Mohon tunggu...
Gading Satria Nainggolan
Gading Satria Nainggolan Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara pada Gading and Co. Law Firm

Seorang pengacara yang telah berkarir di dunia hukum sejak 2010. Memiliki ketertarikan untuk menuliskan buah-buah pikir saya terhadap persoalan-persoalan tertentu yang terjadi di masyarakat dari sudut pandang hukum. Dengan pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki, kiranya setiap tulisan saya memberikan wawasan baru bagi para pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hak Asuh Anak Jika Orang Tua Bercerai

9 Juli 2024   15:53 Diperbarui: 10 Juli 2024   16:57 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.pixabay.com (gambar bebas copyright via pixabay)

Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 41 huruf a UUP di atas, apabila di dalam perceraian tersebut terdapat perselisihan mengenai hak asuh, dimana kedua orang tau sama-sama memiliki keinginan untuk mengasuh anak mereka, maka seyogyanya gugatan perceraian turut mencantumkan perihal permintaan agar hak asuh jatuh ke tangan pihak yang menggugat. Apabila tidak dicantumkan dalam gugatan, maka Majelis Hakim akan berpendapat bahwa Penggugat tidak menginginkan hak asuh atas anak mereka, sehingga hak asuh berpeluang besar akan jatuh ke tangan Tergugat.

Namun pada dasarnya Pengadilan akan memberikan hak asuh kepada orang tua yang dianggap mampu memberikan penghidupan yang layak bagi anak, demi sebaik-baiknya kepentingan anak. Namun, produk hukum maupun beberapa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia menetapkan bahwa anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun akan jatuh ke tangan istri atau ibu dari si anak.

Ketentuan Menurut Hukum Islam

Terhadap Penggugat dan Tergugat yang beragama Islam, hal tersebut tunduk pada ketentuan Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam, yang selengkapnya menyatakan:

"Dalam hal terjadi perceraian:

  • Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya"

Namun ketentuan tersebut tidaklah mutlak. Seorang ibu bisa saja kehilangan hak asuhnya apabila dirinya terbukti tidak dapat diandalkan untuk memberikan yang terbaik bagi kepentingan anak. Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 156 huruf c Kompilasi Hukum Islam, dimana disebutkan apabila ibu tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, maka si ibu dapat kehilangan atas hak asuh atas anaknya.

Namun sekalipun hak asuh jatuh ke tangan ibu, suami atau bapak dari si anak harus tetap memberikan nafkah kepada anak tersebut, yang mana hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 105 huruf c Kompilasi Hukum Islam.

Ketentuan Menurut Hukum Perdata Indonesia

Bagi pasangan suami istri yang beragama Non-Islam, maka ketentuan hukum yang dapat digunakan adalah ketentuan yang terdapat dalam UUP, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Yurisprudensi.

Dalam perceraian pada pasangan yang beragama Non-Islam, tidak ada undang-undang yang mengatur secara spesifik mengenai ibu memiliki prioritas atas hak asuh terhadap anak di bawah 12 tahun. Namun, ketentuan mengenai hal tersebut dapat merujuk pada beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang dapat dijadikan dasar bagi ibu untuk memohonkan hak asuh atas anak dalam hal terjadinya perceraian. Salah satunya adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975.

Putusan tersebut menentukan hak asuh anak dalam perceraian haruslah mengutamakan ibu kandung. Dengan melihat kepentingan anak yang masih membutuhkan sosok ibu, hak asuh anak yang masih di bawah umur atau 12 tahun ke bawah akan jatuh ke tangan ibu.

Namun, sama seperti yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, bagi ibu yang dianggap tidak mampu memberikan penghidupan dan pendidikan yang layak bagi anak, atau bahkan dapat membahayakan nyawa si anak, maka ibu tersebut berpotensi besar kehilangan hak asuh atas anaknya sekalipun anak tersebut masih di bawah 12 tahun (harus diputus oleh Pengadilan). Misalnya saja si ibu terbukti memiliki gangguan kejiwaan, memiliki kebiasaan pulang subuh bukan karena pekerjaan, sering bertemu dengan anak dalam keadaan mabuk-mabukan, pengguna narkoba, dan kebiasaan negatif lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun