Aborsi merupakan tindakan penghentian kehamilan yang direncanakan sehingga terjadi pengguguran janin karena kehamilan yang tidak diharapkan, biasanya dilakukan di awal masa kehamilan sebelum memasuki usia kehamilan empat bulan (Indriana, 2020). Terdapat beberapa alasan mengapa individu memutuskan untuk aborsi, antara lain ibu  hamil  dengan kanker rahim, kehamilan ektopik terganggu, pasien jantung yang hamil, janin anensefalus, janin cacat, kehamilan karena perkosaan, kehamilan anak remaja, aborsi karena malu, pengguguran untuk seleksi jenis  kelamin,  kehamilan  anak  remaja  dan  beberapa  masalah  etis  lainnya (Putri, 2023).
Dilatarbelakangi oleh keresahan penulis terkait tingginya angka aborsi pada remaja, penulis mengangkat judul Tingginya Angka Aborsi di Kalangan Remaja Indonesia Menjadi Perhatian Perawat Sebagai Pemberi Edukasi. Â Pada tulisan kali ini, penulis membahas isu atau fenomena aborsi di Indonesia, hukum yang mengatur regulasi, akibat dari aborsi, dan penyebab tingginya angka aborsi di kalangan remaja. Lalu, penulis juga mengaitkan isu aborsi dengan adanya peran perawat sebagai pemberi edukasi.Â
Aborsi pada remaja telah menjadi isu legal yang mengkhawatirkan bagi masyarakat. Beberapa latar belakang pengambilan keputusan untuk aborsi diakibatkan oleh terjadinya kehamilan diluar nikah ataupun kehamilan yang tidak diharapkan. Pada tahun 2017, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukan hasil bahwa sebanyak 2% remaja perempuan dan 8% remaja laki-laki yang berusia 15-24 tahun telah melakukan seks bebas atau hubungan seksual sebelum menikah, dan 11% dari hubungan seksual tersebut terjadi kehamilan diluar nikah. Angka kasus aborsi di Indonesia sangat memprihatinkan. Kasus aborsi di Indonesia menyentuh jumlah 2,3 dalam 2017 dengan persentase 20% Â disumbang oleh remaja.Â
Hukum kelegalan atau kesahan mengenai tindakan aborsi sudah diatur dalam beberapa peraturan di Indonesia. Berdasarkan KUHP  Pasal  346  hingga  Pasal  353  KUHP (dalam Saputra, 2023), tindakan aborsi diperbolehkan dengan indikasi atau faktor tertentu, seperti jika kehamilan mengancam nyawa ibu dan kehamilan adalah hasil dari pemerkosaan yang dilakukan oleh orang yang tidak sah menjadi suami atau suami yang sah, atau jika wanita tersebut merupakan korban gangguan jiwa, dan beberapa situasi yang disahkan oleh undang-undang. Selain dari faktor kehamilan yang sudah disebutkan diatas, setiap orang yang melakukan aborsi pada diri sendiri atau mengizinkan aborsi dilakukan pada dirinya dapat dikenai hukuman penjara maksimal empat tahun.Â
Fenomena aborsi menjadi perhatian tidak hanya karena tindakan tersebut melanggar etika dan hukum. Disisi lain, aborsi menjadi perhatian bagi masyarakat Indonesia dikarenakan turut menyumbang angka kematian pada ibu yang melakukan aborsi. Fenomena aborsi menjadi perhatian tidak hanya karena tindakan tersebut melanggar etika dan hukum. Pada tahun 2018, Aborsi juga menyumbang angka kasus kematian ibu akibat aborsi sebanyak 41,9 juta orang berdasarkan survei yang dilakukan oleh Worldometer, American Library Association (ALA) (Mayendri, 2020).Â
Aborsi yang tidak dilakukan sesuai dengan tata cara klinis, dapat memberikan dampak negatif dan membahayakan nyawa sang ibu. Menurut WHO (2021), Perkiraan global pada tahun 2010--2014 menunjukkan bahwa 45% dari seluruh aborsi yang dilakukan tidak aman. Dari semua aborsi yang tidak aman, sepertiganya dilakukan dalam kondisi yang paling tidak aman, yaitu oleh orang yang tidak terlatih dengan menggunakan metode yang berbahaya dan invasif. Terdapat beberapa resiko kesehatan yang dapat terjadi akibat aborsi yang tidak aman, seperti pendarahan, infeksi, perforasi uterus, dan kerusakan pada alat genital dalam.Â
Penyebab dari tingginya angka aborsi pada remaja disebabkan oleh kurangnya edukasi mengenai kesehatan reproduksi dan perilaku seks yang menyimpang. Sebuah penelitian yang dilakukan di SMK PGRI Mejayan menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dengan perilaku seks bebas (Kusparlina, 2016). Menurut Sirupa et al. (2016), kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi ditunjang oleh data bahwa hanya sebanyak 31,2% remaja laki-laki dan 35,3% remaja perempuan di rentang umur 15-19 tahun yang mengetahui bahwa kehamilan dapat terjadi hanya dengan satu kali hubungan seksual.Â
Sebagai perawat profesional, perawat memiliki peran sebagai pemberi edukasi kepada klien/pasien. Perawat memiliki beberapa peran dan fungsi, yaitu sebagai Pengasuh, Komunikator, Advokator, Konselor, Agen Perubahan, Pemimpin, Pengelola, Manajer kasus, Konsumen Riset, dan terdapat beberapa peran karier yang diperluas, salah satunya adalah sebagai perawat pendidik (Berman, 2016). Â Perawat memiliki tanggung jawab untuk memberikan pendidikan atau edukasi kepada klien melalui pendekatan yang sesuai (ANA, 2015).Â
Pemberian edukasi kepada remaja dapat diberikan melalui metode promosi kesehatan. Menurut Rinta (2015), Perawat dapat memberikan promosi kesehatan dan membangun pikiran positif kepada remaja dengan beberapa cara, yaitu dengan mendorong remaja untuk menggunakan tenaga dan waktunya untuk hal-hal  positif dan menjauhi pergaulan bebas dan di luar nikah serta dampak negatifnya. Selain itu, perawat juga dapat memberikan edukasi mengenai kesehatan reproduksi, bahaya seks sebelum menikah, dan penyakit menular seksual.Â
Aborsi menjadi suatu hal yang tidak dibenarkan untuk dilakukan, kecuali pada beberapa hal di Indonesia. Tingginya angka aborsi pada kalangan remaja di Indonesia, menjadikan edukasi seputar kesehatan reproduksi dan perilaku bebas yang mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan menjadi hal yang penting. Perawat yang memiliki peran sebagai pendidik memiliki tanggung jawab untuk memberikan promosi kesehatan dan edukasi terkait pergaulan bebas dan dampak negatifnya. Penulis berharap perawat dapat memanfaatkan perannya sebagai pendidik dan dapat mengurangi angka aborsi pada remaja akibat kehamilan yang tidak diinginkan.Â
Referensi