Mohon tunggu...
Gading Satria Nainggolan
Gading Satria Nainggolan Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara pada Gading and Co. Law Firm

Seorang pengacara yang telah berkarir di dunia hukum sejak 2010. Memiliki ketertarikan untuk menuliskan buah-buah pikir saya terhadap persoalan-persoalan tertentu yang terjadi di masyarakat dari sudut pandang hukum. Dengan pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki, kiranya setiap tulisan saya memberikan wawasan baru bagi para pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hak Asuh Anak Jika Orang Tua Bercerai

9 Juli 2024   15:53 Diperbarui: 10 Juli 2024   16:57 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Author: Gading Satria Nainggolan, S.H., M.H. (Managing Partner of Gading & Co. Law Firm)

Perkawinan pada dasarnya adalah suatu hubungan yang sakral karena melibatkan Tuhan Yang Maha Esa di dalam pengikatannya. Dengan impian untuk menjalin hubungan suami istri yang harmonis, bahagia, serta kekal selamanya, pasangan suami istri tentunya memiliki harapan yang besar di dalam perkawinan mereka. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari perkawinan yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ("selanjutnya disebut sebagai "UUP"), yang selengkapnya menyatakan:

"Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"

Namun, dalam banyak pengalaman di masyarakat, perkawinan sering kali justru bertolak belakang dengan apa yang diimpikan pasangan. Seiring berjalannya waktu, pasangan tersebut sering kali mulai menemukan ketidakcocokan satu sama lain, sehingga apabila salah satu atau kedua belah pihak merasa sudah tidak ada lagi kecocokan dan tidak ada lagi harapan untuk hidup bersama, pada umumnya pasangan tersebut akan memutuskan untuk mengakhiri ikatan janji perkawinan mereka (bercerai).

Penulis meyakini tidak ada satupun pasangan yang menginginkan terjadinya perceraian di dalam perkawinan mereka, terlebih apabila pasangan tersebut telah dikaruniai keturunan. Anak sering kali menjadi alasan utama pasangan suami istri untuk mempertahankan perkawinannya sekalipun sering terjadi perselisihan.  Hal tersebut semata-mata untuk menjaga kondisi psikis yang akan ditanggung oleh anak pasca perceraian orang tuanya.

Namun, apabila memang perkawinan tersebut memang benar-benar tidak lagi dapat diselamatkan (sekalipun ada anak), banyak juga pasangan yang memutuskan untuk tetap bercerai

.

Lantas jika pasangan tersebut telah memiliki keturunan dan tetap ingin bercerai, bagaimana penentuan hak asuh yang diatur oleh peraturan perundang-undangan kita?

Hak Asuh Pasca Perceraian

Jangan pernah menganggap bahwa perceraian adalah suatu "escape plan" atau cara melarikan diri dari kewajiban membesarkan anak. Terjadinya perceraian antara suami istri sama sekali tidak menghilangkan kewajiban dari pasangan tersebut untuk memberikan penghidupan dan pendidikan yang layak bagi keturunannya.

Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 41 huruf a UUP yang selengkapnya menyatakan:

"Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya"

Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 41 huruf a UUP di atas, apabila di dalam perceraian tersebut terdapat perselisihan mengenai hak asuh, dimana kedua orang tau sama-sama memiliki keinginan untuk mengasuh anak mereka, maka seyogyanya gugatan perceraian turut mencantumkan perihal permintaan agar hak asuh jatuh ke tangan pihak yang menggugat. Apabila tidak dicantumkan dalam gugatan, maka Majelis Hakim akan berpendapat bahwa Penggugat tidak menginginkan hak asuh atas anak mereka, sehingga hak asuh berpeluang besar akan jatuh ke tangan Tergugat.

Namun pada dasarnya Pengadilan akan memberikan hak asuh kepada orang tua yang dianggap mampu memberikan penghidupan yang layak bagi anak, demi sebaik-baiknya kepentingan anak. Namun, produk hukum maupun beberapa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia menetapkan bahwa anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun akan jatuh ke tangan istri atau ibu dari si anak.

Ketentuan Menurut Hukum Islam

Terhadap Penggugat dan Tergugat yang beragama Islam, hal tersebut tunduk pada ketentuan Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam, yang selengkapnya menyatakan:

"Dalam hal terjadi perceraian:

  • Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya"

Namun ketentuan tersebut tidaklah mutlak. Seorang ibu bisa saja kehilangan hak asuhnya apabila dirinya terbukti tidak dapat diandalkan untuk memberikan yang terbaik bagi kepentingan anak. Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 156 huruf c Kompilasi Hukum Islam, dimana disebutkan apabila ibu tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, maka si ibu dapat kehilangan atas hak asuh atas anaknya.

Namun sekalipun hak asuh jatuh ke tangan ibu, suami atau bapak dari si anak harus tetap memberikan nafkah kepada anak tersebut, yang mana hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 105 huruf c Kompilasi Hukum Islam.

Ketentuan Menurut Hukum Perdata Indonesia

Bagi pasangan suami istri yang beragama Non-Islam, maka ketentuan hukum yang dapat digunakan adalah ketentuan yang terdapat dalam UUP, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Yurisprudensi.

Dalam perceraian pada pasangan yang beragama Non-Islam, tidak ada undang-undang yang mengatur secara spesifik mengenai ibu memiliki prioritas atas hak asuh terhadap anak di bawah 12 tahun. Namun, ketentuan mengenai hal tersebut dapat merujuk pada beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang dapat dijadikan dasar bagi ibu untuk memohonkan hak asuh atas anak dalam hal terjadinya perceraian. Salah satunya adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975.

Putusan tersebut menentukan hak asuh anak dalam perceraian haruslah mengutamakan ibu kandung. Dengan melihat kepentingan anak yang masih membutuhkan sosok ibu, hak asuh anak yang masih di bawah umur atau 12 tahun ke bawah akan jatuh ke tangan ibu.

Namun, sama seperti yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, bagi ibu yang dianggap tidak mampu memberikan penghidupan dan pendidikan yang layak bagi anak, atau bahkan dapat membahayakan nyawa si anak, maka ibu tersebut berpotensi besar kehilangan hak asuh atas anaknya sekalipun anak tersebut masih di bawah 12 tahun (harus diputus oleh Pengadilan). Misalnya saja si ibu terbukti memiliki gangguan kejiwaan, memiliki kebiasaan pulang subuh bukan karena pekerjaan, sering bertemu dengan anak dalam keadaan mabuk-mabukan, pengguna narkoba, dan kebiasaan negatif lainnya.

Demikian penjabaran saya, semoga bermanfaat.

Jika anda memerlukan konsultasi lebih lanjut, silahkan menghubungi nomor ponsel 0811 9331 011 (Gading Satria Nainggolan, S.H., M.H)

 

Dasar hukum:

  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
  • Kompilasi Hukum Islam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun