Hari itu saya mulai mengerti sedikit apa yang dimaksud abang saya (lagi-lagi ngaku-ngaku) dalam novelnya yang berjudul “Rembulan Tenggelam di Wajahmu”, bahwa hidup adalah “sebab-akibat” dan selalu ada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul di hati masing-masing. “Kenapa gw harus masuk IPB bukan UNDIP? Kenapa juga bukan masuk jurusan gizi malah jurusan Statistika?? Kenapa gw diterima kerjanya di riset marketing yang penuh kuesioner dan deadline bukan di kantor-kantor yang normal?? Kenapa, kenapa, dan kenapa??. Terus kenapa gw ga secantik Angelina jolie? (Huahaha, ini mah ngaco.com, emang udah nasib Din, hehe).
Selalu akan ada jawaban atas “karena” atas setiap pertanyaan itu. Sebuah pemahaman atas “karena” itu bisa diperoleh ketika kita bisa lebih bijaksana, memberi ruang agar hati bisa berdamai dengan semuanya. Berat bray, but just a moment, let our brain think it, siapa tahu ada manfaat untuk kehidupan selanjutnya, hehe.
Well, dari semua tulisan geje yang direncanakan pendek tapi malah jadi penjang gak karuan kayak gini, intinya apa???? Saya simpulin dua, pertama, menyenangkan sekali bisa mendengarkan cerita orang-orang, maka saya berpikir untuk bertemu dengan sebanyak-banyaknya orang dan belajar dari cerita atau gerak mereka. Semoga ada kesempatan untuk itu, amin. Kedua, menerima, berusaha mendamaikan hati dengan semua, supaya penerimaan menjadi bermakna. Aih, konsentrasi mulai luntur, tulisan mulai ngawur, sebaiknya tulisan ini jangan diulur-ulur, salah-salah bisa babak belur (geje lagi, maaf-maaf), hehe. Sekian saja tulisan dari saya ini semoga bermanfaat. Saya punya dua dessert sebagai penutup, enjoy it (kalo mau, hehe).
***
Alam hari ini sedang berbahagia. Lihat saja langitnya, biru cerah, ceria sekali. Awan putih bagai kembang gula, membuat keceriaan semakin terasa manis. Awan-awan itu bergerak mengikuti aliran angin, perlahan. Dari kejauhan kulihat pakaian bayi, celana, gurita, dan perlak, melambai-lambai, seolah sedang bercanda dengan angin. Sebentar ke kiri, sebentar ke kanan. Entah kenapa, lambaian itu menyampaikan sesuatu, sesuatu tentang hidup, tentang memiliki, tentang kehilangan. Sangat menyentuh, memberi efek kejut pada diriku.
Matahari bersinar terang, tapi tidak terlampau terik, mungkin belum. Alam sedang berbahagia, entah kenapa, meski terang seperti ini, suasananya berasa sejuk. Mungkin karena lantunan yang sedang didengungkan di dalam sana.
Sayup-sayup bacaan rawi terdengar dari ruang tamu. Aku duduk di garasi yang sudah diubah menjadi ruang tamu, tanpa kursi. Tikar dan karpet melintang bebas, garasi yang biasanya sempit terlihat lebih luas. Ada beberapa ibu yang duduk didekatku, kebanyakan yang lain duduk di dalam, khusuk membaca rawi dan shalawat. Aku tertegun sesaat, mencoba menggali hal yang saat ini terpampang jelas dihadapanku, mencoba mengkaitkannya dengan masalah abstrakku, tentang masa depan, tentang keresahan-keresahan selama ini, tentang arah yang sedang kucari. Ah, semuanya bisa lebih sederhana jika kita bisa lebih bijaksana, memberi kesempatan hati untuk berdamai dengan semuanya.
***
When I was just a little girl
I asked my mother, what will I be
Will I be pretty, will I be rich