Mohon tunggu...
Gading Satria Nainggolan
Gading Satria Nainggolan Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara pada Gading and Co. Law Firm

Seorang pengacara yang telah berkarir di dunia hukum sejak 2010. Memiliki ketertarikan untuk menuliskan buah-buah pikir saya terhadap persoalan-persoalan tertentu yang terjadi di masyarakat dari sudut pandang hukum. Dengan pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki, kiranya setiap tulisan saya memberikan wawasan baru bagi para pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Konsultasi Hukum Korban Dugaan Penipuan Jual Beli Emas Antam

11 Juli 2024   18:23 Diperbarui: 11 Juli 2024   18:30 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Penulis dengan AI

Answered By: Gading Satria Nainggolan, S.H., M.H. (Managing Partner of Gading & Co. Law Firm)

Pertanyaan:

Salam Sejahtera.

Nama saya Indah (nama samaran), dari Jakarta. Saya adalah penjual logam mulia (emas Antam), yang mana saya mendapatkan emas tersebut dari "X", yang merupakan upline saya, dan saya adalah penjual yang berhubungan langsung dengan pembeli yang merupakan end user (konsumen akhir).

Awalnya semua berjalan lancar, karena setiap barang pesanan konsumen saya selalu bisa disediakan oleh upline saya tersebut sekalipun harus inden selama berbulan-bulan.

Namun untuk pesanan kloter terakhir (pertengahan Agustus 2019), emas yang dipesan tidak kunjung datang. Dan pada 23 Juli 2020 "X" memberi kabar bahwa emas yang dipesan tidak akan pernah ada, karena "Z", yang merupakan Big Boss atau penyuplai emas kepada "X" diduga telah melakukan penipuan atau tidak mampu menyediakan emas-emas yang telah dipesan.

Saat saya hendak meminta kembali seluruh uang konsumen saya (lebih kurang sebesar Rp 2,3 miliar), "X" menyatakan uang tersebut sudah tidak ada lagi, karena telah disetorkan kepada "Z", dan diperoleh informasi bahwa "Z" telah menghabiskan uang tersebut sehingga tidak mampu mengembalikan uang milik konsumen saya tersebut.

Saya bersyukur karena "X" bersedia bertanggung jawab atas uang konsumen saya tersebut, sekalipun "X" sama seperti saya yang merupakan korban atas dugaan penipuan yang dilakukan oleh "Z". Bentuk tanggung jawab yang dimaksud adalah, "X" akan menjual aset berupa tanah atas nama orang tuanya yang nilainya lebih kurang Rp 3.1 Milyar. Untuk itu, "X" meminta waktu 6 (enam) bulan agar memiliki waktu untuk menjual tanah tersebut

Yang hendak saya tanyakan:

  • Worst case, jika nanti "X" berubah pikiran dan hendak lari dari tanggung jawabnya, bisakah saya meminta pertanggungjawaban langsung kepada "Z", dengan alasan bahwa "X" juga merupakan korban dari "Z"?
  • Perjanjian apa yang dapat saya buat dengan "X" untuk menjamin terpenuhinya pengembalian uang konsumen saya tersebut? Soalnya belum tentu dalam jangka waktu 6 (enam) bulan ke depan tanah tersebut laku terjual.
  • Apakah sah secara hukum menjual aset milik orang tuanya tersebut untuk penyelesaian masalah ini?

Sekian pertanyaan dari saya, kiranya tim Gading & Co. dapat memberikan pencerahan.

Terima kasih

Jawaban:

Sebelum memulai pembahasan atas pertanyaan Ibu Indah, kami menyampaikan rasa prihatin atas masalah yang sedang Ibu Indah alami. Kiranya masalah tersebut dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya.

Berhubung Ibu Indah tidak menjelaskan secara detail perihal emas Antam yang dimaksud, maka kami asumsikan bahwa emas Antam yang Ibu Indah maksud adalah emas produksi PT Aneka Tambang, Tbk. ("ANTAM"), yang diperjual-belikan oleh "Z" yang bukan merupakan reseller resmi ANTAM. Artinya, "Z" selaku konsumen biasa, membeli emas dari ANTAM dengan sistem jual putus (sistem yang dipakai oleh ANTAM dalam jual beli emas), kemudian "Z" menjualnya kepada masyarakat umum dengan mekanisme Multi Level Marketing ("MLM"), yang mana Ibu Indah dan "X" adalah downline dari "Z" untuk menjual emas yang telah "Z" beli dari ANTAM.

Sebagaimana kita ketahui bahwa mekanisme MLM dalam jual beli emas ANTAM memang sempat ramai diperbincangkan dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan. Hal tersebut menjadi ramai karena para penjual menawarkan harga emas yang lebih murah dari harga yang dirilis oleh ANTAM itu sendiri.

Namun demikian, berdasarkan informasi dari berbagai sumber yang telah kami himpun, perlu diketahui bahwa penjual yang menjalankan mekanisme MLM tersebut bukanlah reseller resmi dari ANTAM, melainkan spekulan yang melakukan open order kepada masyarakat calon pembeli, kemudian penjual akan mencari momentum yang tepat untuk membeli emas dari ANTAM (tentunya saat harga emas turun). Setelah emas tersebut dibeli, barulah si penjual mendistribusikan emas-emas tersebut kepada pembeli yang telah memesan. Hal tersebut yang menyebabkan pemesanan emas dengan mekanisme MLM ini kerap kali inden hingga berbulan-bulan, karena penjual menunggu momentum yang tepat untuk membeli emas dari ANTAM.

Dan dalam berbagai kesempatan, pihak ANTAM sendiri telah menyampaikan bahwa pembelian emas ANTAM yang dilakukan tidak melalui reseller resmi ANTAM berpotensi bermasalah. Dan apa yang saat ini sedang Ibu Indah alami adalah salah satu real case dari potensi masalah tersebut.

Sehubungan dengan pertanyaan Ibu Indah, berikut ini pemaparannya:

Jawaban atas Pertanyaan Pertama

Untuk dapat membebankan pertanggungjawaban hukum kepada pihak lain atas terjadinya suatu peristiwa, hal utama yang perlu diperhatikan adalah hubungan hukum antara para pihak tersebut. Hubungan hukum antara para pihak dapat muncul karena ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan, atau karena adanya perjanjian yang mengikat antara para pihak yang saling mengikatkan diri, baik secara lisan maupun tertulis. (Pada era sekarang ini, perjanjian tertulis lebih dianjurkan daripada perjanjian lisan karena memiliki kekuatan pembuktian yang lebih sempurna daripada perjanjian lisan). Dengan adanya perjanjian yang mengikat para pihak tersebut, maka disitulah muncul hubungan hukum antara para pihak tersebut.

Ibu Indah tidak menjelaskan apakah dalam menjalankan jual-beli emas ANTAM tersebut terdapat perjanjian kerjasama yang dituangkan secara tertulis baik antara Ibu Indah dengan "X", maupun antara "X" dengan "Z". Jika terdapat perjanjian tertulis, cukup diperhatikan saja hak dan kewajiban antara "X" dengan "Z", jika terdapat klausul  bahwa "Z" bertanggung jawab atas emas yang dipesan oleh pembeli yang diperoleh dari para downline-nya, maka Ibu Indah dapat meminta pertanggungjawaban "X" dan "Z" jika worst case tersebut terjadi.

Namun jika tidak terdapat perjanjian tertulis atau klausul sebagaimana dimaksud di atas, maka satu-satunya yang dapat Ibu Indah mintakan pertanggungjawaban adalah "X", hal ini dikarenakan Ibu Indah hanya memiliki hubungan hukum dengan "X" atau dengan kata lain tidak ada hubungan hukum antara Ibu Indah dengan "Z".

Lalu jika tidak ada perjanjian tertulis, dengan apakah hubungan hukum dapat dibuktikan? Hubungan hukum antara Ibu Indah dengan "X" dapat dibuktikan dengan percakapan melalui berbagai media, baik rekaman suara, aplikasi pesan singkat, dan bukti transfer uang yang Ibu Indah kirimkan kepada "X" dalam pemesanan emas ANTAM. Alangkah lebih baiknya jika setiap transfer disertai dengan keterangan berita transfer.


Apabila "X" menyatakan bahwa dirinya adalah korban, maka biarkan hal itu menjadi persoalannya dengan "Z", sedangkan Ibu Indah selaku pihak yang memiliki hubungan hukum dengan "X", tetap dapat meminta pertanggungjawaban kepada "X".

Jawaban atas Pertanyaan Kedua

Menurut pandangan kami, janji yang disampaikan oleh "X" untuk menjual tanah milik orang tuanya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan wajib untuk dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis, agar dapat memberikan kepastian hukum kepada Ibu Indah. Kami merekomendasikan judul dari perjanjian tersebut adalah "Perjanjian Pengembalian Dana".

Lantas bagaimana cara yang paling efektif dan efisien jika dalam jangka waktu yang ditentukan tersebut "X" tidak juga melaksanakan kewajibannya kepada Ibu Indah?

Menurut hemat kami, sebaiknya aset milik orangtua "X" yang hendak dijual tersebut dijadikan juga sebagai jaminan (diletakkan Hak Tanggungan di atasnya), sehingga apabila dalam jangka waktu yang ditentukan tersebut "X" lalai dalam melaksanakan kewajibannya kepada Ibu Indah, maka dengan adanya Hak Tanggungan, Ibu Indah diperbolehkan secara hukum untuk langsung melelang tanah tersebut.

Jika kelak "X" lalai melaksanakan kewajibannya, maka langkah tersebut di atas kami pandang sebagai langkah yang paling efektif dan efisien, karena dengan adanya pendaftaran Hak Tanggungan, yang dibuktikan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), maka "X" dan orang tuanya tidak lagi memiliki hak apapun atas tanah tersebut. Segala langkah-langkah hukum yang akan mereka tempuh untuk menghalang-halangi proses likuidasi aset tersebut menjadi gugur demi hukum. Dengan kata lain, APHT dapat melindungi Ibu Indah dari segala macam iktikad buruk yang mungkin saja muncul di kemudian hari untuk membatalkan proses likuidasi aset jaminan tersebut.

Jawaban atas Pertanyaan Ketiga

Dalam menyelesaikan permasalahan ini, adalah sah secara hukum apabila "X" menjual aset milik orang tuanya selama mendapatkan persetujuan dari orang tuanya, dan segala transaksinya dilakukan secara langsung oleh orang tua "X" maupun oleh pihak lain yang telah memperoleh kuasa secara sah.

Atau dalam hal aset tersebut dijadikan jaminan atas Perjanjian Pengembalian Dana sebagaimana kami jelaskan pada poin 2 di atas, adalah sah bagi "X" untuk menjaminkan aset milik orang tuanya, asalkan prosesnya melewati prosedur hukum yang sah. Dalam hal menjaminkan tanah, maka lembaga hukum yang dipakai adalah Hak Tanggungan. Pengaturan tentang Hak Tanggungan dapat kita lihat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah ("UUHT").

Orang tua "X" selaku pemegang hak atas tanah wajib menyetujui peletakan hak tanggungan atas aset miliknya tersebut, yang mana orang tua "X" akan menjadi Penanggung / Borg apabila kelak "X" lalai dalam memenuhi isi Perjanjian Pengembalian Dana. Penanggungan / Borgtocht dapat dituangkan dalam suatu perjanjian tersendiri ataupun dapat dicantumkan klausulnya secara bersamaan di dalam Perjanjian Pengembalian Dana tersebut.

Pengaturan Penanggungan atau Borgtocht diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tercantum pada Pasal 1820 s/d 1850.

Demikian penjabaran saya, semoga bermanfaat.

Jika anda memerlukan konsultasi lebih lanjut, silahkan menghubungi nomor ponsel 0811 9331 011 (Gading Satria Nainggolan, S.H., M.H)

Dasar hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  • Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun