi bansos pandemi eks-Mensos RI Sebelumnya, Juliari Batubara divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Juliari bersalah menerima uang suap Rp 32,482 miliar berkaitan dengan bansos Corona di Kemensos. Selain itu, hakim meminta Juliari membayar uang pengganti Rp 14,5 miliar. Juliari juga dijatuhkan hukuman pencabutan hak politik untuk dipilih selama 4 tahun yang berlaku setelah menjalani masa pidana pokoknya. Hakim membeberkan, hal memberatkan untuk Juliari, salah satunya, adalah menyangkal perbuatan korupsinya. "Perbuatan terdakwa dapat dikualifikasi tidak kesatria, ibaratnya lempar batu sembunyi tangan. Berani berbuat, tidak berani bertanggung jawab. Bahkan menyangkali perbuatannya," kata hakim anggota Yusuf Pranowo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakpus, Senin (23/08). Selain itu, perbuatan Juliari memungut fee bansos dari penyedia itu dilakukan saat negara sedang darurat Corona.Â
Dampak Tindak Pidana KorupsiÂ
Adapun dampak yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan bantuan sosial bagi masyarakat, yaitu :Â
a. Mengancam kehidupan kelompok rentan dan masyarakat miskinÂ
b. Meningkatnya angka kemiskinan di IndonesiaÂ
c. Meningkatnya angka kriminalitas karena susahnya mencari uang akibatdampak PPKM dan tidak meratanya bantuan sosial dari pemerintahÂ
d. Memicu krisis daya tahan masyarakat khususnya di bidang ekonomi dan masyarakatÂ
e. Masyarakat menjadi tidak lagi takut dengan virus corona, tetapi lebih takut dengan kemiskinan dan kelaparan sehingga membuat pandemi ini berlangsung lama karena tidak patuhnya dengan protokol KesehatanÂ
f. Semakin lamanya pemulihan ekonomi masyarakatÂ
1. Dampak korupsi bagi pelaku (koruptor) Korupsi merupakan salah satu tindakan pidana sehingga para pelaku pidana korupsi akan dijatuhi hukum pidana dan saksi sesuai dengan perbuatan masing-masing oknum.Â
2. Dampak korupsi bagi Negara Adapun dampak korupsi bagi Negara adalah sebagai berikut:Â
* Dampak yang paling jelas tentunya kerugian Negara. Jika korupsinya dilakukan dalam lingkup Negara maka akan mempengaruhi keuangan Negara begitu pula jika korupsi dilakukan pada perusahaan maka juga akan memepengaruhi keuangan perusahaan. * Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah karena pejabat pemerintahan telah melakukan korupsi.Â
* Masih berkaitan dengan kepercayaan, Negara lain juga jika melakukan hubungan internasional tentunya lebih memilih mempercayai Negara yang pemegang jabatannya bersih dari korupsi. Hal ini akan menjadi penghambat pembangunan, stabilitas ekonomi, dan stabilitas politik Negara.Â
* Berkurangnya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat jika banyak pemangku jabatan pemerintahan yang melakukan korupsi atau penyelewengan keuangan Negara.Â
* Terhambatnya pembangunan nasional.Â
* Rapuhnya keamanan dan ketahanan Negara jika para pejabat pemerintahan mudah disuap. Jika yang melakukan penyuapan adalah Negara asing maka mau tidak mau mereka akan memaksakan pengaruhnya terhadap bangsa, karena sebagian Negara mungkin saja melakukan penyuapan sebagai sarana untuk mewujudkan cita-citanya.Â
* Hukum tidak lagi dihormati. Indonesia merupakan Negara hukum, karena itu segala sesuatunya harus didasarkan atas dasar hukum. Cita-cita bangsa Indonesia untuk mencapai tertib hukum sulit diwujudkan jika para penegak hukum melakukan tidakan korupsi. Hal ini akan meyebabkan hukum tidak dapat ditegakkan, ditaati dan indahkan oleh masyarakat.Â
Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan SosialÂ
Perlunya pendampingan lembaga. hukum dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) tunai dan bantuan langsung tunai (BLT) dana desa kepada masyarakat terdampakCovid-19. Hal ini untuk mencegah tindak pidana korupsi di dalam prosesnya. pendampingan itu untuk menjamin akuntabilitas penyaluran di tengah upaya percepatan yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu mekanisme penyaluran juga harusdibuat lebih transparan, sehingga semua permasalahan akan lebih mudah diselesaikan. sejak awal terjadinya pandemic Covid-19, KPK telah melakukan berbagai upaya pemberantasan korupsi dan upaya pencegahan korupsi dalam penanganan Covid-19. Upaya pencegahan yang dilakukan KPK, antara lain denganmenerbitkan Surat Edaran (SE) No 8/2020 tentang penggunaan anggaran dalamrangka pelaksanaan pengadaan barang jasa percepatan penanganan Covid-19, khususnya bantuan sosial. Selain itu, KPK juga menerbitkan SE 11/2020 tentang penggunaan pelaksanaan bantuan sosial dengan berbasis data. Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk memberantas korupsi dana bansos, yaitu melalui upaya penindakan dan pencegahan. Dari aspek penindakan, terhadap kasus korupsi dana bansos yang terjadi harus segera diproses secara hukum hingga ke pengadilan. Hal ini penting untuk memberikan efek jera bagi pelaku atau terapi kejut bagi calon pelaku lain yang mencoba mengorupsi dana bansos. Adapun dari aspek pencegahan, setidaknya ada dua alternative yang bisa dipilih untuk menghindari terjadinya korupsi atau "perampokan"dana bansos di masa mendatang. Pertama, penghapusan alokasi dana bansos dalam anggaran daerah dan nasional. Usulan ini pernah dilontarkan BPK pada 2010 lalu karena seringnya lembaga ini menemukan penyaluran bansos di daerah yang sebagian besar tidak jelas pertanggung jawabannya. BPK merekomendasikan pos anggaran bantuan sosial dihapus dan diganti dengan metode lain. Kedua,tetap mempertahankan alokasi dana bansos dengan syarat menindaklanjuti hasil kajian KPK tentang dana bansos, khususnya pada bidang regulasi dan tata laksana. Kementerian Dalam Negeri dapat bekerja sama dengan KPK dalam membuat aturan khusus yang terperinci dan ketat perihal pengelolaan dana bansos. Jika tetap dipertahankan, pada prinsipnya penggunaan dana bansos bukan ditujukan untuk kepentingan pejabat atau politisi sehingga harus dikelola secara tertib, sesuai dengan aturan,efektif,ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab. Juga wajib diperhatikan asas keadilan, kepatuhan, dan manfaatnya untuk masyarakat.Â
Kesimpulan
Tindak Pidana korupsi bermula dari adanya penyalahgunaan kekuasaan, pelaku korupsi biasanya dilakukan oleh para petinggi dan pemegang kekuasaan. Perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh aparat birokrasi dalam bentuk korupsi tersebut dapat membuat kesengsaraan bagi rakyat kecil disuatu negara. Terjadinya kasus korupsi telah merampasan hak-hak masyarakat atas hak ekonomi, sosial dan budaya,serta telah melanggar HAM. Dampak yang ditimbulkanakibatkorupsi bansos bagi masyarakat kecil sangat besar diantaranya merebaknya kemiskinan, kriminalitas yang tinggi, kelaparan, dan penurunan ekonomi yang drastis.Â
SaranÂ
Hendaknya diatur sistem transparansi, akuntabel dan partisipatif yang merupakan ciri dasar tata kelola pemerintahan yang baik sehingga mudah mendapatkan informasi sebagai bentuk pengawasanakhirnya pertanggungjawaban belanja tidak hanyadari ospek laporan administrasi sajatetapi menyangkut proses keluaran serta manfaat dapat dinilai oleh masyarakat. Kedisiplinan dan pengawasan yang baik serta benar menjadi kunci utama dalam penyaluran bansos. Sehingga, bansos bisa sampai ke masyarakat utuh tanpa adanya pungli apalagi korupsi dalam bentuk apapun. Pemerintah pun juga harus memperbaiki data kependudukan agar lebih jelas dan terstruktur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H