Mohon tunggu...
Adisiana
Adisiana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Orang Bodoh

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kamuflase Pemilu

3 April 2019   23:42 Diperbarui: 5 Mei 2019   22:25 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bumi makin tua. Peradaban umat manusia kian kusut. Tak jelas lagi dimana putih, ungu, atau biru. Semua tampak hitam diselimuti oleh kegelapan. Narasi iman dan kebengisan diucapkan dalam satu tarikan napas.

Manusia makin terjerat dalam narasi yang seolah begitu agung, tetapi justru terasa semacam paradoksal. Tentang kebebasan yang terikat, kemajuan dan kebiadaban, kecerdasan dengan kekejaman. Seolah campur aduk antara najis dan niat baik. Hanya demi melanggengkan kekuasaan.

Kita hidup di suatu negara demokrasi dengan peradaban yang culas seperti disebut di awal tulisan. Pola dan konsep demokrasi yang segala sesuatunya berasal dari rakyat, oleh rakyat dan kembali untuk rakyat tak seutuhnya berjalan. Secara cita-cita demikianlah seharusnya. Namun dalam implementasi, segala sesuatu memang dari rakyat, diupayakan oleh rakyat, tetapi kemudian hasil dari itu semua bukan kembali untuk rakyat, melainkan kantong konglomerat.

Ciri lain dari negara demokrasi adalah diselenggarakannya suatu bentuk pencarian pemimpin untuk memimpin negara dan mencari para wakil untuk dapat mewakili suara rakyat. Ialah Pemilu nama lain dari kegiatan itu. Diksi yang acap kali dipakai oleh surat kabar dan media mainstream adalah Pesta Demokrasi.

Terdengar seperti peristiwa penting yang menggembirakan bagi perhelatan akbar untuk negara demokrasi. Namun sayang, kini pesta itu bukanlah pesta yang dapat dinikmati oleh rakyat mayor yang tinggal di negara demokrasi itu; rakyat yang diberondong oleh senjata api lantaran mempertahankan tempat tinggalnya, rakyat yang kelimpungan cari pekerjaan, rakyat yang setiap hari mengharap peruntungan demi sesuap nasi di bawah terik matahari.

Pemilu atau pesta demokrasi hanyalah kamuflase yang dibuat oleh kaum elit. Kita disuguhkan dua pasangan calon yang bakal memimpin negara ini. Kita dipaksa untuk memilih. Jika tidak, maka ancaman-ancaman akan jeratan hukum akan segera menggerayangi kita.

Demokrasi macam apakah yang sedemikian arogan itu?

Dua pasangan calon yang kini tengah bersaing demi memperebutkan kekuasaan memiliki latar belakang yang hampir sama; mereka disokong oleh partai-partai dengan sumber dana yang disuply para pemodal. Pemilu tak ubahnya seperti praktik monopoli demi melanggengkan oligarki.

Setelah disuguhkan dua pilihan calon pasangan di ajang Pilpres (01. Jokowi -- Ma'ruf) dan (02. Probowo -- Sandi), sebagian rakyat pesimis untuk dapat meraih perubahan akan wajah Indonesia yang kian kusam.

Tak tampak adanya pelita yang mampu memberikan cahaya perubahan. Sehingga muncul lah protes dalam bentuk golput (golongan putih) untuk memberikan kritik terhadap sistem dan kondisi Indonesia hari ini.

Sikap golput adalah sebuah sikap politik yang juga merupakan hak warga negara. Istilah atau nomenklatur golput tidak dikenal dalam regulasi yang berkaitan dengan pemilu.

Golput adalah sah dan bagian dari hak warga negara. Jika sikap golput itu dianggap salah dan bertentangan dengan hukum, maka memang keseluruhan sistem politik Indonesia hari ini sudah membusuk dan kediktatoran atas nama "kedaulatan hukum" menjadi ciri kehidupan bangsa secara keseluruhan.

Jika untuk memperoleh hak warga negara sudah dipermasalahkan, maka bangsa ini akan hidup dalam ancaman dan ketakutan yang mencekam, sebab tak lagi dapat benar-benar merasa merdeka dan mempertahankan kebenaran.

Sekalipun orang mengatakan kita telah reformasi, tetapi reformasi itu telah dicuri orang. Dan demokrasi hanya diksi yang cuma bisa diperbincangkan dalam ruang diskusi.

Adapun pendapat tentang demokrasi dapat tumbuh dan berkembang secara bertahap perlu dikritisi. Demokrasi harus direbut dan didatangkan secara total. Dan hanya kekuatan rakyat yang mampu merebut demokrasi itu.

Dengan apa kita dapat merebut kembali demokrasi agar menjadi seutuhnya milik rakyat? Yakni dengan membangun kekuatan politik alternatif. Bahwa kepahitan yang dirasakan saat ini, nasib yang dipikul oleh rakyat tak bisa disandarkan oleh partai-partai yang borjuis, partai kaum elit yang kini terus menerus menghisap dan memiskinkan rakyat dengan perlahan.

Berpartisipasi dalam pemilu kamuflase di situasi seperti ini hanya memperpanjang penderitaan. Dan memilih untuk tidak memilih ini adalah bentuk kesadaran penuh bahwa sejatinya demokrasi kita telah dipasung oleh arogansi penguasa demi mempertahankan kedudukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun