Dalam hidup pada dasarnya manusia tidak dapat berdiri sendiri, maka dari itu manusia dikategorikan sebagai makhluk sosial yang perlu menggunakan komunikasi dengan manusia lainnya, untuk menyatakan pendapat, perasaan, kemauan dan keinginan agar orang lain dapat memahami keinginan kita begitupuka kita dapat memahami keinginan orang lain. Dengan demikian, manusia akan membuat komunitas yang lebih besar yang disebut masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok terkecil masyarakat yaitu keluarga. Sehingga keluarga bisa dikatakan sebagai sistem sosial terkecil didalam masyarakat, karena didalam keluarga terdapat hubungan yang kontinyu dan penuh keakraban, sehingga apabila salah satu anggota keluarga tersebut mengalami masalah tertentu maka anggota keluarga yang lain ikut merasakan masalah tertentu.
John P. Caughlin dan Allison M. Scot dalam Muntaha (2011) menyebutkan bahwa komunikasi dalam keluarga mengacu pada pola dan perilaku interaksi yang berulang (repeated interaction styles and behaviours); yang dapat berbeda antara keluarga tunggal dan keluarga besar (dengan anggota banyak); dan terbangun dalam waktu sebentar maupun kurun waktu lama. Rasa aman secara emosi termasuk ketika menyatakan diri, pendapat, maupun mendiskusikan kesulitan yang dihadapi. Sehingga komunikasi diantara keluarga menjadi salah satu elemen yang sangat penting keberadaannya untuk menjamin rasa aman. Komunikasi yang dilakukan dalam keluarga merupakan proses pertukaran arti untuk keluarga dapat mengembangkan kapasitasnya sabagai wadah untuk mensalurkan emosi bagi anggotanya. Karena anggota keluarga saling berinteraksi dalam frekuensi yang sama dan berulang-ulang, maka komunikasi yang dilakukan cenderung dapat diprediksi antara satu sama lain sehingga berinteraksi dengan cara yang khusus.
Pada orientasi komunikasi pada percakapan anggota keluarga mempunyai kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya. Setiap anggota keluarga tidak memiliki adanya kekhawatiran terhadap timbulnya perbedaan, berani untuk menyampaikan pendapat dan ketidaksetujuannya serta memiliki argumentasi yang diperdebatkan. Sebaliknya pada orientasi kesesuaian, setiap anggota keluarga mempunyai aktivitas yang rendah karena anggota keluarga cenderung diarahkan untuk menyesuaikan pendapatnya dengan anggota keluarga yang lain, menekan perbedaan, membangun suasana yang aman dan tidak mengangkat perbedaan untuk memicu terjadinya konflik.
Konsep tentang orientasi percakapan atau konformitas disebutkan pula secara lebih lanjut oleh Kroener dan Fitzpatrick dalam Muntaha (2011) bahwa menyangkut hubungan antar anggota didalam satu keluarga, pada keluarga yang berorientasi kepatuhan komunikasi keluarga cenderung bersifat tertutup atau authoritarian. Sedangkan pada keluarga yang berorientasi percakapan cenderung longgar yang memungkinkan keberagaman peran serta interaksi menjadi lebih luwes dan terbuka. Apabila dikaitkan dengan konsep budaya maka menurut Liliweri dalam Muntaha (2011) keluarga indonesia termasuk dalam kategori high culture context (budaya konteks tinggi). Dimana dalam hal ini persepsi terhadap komunikasi bisa dicirikan menjadi tiga hal : 1.) menggunakan gaya komunikasi tidak langsung 2) mengutamakan pertukaran komunikasi non verbal dan 3) mengutamakan suasana komunikasi informal.
Konflik memikiki banyak macam elemen diantaranya yaitu bahwa konflik mempunyai efek negatif dan positif, konflik dapat berfokus terhadap isi pembicaraan atau permasalahan namun konflik juga dapat terkait dengan pribadi perilakunya. Konflik memiliki beberapa bentuk atau gaya dan konflik ditentukan oleh faktor budaya (DeVitto: 2007). Apabila dikaitkan dengan faktor penyebab terjadinya konflik dalam keluarga maka Galvin dan Broomel menjelaskan lebih lanjut bahwa konflik dalam keluarga bisa dikategorikan menjadi dua yaitu berfokus pada isu-isu mendasar atau kurang berfokus pada isu dasar. Isu mendasar seperti contohnya agama, kepemilikan anak, dan pendidikan. Sedangkan konflik yang tidak berfokus pada isu utama adalah hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas sehari hari contohnya seperti keputusan waktu untuk berlibur, pembagian tugas pekerjaan. Beberapa jenis konflik yang berhubungan dengan isu diatas ada yang dapat diselesaikan dan ada yang tidak sampai pada tahap penyelesaian. Kondisi terburuknya ialah jika konflik tidak mencapai tahap penyelesaian maka yang akan terjadi adalah perpisahan atau hubungan yang diakhiri.
Dalam beberapa pandangan pakar, konflik dalam keluarga umumnya dianggap sebagai ancaman stabilitas keluarga. Berbeda dengan pendekatan konflik karena diangga sebagai suatu akibat yang wajar, alamiah dari terjadinya interaksi manusia. Karena pandangan yang semacam itu, maka dalam kajian keluarga yang menggunakan pendekatan ini terdapat penekanan pada manajemen konflik dan alokasi kekuasaan dan sumberdaya dalam keluarga (Ihromi: 2004). Asumsi yang lain adalah bahwa konflik  didalam keluarga dapat membawa dampak positif dan negatif dan bila konflik ditekan, maka hal tersebut dapat menimbulkan akibat yang buruk pada anggota keluarga. Bila konflik tidak muncul, maka tidak berarti bahwa kebahagiaan sudah terjamin. Seperti disebutkan oleh Littlejohn (2001) bahwa sebagai sebuah sistem maka keluarga memiliki hierarki, yang membedakan posisi antara satu unsur dengan unsur lainnya. Dimana akses para anggota keluarga terhadap kekuasaan dan sumberdaya berbeda. Adanya ketidaksamaan yang melekat pada sistem keluarga inilah yang menjadi dasar konflik. Konflik terjadi dalam keluarga dalam rangka anggota keluarga yang memperebutkan sumber-sumber daya yang diberi nilai seperti memberi uang, kekuasaan, perhatian, dan kewenangan dalam memainkan peranan tertentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H