Di Balik Cahaya Ramadhan
Di sebuah desa kecil yang terletak di kaki gunung, hiduplah seorang anak bernama Alif. Alif tinggal bersama ibunya, yang setiap tahunnya selalu menantikan datangnya bulan Ramadhan. Meski Alif masih remaja, ia selalu merasa ada keistimewaan yang datang setiap kali Ramadhan menyapa.
Pagi itu, langit masih gelap saat Alif terbangun. Suara ayam berkokok pelan menyapa fajar yang baru saja merekah. Ibunya sudah lama bangun, sedang menyiapkan hidangan sahur. Sesekali, suara sendok yang memukul panci terdengar, memecah kesunyian pagi.Â
Alif duduk di meja makan, memandangi hidangan sederhana yang terhidang. Nasi, lauk ikan asin, dan segelas air putih. Meski sederhana, ada rasa hangat yang mengalir di hati Alif setiap kali melihat ibunya sibuk menyiapkan sahur. Di bulan Ramadhan, mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama, saling berbagi kebahagiaan, meski dalam keterbatasan.
"Alif, sahur dulu, ya. Nanti bisa kuat puasa seharian," kata ibu dengan senyum penuh harap.
Alif mengangguk dan mulai menyuap makanannya. Ia tahu bahwa puasa Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang menahan diri dari segala hal yang bisa menjauhkan diri dari Tuhan. Setiap tahun, Ramadhan selalu memberikan pelajaran baru baginya.
Hari itu terasa panjang. Di siang yang terik, Alif merasakan dahaga yang mulai menyengat tenggorokannya. Namun, ia berusaha tetap sabar. Teringat ibunya yang selalu mengingatkan untuk banyak bersyukur. "Puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tapi juga menahan amarah, godaan, dan segala hal yang dapat membuat kita terjatuh." Nasihat itu selalu terngiang di telinganya.
Saat sore tiba, Alif membantu ibunya mempersiapkan buka puasa. Meskipun hanya ada beberapa potong kurma dan segelas air, kebersamaan mereka saat berbuka terasa begitu indah. Setiap kali berbuka, Alif merasakan kedamaian yang tak dapat dijelaskan. Ada rasa syukur yang mendalam, seolah semua keluh kesah dunia bisa hilang begitu saja dengan doa dan takbir yang dipanjatkan.
Tahun ini, Ramadhan terasa lebih berarti. Alif mulai mengerti bahwa puasa bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi tentang memperbaiki diri, menjaga hati, dan memperkuat ikatan dengan Tuhan serta sesama. Ia juga menyadari bahwa setiap amal kecil yang ia lakukan di bulan ini, sekecil apapun, akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda.
Di suatu malam yang penuh berkah, setelah salat tarawih, Alif duduk termenung di depan rumah. Angin malam yang sejuk berhembus pelan, membawa wangi tanah basah dari hujan yang baru saja turun. Alif memandangi langit yang gelap, penuh bintang, dan merasakan betapa kecilnya dirinya di hadapan Allah. Tapi dalam kebesaran-Nya, ia merasa dicintai, diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dan semakin mendekatkan hati kepada-Nya.
"Ramadhan, bukan hanya bulan untuk berpuasa," gumam Alif dalam hati. "Tapi bulan untuk memperbaiki segala yang kurang, untuk menjadi lebih baik."
Malam itu, Alif berdoa, memohon agar Ramadhan ini membawa berkah bagi dirinya, ibunya, dan seluruh umat Muslim di dunia. Ia bertekad untuk menjadikan bulan suci ini sebagai momentum untuk menjadi pribadi yang lebih baik, yang selalu mensyukuri segala nikmat yang diberikan Tuhan.
Sebelum tidur, Alif memandangi kalender di dinding. Bulan Ramadhan ini mungkin akan segera berakhir, namun ia tahu bahwa esensi dari puasa yang ia jalani tidak akan berakhir hanya karena waktu yang berganti. Ramadhan telah mengajarkan banyak hal---tentang kesabaran, keikhlasan, dan arti dari sebuah pengorbanan. Dan yang lebih penting lagi, Ramadhan mengajarkan bahwa setiap hari adalah kesempatan baru untuk menjadi lebih dekat dengan Allah.
Dengan senyum di bibir, Alif tidur malam itu dengan hati yang penuh harapan, menantikan hari-hari Ramadhan yang semakin mendekati akhir, namun dengan semangat yang semakin membara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H