Mohon tunggu...
Dine Hasya Dwifa
Dine Hasya Dwifa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pendidikan Indonesia

Menyoal seni, sastra, dan sosial budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan Katalisator: Mengintip WiR Syndrome dalam Prosa Indonesia

21 Juni 2023   08:00 Diperbarui: 21 Juni 2023   08:03 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah mendengar istilah "woman in refrigerators" syndrome? Jika belum, apa yang pertama kali muncul di benak Anda saat mendengar istilah tersebut? Mungkin "sindrom wanita dalam kulkas" terlintas cepat di benak Anda. Di Indonesia sendiri, istilah ini memang belum populer. Menilik dari tulisan-tulisan yang hadir dewasa ini, istilah wanita dalam kulkas pun belum banyak disinggung, telebih dalam dunia sastra. Hal tersebut adalah hal yang wajar mengingat istilah ini datang dari dunia komik yang pusat penerbitannya terletak di Amerika.

Mungkin Anda sudah akrab dengan DC Comics, perusahaan buku komik terbesar dan paling ikonik di Amerika. Dikutip dari laman dc.fandom.com, istilah wanita dalam kulkas mulanya diambil dari sebuah plot indsiden dalam komik Green Lantern yang ditulis Ron Marz pada 1994. Pada komik tersebut, terdapat salah satu insiden dimana tokoh utama yang merupakan seorang laki-laki menemukan kekasihnya di dalam kulkas dalam kondisi terbunuh. Tahun 1999, Gail Simon, seorang penulis yang juga bekerja di DC Comics menjuluki fenomena semacam itu dengan istilah "women in refrigerators" (WiR) syndrome. Sebutan itu digunakan untuk merujuk kematian atau cedera karakter perempuan dalam komik sebagai alat pendongkrak karakter protagonis dari tokoh utama laki-laki.

Kalau kita tengok perkembangan sastra Indonesia tahun 1999, saat itu sastra angkatan 98 lahir seiring dengan peralihan orde baru ke reformasi. Selain karya-karyanya yang banyak bersinggungan dengan tema sosial politik, sastra era reformasi juga ditandai dengan menonjolnya penulis-penulis perempuan dengan karyanya yang banyak menyinggung isu feminis. Yulianeta, seorang sosiolog sastra, dalam bukunya yang berjudul "Ideologi Gender", mengatakan bahwa novel-novel yang lahir di era reformasi cenderung kental akan isu seksual, tubuh, dan ideologi gender. Menurutnya, feminisme sebagai suatu pemikiran, berkembang pesat secara radikal sebab era reformasi menyuguhkan kebebasan berpendapat pada masyarakat. Beberapa pengarang yang eksistensinya banyak dikenal pada masa itu diantaranya ialah Ayu Utami, Dewi Lestari, Oka Rusmini, Djenar Maesa Ayu, dan lain-lain.

Lalu bagaimana isu feminisme dikemas dalam konsep WiR? WiR sendiri pada dasarnya tidak hanya merujuk pada kematian akibat pembunuhan. Konsep ini juga bisa ditelisik ketika karakter atau tokoh perempuan terluka, lemah dan tidak berdaya, serta mengalami pelecehan seksual atau penyiksaan. Bentuk-bentuk objektifikasi itu lah yang kemudian disebut dengan "cedera karakter perempuan". Dalam dunia sastra, fenomena ini sudah diperkenalkan melalui beberapa isu seperti peran gender, kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan, relasi perempuan dan laki-laki, seksualitas, dan semacamnya.

Pada tahun 1998, Ayu Utami meluncurkan novel pertamanya "Saman". Novel tersebut mengangkat topik seksualitas yang dikemas secara eksplisit dan menuai pro-kontra karena ketabuannya. Dalam novel "Saman", Ayu menghadirkan seorang laki-laki bernama Saman atau Athanasius Wisanggeni sebagai tokoh utamanya. Ketika menjadi pastor, Wis bertugas di desa Lubukrantau. Di sana lah ia bertemu Upi, tokoh perempuan yang dikisahkan memiliki gangguan jiwa. Karena meresahkan, Upi dipasung dan sering mendapatkan kekerasan dari kakaknya jika ia tidak mau masuk ke dalam bilik. Tak hanya itu, Upi juga dikisahkan mengalami pemerkosaan oleh dua orang laki-laki. Inilah yang dalam konsep WiR disebut dengan "cedera karakter perempuan". Tokoh Upi digambarkan sebagai sosok perempuan yang sakit, lemah, dan tidak berdaya. Hal tersebut mendongkrak citra Wis yang pada akhirnya bersimpati pada Upi. Kasih sayangnya ditunjukkan ketika ia membangunkan tempat tinggal untuk Upi. Tokoh Upi menjadi pendongkrak plot dan karakter "Hero" Wis (Saman) sebagai tokoh sentral laki-laki dalam cerita.

Topik perempuan dan seksualitas yang tabu, pada tahun 2005 juga diangkat oleh Djenar Maesa Ayu dalam novelnya yang berjudul "Nayla". Nayla adalah seorang anak perempuan yang mendapatkan kekerasan fisik dan seksual oleh sang ibu. Dalam novel ini, Nayla jelas diposisikan sebagai korban dari perilaku ibunya. Dikisahkan bahwa sang ibu menusuki vagina Nayla dengan peniti ketika mendapatinya mengompol. Ibu juga suka memukuli Nayla tanpa alasan yang jelas. Tak hanya kekerasan dari ibunya, tokoh Om Indra yang merupakan kekasih sang ibu juga dikisahkan melakukan pelecehan seksual terhadap Nayla. Rasa takut dan kurangnya pemahaman Nayla akan dunia seks adalah salah satu penyebab dirinya enggan mengadukan hal tersebut pada ibu. Nayla sebagai tokoh perempuan yang diciptakan Djenar cukup mewakili pola-pola disempowerement tokoh perempuan dalam cerita-cerita fiksi. Tokoh perempuan cenderung menempati posisi objek dan menjadi korban. Sisi lemah dari tokoh perempuan juga ditunjukkan, salah satunya dengan kebungkaman tokoh Nayla. Namun, dalam novel ini objektifikasi yang didapatkan oleh Nayla cenderung tidak memperkuat sisi protagonis tokoh laki-laki yang dalam hal ini ialah Om Indra.

Beralih dari dua pengarang perempuan yang telah disinggung sebelumnya, Eka Kurniawan dalam novelnya "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" yang terbit tahun 2014, menghadirkan tokoh utama yakni seorang pemuda bernama Ajo Kawir. Sebelum tokoh Ajo Kawir mencapai puncak perkembangan karakternya, di bagian awal cerita, Eka Kurniawan menghadirkan tokoh Rona Merah untuk memperkuat sisi traumatis Ajo Kawir. Tokoh Rona Merah digambarkan sebagai sosok perempuan dengan gangguan mental yang diperkosa oleh dua orang polisi. Saat pemerkosaan tersebut berlangsung, Ajo Kawir bersama seorang kawan menyaksikannya, namun akhirnya ia terpeleset jatuh sehingga dua polisi itu memaksa Ajo Kawir untuk menyaksikan pemerkosaan tersebut. Akibat tragedi yang traumatis tersebut, Ajo Kawir menyadari bahwa "burungnya" sulit untuk bercuit kembali.

Selain Rona Merah, Eka Kurniawan juga menghadirkan tokoh Iteung, perempuan yang akhirnya menjadi istri Ajo Kawir. Singkat cerita, keduanya menikah dan Iteung mengandung seorang anak. Namun ternyata Iteung pun dalam cerita diposisikan sebagai korban pelecehan seksual. Ajo Kawir pun akhirnya menyadari bahwa anak yang dikandung Iteung bukanlah anaknya. Pengalaman traumatis Ajo Kawir, kerinduannya pada hasrat seks, dan masalah-masalah yang ia hadapi membawa dirinya rasa dendam pada kehidupan hingga akhirnya ia terjerat kasus pembunuhan dan harus mendekam di penjara.

Dari kejadian dalam cerita ini, Ajo Kawir pun mulai belajar untuk bersabar dan berdamai dengan dirinya sendiri. Ia mencoba menerima kondisi bahwa "burung" miliknya memang ditakdirkan untuk tidak kembali normal selama-lamanya. Eka Kurniawan menghadirkan Rona Merah dan Iteung sebagai korban pelecehan seksual untuk memperkuat konflik plot dan karakter Ajo Kawir. Lain dengan keprotagonisan Wis pada novel "Saman" yang dapat ditebak dengan cepat, dalam novel ini, Eka Kurniawan lebih banyak mengorbankan tokoh-tokoh perempuannya sebagai katalisator plot. Dalam cerita, Ajo Kawir akhirnya memilih unruk menjadi seorang supir dan hidup dengan damai. Dengan demikian, bisa dibilang ia cenderung menjadi sosok "hero" untuk dirinya sendiri.

Dalam plot naratif, konsep WiR menunjukkan bahwa pelemahan karakter perempuan dalam suatu karya tidak terbatas pada maksud untuk menunjukkan eksistensi ketimpangan relasi, kultur misogini, ataupun patriarki yang mengakar dalam realitas sosial masyarakat. Seperti karya-karya yang telah diulas sebelumnya, pola-pola disempowerment pada tokoh perempuan juga dijadikan oleh pengarang sebagai katalisator bagi perkembangan alur cerita dan karakter protagonis tokoh utama laki-laki. Hal ini menarik karena fakta lain menunjukkan bahwa kemunculan istilah WiR yang diperkasai Gail Simon pada tahun 1999 di dunia komik ternyata beriringan dengan kelahiran karya-karya sastra Indonesia (dalam hal ini novel) yang sarat akan isu-isu perempuan di era reformasi.

WiR syndrome dalam karya sastra bisa menjadi pemantik diskusi yang menarik di masa kini. Dalam kajian sastra, konsep WiR bisa dijadikan alat kritik sosial terhadap berbagai permasalahan gender dan isu-isu yang menimpa perempuan. Namun demikian, menjamurnya pola-pola ini juga bisa jadi mendorong perpetuasi stereotip gender dimana perempuan ditampilkan sebagai objek yang pasif dan menderita. Sebagai alat plot, perempuan dalam bingkai WiR juga bisa memicu kurangnya representasi alternatif dari tokoh perempuan yang kuat, mandiri, dan berdaya. Dengan begitu, penting bagi para pengarang untuk senantiasa mengeksplorasi karakter perempuan dengan kompleksitas karakternya agar tidak jatuh ke dalam pola repetitif yang sempit akan penggambaran citra perempuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun